Untuk itu dalam konteks pemerolehan motivasi dan dorongan akan kemajuan anak, sangat banyak tergantung pada orang tua. Akan tetapi kenyataan di lapangan karena tuntutan untuk memenuhi kebutuhan primer, banyak orang tua yang bekerja. Case studinya pergi pagi, pulang malam, anak minta dibantuin buat PR, malah dibentak atau dianggap angin lalu. Gambaran ini terjadi dan mengabaikan waktu anak yang ingin mendapat prestise dari orang tuanya.
Akhirnya ketika anak sampai di sekolah, anak melampiaskan kemarahannya kepada teman-temannya di sekolah. Anak mengalami tekanan psikologi dan mencari ruang empati kasih sayang. Apapun akan dilakukan untuk mencari simpati warga sekolah.
Nah, sekolah sebagai wadah pembelajaran bagi anak, jika tidak mengenal secara detail anak didik seperti ini, maka yang ada dibenak para warga sekolah adalah anak seperti ini dicap "anak nakal." Tentu kita tidak ingin kasus seperti itu terjadi. Hanya gara-gara tidak saling bersinergi antara orang tua dan sekolah.
Padahal, ada tiga hal yang perlu dicapai anak dalam pendidikan lewat sekolah, yakni kognitif, afektif dan psikomotorik. Â Ketiga unsur pembangun itu tidak serta merta dikuasai anak sekaligus, namun melalui tahapan-tahapan yang panjang. Ini bukan perkara gampang. Semua itu butuh sentuhan kita.
Kita punya cita-cita sama, bukan sekedar mencerdaskan anak, melainkan membentuk karakter anak yang tinggi ilmu, sehat jasmaninya, dan kokoh imannya. Apalagi dengan hidupnya sikap bullying akibat tontonan media sosial, anak jika tidak diawasi secara komprehensif, maka akan menimbulkan masalah bagi kepercayaan diri anak dan sikap menghormati antara sesama. Tentu akan mengganggu masa depan anak.
Pada akhirnya, sekolah bukan bengkel. Tempat penitipan, lalu ditinggal pergi "barangnya". Nanti kembali untuk melunasi pembayaran harga perbaikan "barangnya.".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H