Mohon tunggu...
M. Nasir Pariusamahu
M. Nasir Pariusamahu Mohon Tunggu... Penulis - -

Saya Manusia Pembelajar. Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfat untuk orang lain.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Segelas Kopi di Atas Awan (2)

24 Oktober 2017   16:07 Diperbarui: 24 Oktober 2017   16:11 774
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lautan rimba Kota Jogyakarta terlihat seperti samudera. Kemudi pesawat oleh sang pilot naik turun sayapnya, bergelombang bak dayunan sampan laut.

Disitu aku teringat kisah di tahun 1948 ketika Serangan Umum 1 Maret. Kisah heroik para pejuang kala itu dinamakan Perang Gerilya.

Perang inilah yang nantinya menegaskan tentang kedaulatan Indonesia di mata dunia. Betapa patriotnya pejuang yang dipimpin langsung oleh Sang Mujahid, Panglima Besar Jenderal Sudirman.

Sakit Paru-paru tak meletakan sepatunya untuk diam di rumah. Tandu menjadi "kendaraan" istimewa. Andaikata, sekali saja langkah mereka terhenti, maka satu peluru Belanda akan membedil. Dan tahulah kisah endingnya.

Pesannya, mikir sambil ngopi itu kaya imaji. Seteguk rasa pahitnya, seribu kata manis lahir tanpa spasi.

But, kita sebagai manusia kadang tanpa kompromi, membabi buta terhadap suatu hal. Tapi, ternyata dibalik itu penuh kebaikan yang agung.

Yogyakarta punya kisah panjang. Kota pelajar ini pernah menjadi "Kota Negara". Pelindung yang bijak. Berkat kemasyhuran "keraton", Indonesia selamat dari malapetaka "penguasan kembali" oleh Belanda.

Kebetulan kami diinapkan di salah satu hotel beralamat pada Jln. Malioboro. Jadinya, saya bisa menjelajah api sejarah sepanjang jalan yang paling ramai dikunjugi itu.

Tampak jika malam hari, keramaian di jalan itu beraneka ragam. Dijumpai aneka kuliner murah meriah. Tikar menjadi tempat lesehan para penikmat kuliner.

Jika pun hendak menikmati antraksi budaya, ada grup Angklung dengan khas Jawanya menghibur. Juga banyak oleh-oleh yang bisa dibeli disitu. Bisa dipilih sesuai selera.

Tak kerasa, titik 0 Malioboro pada malam hari. Depan Tugu Serangan Umum, kita jumpai banyak yang nongrong sambil ngopi. Suasana tetap bersemangat walau malam menghampiri. Bangunan disekitarnya menuju alun-alun Utara keraton masih berasiktektur ala zaman "lama". Ini bisa dijadikan spot bagi para paparazi mulai dari selfie maupun lainnya.

Sebelum mendapati Tugu itu kita dahului Benteng Vredeburg. Benteng ini punya kaitan sejarah yang bernadikan sama dengan super serangan akbar di tanah keraton.

Yah begitulah. Warna kopi tetap hitam. Tapi sangat membawa kenangan. Seperti tembang lagu para pengamen di titik 0 Malioboro.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun