Hegemoni dunia perpolitikan Indonesia masa kini sedang dalam kondisi "kemarau". Keadaan ini tidak jauh berbeda dengan masa-masa dahulu. Bahkan nyaris membawa arah demokrasi menjadi suram. Tambal sulam menjadi fenomena.
Lima belas tahun sudah, bayi reformasi telah tumbuh dewasa. Seharusnya semua unsur Negara saling menguatkan. Membangkitkan hati-hati yang mati kini. Agar bisa hidup dan berkembang. Kurun waktu ini, wewangian demokrasi yang menciptakan new face. Namun, siapa sangka sistemnya masih menganut gaya lama (old system). Istilahnya, boleh orde berganti, tetapi budaya "enak" berkuasa masih mengakar dalam perut para politisi.
Dalam rangka itu, kemuliaan reformasi terdegrasi. Padahal, seharusnya politik Indonesia harus bisa membawa kemakmuran bersama. Bukankah itu sebuah amanah bangsa yang perlu dipertahankan bukan diperebutkan.
Dan kehadiran politik demikian dimaknai sebagai wahana seperti itu. Politik tidaklah boleh sakral. Sehingga bisa membawa malapetaka. Politik bukan main sulap-sulapan. Sehingga bukan unsur kesaktian yang diadegankan. Melainkan sikap-sikap rasional dan objektif yang mendasarinya. Layaknya, permainan Ludo King. Melebur bersama, sebab diujung politik itu ada kesejahteraan bersama.
Kesejahteraan bersama yang dimaksud adalah politik sebagai "agama baru" manusia Indonesia lewat parpolnya harus bisa memainkan visi bersama yakni pertarungan di atas panggung politik ini tidaklah boleh mengganggu kenyamanan hidup masyarakat.
Kesejahteraan bersama yang dimaksud juga bagaimana parpol sebagai pewaris sah konstitusional demokrasi harus bisa memainkan peran kemanusiaan. Indonesia adalah Negara kaya. Melindungi aset kekayaan dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat, itulah hakikat visi politik Indonesia sesungguhnya.
Kaitan dengan itu, partai politik harus bisa mengambil sikap. Memandirikan parpol, meregenerasi kader, menyamakan visi kebangsaan, itulah yang harus dilakukan sehingga parpol tidak terkesan menjual diri dalam pasar politik kepada pemegang saham. Sehingga dengan mudah parpol menjadi sapi perahan. Bahkan hanya menjadi rumah "titipan." Jikapun demikian, maka jangan heran parpol sebagai wadah permanen bagi kelangsungan masa depan demokrasi tak diakui oleh masyarakat. Masyarakat akhirnya pragmatis.
Belajar dari sikap guru bangsa Indonesia dalam mengambil sikap pasti dalam menghadapi paceklik politik. Sikap itu yang disampaikan beliau pada saat kongres nasional Sarekat Islam (SI) di Bandung pada tahun 1916: "Tidaklah wajar untuk melihat Indonesia sebagai sapi perahan yang diberikan makan hanya disebabkan oleh susunya. Tidaklah pada tempatnya untuk menanggapi negeri ini sebagai suatu tempat dimana orang-orang datang dengan maksud mengambil hasilnya, dan pada saat itu tidaklah lagi dapat dipertanggungjawabkan bahwa penduduknya terutama penduduk pribumi, tidak mempunyai hak untuk berpartipasi di dalam masalah-masalah politik, yang menyangkut nasibnya sendiri. Tidaklah bisa lagi terjadi bahwa seseorang mengeluarkan undang-undang dan peraturan untuk kita tanpa partisipasi kita, mengatur hidup kita tanpa partisipasi kita."
Dari kutipan pidato Cokroaminoto itu, hikmah yang bisa diambil, pertama, biarlah berbeda dalam berpartai namun visi yang dibangun bersama yakni pertanggungjawaban kepada publik atas bentangan emas, laut dan padi di negeri ini, yang harus dimakan sama-sama bukan dimakan sendiri. Kedua, bahwa politik itu bukanlah milik elit partai politik. Melainkan milik rakyat. Segala keputusan yang akan diputuskan harus berdasarkan kehendak rakyat. Sebab, politik itu dari rakyat, untuk rakyat. Ketiga, ketika bertemunya visi partai politik dengan kehendak rakyat, maka apapun yang dilakukan akan menghasilkan narasi politik harmonis.
Dalam politik sosialisme Islam, menurut sabda Nabi Muhammad SAW, beragama adalah menyenangkan hati sesama manusia, memberi makan pada orang yang lapar, menolong orang yang susah, meringankan kesedihan orang yang berduka cita, dan menghindari barang atau benda yang diperoleh dengan membuat kesusahan orang lain. (Cokroaminoto, 2010: 118)
Pandangan di atas mencerminkan sesungguhnya insan politik harus meluruskan mindset untuk apa terjun ke dalam dunia itu. Tentunya, dunia perpolitikan merupakan dunia "syahwat". Itu sangat wajar karena manusia dikaruniai sifat tersebut. Sikap individualisme cenderung membawa syahwatnya seperti setan. Namun, bilamana syahwat itu dalam koridor taqwa maka dipastikan kondisi politik akan baik dan terjaga. Â Olehnya itu, karakter individualistik tidaklah boleh dibiarkan menang dalam pertarungan kebatinan. Â
Nalar ini cukup beralasan karena hampir setiap saat masyarakat menyaksikan kerasukan popularitas dan kekuasaan telah menjadikan oknum-oknum politisi yang semulanya sholeh terjebak dalam jebakan Batman. Kiranya yang "preman" juga senang memainkan malpraktik semacam itu. Saling menikam. Sehingga, publik hanya menonton ketidakwarasan mereka lewat media.
Sudah semestinya, politik sebagai banyonet keadilalan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sungguh politik tidaklah boleh menjadi alat penindas rakyat. Membawa kesusahan bagi mereka. Melainkan ajaklah mereka berdiskusi dan bermusyawarah mufakat demi kemaslahatan bersama.
Saatnya sudah, politik kita benar-benar adalah ruh Pancasila. Ruh Ketuhanan Yang Esa, Jiwa Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Raga Persatuan Indonesia, Sikap Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, Kesertaan Keadilan Sosial bagi Seluruh Indonesia. Indonesia adalah rumah bersama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H