Mohon tunggu...
M. Nasir Pariusamahu
M. Nasir Pariusamahu Mohon Tunggu... Penulis - -

Saya Manusia Pembelajar. Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfat untuk orang lain.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menyulam Indonesia

14 Juni 2017   13:48 Diperbarui: 14 Juni 2017   14:00 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kita dilahirkan dari rahim ibu pertiwi adalah takdir. Bukan pilihan. Hal tersebut juga merupakan sebuah anugerah terbesar. Sebab, Indonesia adalah negara makmur, tanahnya subur dan hijau alamnya. 

Sejak kecil, Indonesia telah mengajari anak-anak bangsanya untuk hidup saling gotong royong, bukan gontok-gontokkan. Menjaga etika bukan saling mengundi kejelekan orang lain. Mencintai sesama bukan memata-matai dengan kebencian.
Indonesia adalah sepenggal Firdaus di muka bumi, bahwa negara ini bisa menjadi pewaris dunia di masa yang akan datang. Kepercayaan diri ini bukanlah terlahir atas kesemuan, melainkan sudah menjadi hasil tesis oleh para sejarawan dan peneliti. Hal tersebut telah termuat dalam buku Atlantis, The Lost Continent Finally Found oleh Prof. Arysio Nunes do Santos. 

Kabar gembira tersebut menjadi sumber kekuatan. Maka, sudah saatnya segala potensi anak-anak bangsa harus diarahkan untuk menjadikan "kabar gembira" itu sebagai suatu kenyataan hari esok. Bukankah, Hasan Al Banna juga telah mengatakan bahwa kenyataan hari ini adalah mimpi hari kemarin. Dan kenyataan hari esok, adalah mimpi hari ini".

Lalu, tetiba hatiku terguncang. Ternyata anugerah Negeri Khatulistiwa ini juga bisa membawa petaka. Dimulai dari ketidakserasiaan hidup. Pelajaran Kewarganegaraan, yang menjadi dasar harmoni kehidupan dimasa kecilku, pudar.  

Saksikanlah, Indonesia saat ini. Masyarakat Indonesia telah hilang cita-citanya. Disana-sini saling mempersoalkan kesejahteraan dan ketertinggalan. Di kota-kota besar, ruang kapitalisme mengakar kuat, di desa-desa kekuatan saling meniadakan muncul. Sehingga, anak-anak yang dilahirkan era generasi-Z kehilangan teladan. 

Teladan tokoh dalam buku-buku biografi dikalahkan artis-artis sinetron dan politisi yang seenaknya berargumen tanpa menjaga kehati-hatian lisannya. Akhirnya, Indonesia sebagai negeri aman, nyaman dan damai terkotori. 

Belum lagi, masyarakat sering diadu dalam kubu-kubuan demi kepentingan kelompok tertentu. Hal semacam ini, muncul biasanya dalam pesta demokrasi yang berupa pemilihan kepala negara, kepala daerah maupun anggota parlemen. Bahkan merambah hingga ke pemiliihan ketua RT.  

Memang tak mudah menyatukan Indonesia. Seperti pekerjaan para penyulam, menambal robekan kain sana-sini. Kadang tangan penyulam yang terkena jarum sulaman; berdarah. Tetapi, itulah pekerjaan penyulam. Menghargai proses, mengindahkan hasil dan memuaskan pelanggan.  Jika kita telaah secara saksama sila ketiga Pancasila. Ada sebuah pertanyaan yang muncul dalam benak. Mengapa hanya sila ketiga Pancasila yang konfiksnya menggunakan per- dan --an pada kata pertama dalam setiap sila. Sementara lainnya tidak. 

Jika kita telaah secara ilmiah dalam kaidah Morfologi Bahasa Indonesia. Bahwa imbuhan per-  dan --an mengandung arti "sebuah proses menjadi". Sehingga bila disambungkan dengan kata dasar "satu" menjadi persatuan. Lagipun, dapat diartikan bahwa makna persatuan yang tertuang dalam sila ketiga itu merupakan sebuah hal yang tidak gampang dilakukan. Bilamana ingin melakukan, maka diharuskan ada upaya sungguh-sungguh untuk melakukannya. Bukan hanya sekedar retoris, melainkan aplikasian secara nyata.   Bahwa upaya persatuan Indonesia, tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Kita harus menyadari, Indonesia sangat begitu ragam latar belakang masyarakat dan budayanya. 

Dalam sebuah pepatah dikatakan Indonesia, lain bubu, lain ikannya. Maka, diperlukan bubu-bubu yang kokoh dan tegar untuk menjinakkan ikan-ikan didalamnya. Senada dengan ini, sebagai negara yang menjunjung nilai-nilai ketuhanan, juga harus menyadari bahwa Indonesia selain telah dikarunia rahmat sumber daya  alam yang kaya, keberagaman manusia pun menjadi anugerah tersendiri.  Indonesia telah memberikan teladan bagi dunia. Bahwa Indonesia selain menjadi bangsa hijau ladang dan biru lautannya, Indonesia adalah negara sosial masyarakat yang hadir untuk memberikan dua perkawinan saling menguntungkan. Untung alam, maju orangnya.  

Pengaruniaan tersebut telah disampaikan oleh Allah SWT dalam firmanNya: "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal". Ayat tersebut, sungguh naif bilamana, manusia-manusia Indonesia saling berbenturan satu sama lain. Kita juga dapat mengambil hikmah dari isi surat ke-49 itu bahwa rukun pertama untuk saling menguatkan dalam perbedaan adalah dengan saling kenal-mengenal (ta'aruf). Saling kenal-mengenal akan menjadikan kita sebagai manusia hati. Bilamana manusia telah dikenal hatinya, maka yang terucap dibibirnya hanyalah cinta dan kebahagiaan. Tanpa saling mengenal satu sama lain, akan menghadirkan konflik-konflik kecil yang sewaktu-waktu akan menggelinding bagaikan bola salju, pada akhirnya taman Indonesia yang elok ini akan tak terurai dan mati.  Kita telah terlanjur percaya dan yakin bahwa Indonesia adalah bangsa besar. 

