Memasuki musim awal tahun akademik di kampus. Hegemoni mahasiswa menjadi berubah wajah. Persaingan senior dalam merekrut para junior penuh dengan segala adegan. Hal tersebut kita dapat saksikan lewat masa pengenalan kampus atau biasa disebut OSPEK.
OSPEK dari tahun ke tahun mengalami nasib yang tidak menyenangkan. Sudah tidak terhitung aksi kekerasan dan saling mengklaim terjadi. Bahkan ada yang berujung maut. Itu fakta yang tidak boleh dianggap sebelah mata.
Walau hari ini ada SK Nomor 096 /B1/SK/2016 tentang Panduan Umum Pengenalan Kampus Bagi Mahasiswa Baru Direktur Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia, namun aktivitas lapangan perlu dilihat secara saksama.
Panduan ini bermaksud untuk menjadikan OSPEK lebih humanis dan berbasis komptensi. Sebab dalam proses pendidikan baik itu dapat memahami makna: learning to know, learning to do, learning to live together, Â and learning to be. Kemudian bagaimana para mahasiswa bisa beradaptasi dengan kondisi kampus.
Jika merujuk dan membaca paduan itu, kita akan penuh optimis bahwa masa depan pendidikan kita akan lebih baik. Tapi, pada kenyataan di lapangan kita masih menyaksikan fenomena sistem yang kadang mengalami "tinggi hati".
Beberapa catatan menarik seperti kasus seluruh mahasiswa baru (MABA) masih disuruh menghias tubuhnya dengan pernak-pernik warna-warni. Bentuknya seperti ini, ujung celana dimasukan ke dalam kaos kaki. Pakai kaos berwarna pula. Kepalanya dihias dengan anyaman tali arafia sesuai tanggal lahirya. Menggantungkan papan nama dari kardus. Disuruh datang sebelum jam 7 pagi.
Boleh saja kita bilang sekat ini sudah berkurang. Tetapi masalahnya ini telah mendarah daging dalam kehidupan kampus pada saat OSPEK. Boleh jadi ini masalah senioritas yang belum mengaku adanya perubahan. Melainkan pula, sistem kampus yang belum bisa menyesuaikan dengan zaman.
Sadari sungguh bahwa tuntutan zaman telah mengubah segalanya. Mahasiswa diharapakan tidak terjebak dalam kegiatan seremonial semata. Melainkan pada subtansinya. Dunia butuh pembaharuan. Begitu pula dengan pendidikan.
Keadaan globalisasi telah membawa arah pikir dunia berubah. Demikian jika wajah kampus dan senior masih saja statis dengan metode lama; jangan heran kampus hanya bisa menjadi tempat belajar saja, bukan  pembelajaran.
Fakta yang terjadi saat ini adalah pengangguran intelektual menjadi momok menakutkan bagi bangsa ini. Semua orang ingin menjadi Aparatur Sipil Negara. Harapannya negara bisa menghidupinya dan terbebas pada hutang. Tapi tahukan hutang negara kita semakin bertumpuk?
Pada prinsipnya, kampus harus bisa menjadi corong baru dalam melahirkan produktivitas dan inovasi dari para mahasiswa. Makanya sejak awal MABA yang masuk harus dibekali dengan nilai-nilai perjuangan bersama. Bahwa tanah air kita butuh tanaman-tanaman hijau. Bunda pertiwi kita butuh anak-anak yang dapat bersaing di pasar global.