Guna membangkitkan hal tersebut, John Gadner mengemukakan bahwa tidak ada bangsa yang dapat mencapai kebesaran jika bangsa itu tidak percaya kepada sesuatu, dan jika tidak sesuatu yang dipercayai itu memiliki dimensi-dimensi moral guna menopang peradaban besar.  Warisan moral itulah yang menjadi kekokohan karakter manusia Indonesia. Hanya orang-orang terbaiklah yang bisa memegang panji-panji peradaban itu. Mereka inilah yang hidup di zaman kegaduhan lalu menjadi wasit terbaik dalam menyelesaikan permasalahan yang ada. Seperti Muhammad SAW muda yang berhasil mendamaikan pertikaian turun-temurun masyarakat Quraisy di Mekkah saat itu. Sulitkan persatuan ini? Kiranya, jawaban atas pertanyaan itu harus dijawab dengan bahasa optimisme. Bukan jawaban dangkal. 

Perlu disadari juga bahwa Indonesia adalah komunitas pengalaman bersama. Orang asing, dan tak jarang juga orang Indonesia sendiri, bertanya apa yang membuat keanekaragaman etnik, budaya, ras dan agama menyatu dan bisa menghuni wilayah kepulauan nusantara dari Sabang hingga Merauke menjadi satu negara?  Jawaban atas pertanyaan di atas akan mengembalikan kita pada satu masa. Jauh sebelum negara ada, bangsa telah ada. Bangsa mendahului negara. Sehingga apa yang terjadi dalam negara saat ini merupakan himpunan kebaikan yang telah terjewantahkan dalam kehidupan masyarakat.  

Aspek kesadaran historisasi seperti inilah yang harus disadarkan kembali, ketika langit-langit Indonesia kini menjadi hitam, mendung tak hujan. Sehingga berkah dari sang pencipta perlahan tak pernah disyukuri.  Sekilas betapa gampangnya persatuan yang direkatkan tempo dulu. Momentum Sumpah Pemuda merupakan akselerasi tahap awal, walau sebelumnya telah dilakukan Pergerakan Nasional oleh Budi Utomo tahun 1908 dengan mahasiswa STOVIAnya. Namun, gerakan pemuda 1928 inilah menjadi pencetus lahirnya sebuah entitas bangsa baru untuk menyatu dalam sebuah ikatan yang namanya negara.  

Aspek perbedaan yang sangat nampak kala itu, baik dari segi bahasa, tanah kelahiran, darah, tercipta dalam sebuah tekad bulat untuk terpolarisasi. Sehingga, peristiwa ini sangatlah penting guna  meletakkan dasar-dasar untuk melanjutkan ke tahap kesiapan melebur; bernegara. Dan, 17 Agustus 1945 adalah peristiwa besar yang menandai kerelaan tersebut.  Apa yang menarik dari proses itu? Amat penting bagi kita menyadarinya, bahwa rasa kebangsaan Indonesia merupakan kenyaataan sosial dan bukan hanya semacam label yang diciptakan  para politisi. Kebangsaan Indonesia bukan semacam jadi-jadian.

Melainkan membuktikan diri dalam hasrat kehidupan berbangsa yang berbeda; bersedia menjadi satu bangsa. Sehingga kebangsaan dalam sejarah Indonesia berbuah persatuan erat dan merdeka sungguh-sungguh. Dan, sampai kapanpun makna tersebut tidak akan pernah dipersoalkan.  Hakikatnya, kerinduan kita terhadap harmonisasi dalam kehidupan disatu sisi harus melahirkan cinta dalam setiap insan Indonesia. Cinta sangat berhubungan dengan rasa saling memiliki. 

Bagiku, rasa memiliki tentang Indonesia sudah terkikis angin kepentingan. Indonesia sudah menjadi objek perebutan lahan. Siapa yang kuat, dialah yang menjadi penguasa. Walaupun, Indonesia bukan negara kerajaan, namun sistem-sistem dinasti menjamur dan memperkerjakan saudara sebangsanya sendiri sebagai kuli. 

Jangan heran, warga negara kita lebih banyak bertahan dan nyaman bekerja di luar negeri. Sebab negeri bestari ini tak mampu menjawab kesejahteraan. Mereka lebih memilih negara-negara maju yang ateis pikirannya, ketimbang Indonesia yang negara berketuhanan, tapi miskin dan mental penindas orang-orang kayanya. Ironis.
Maha benar, Sukarno berani melontarkan pernyataannya, yang menjadi cambuk bagi semua elemen bangsa, yang memiliki KTP sebagai WNI. Presiden RI pertama itu berkata," Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri."

Lalu, nikmat Tuhan mana lagi yang didustakan? Kenikmatan hidup akan keberlimpah-ruah keadaan alam telah menjadikan manusia tamak dan rakus. Nilai-nilai moralitas yang dijunjung oleh norma sebagai pegangan hidup tak digubris. Sehingga, kemakmuran ini menjadi alat propaganda yang menghadirkan tangis dan airmata. 

Berdirinya tegaknya Indonesia hingga sekarang di atas satu kaki mesti dijaga secara baik. Indonesia ibarat satu tubuh. Bilamana anggota tubuh lain merasakan sakit, maka anggota tubuh lainnya merasakan derita yang sama.  Juga pula sesama anggota tubuh jangan saling menendang, yang bisa menimbulkan keretakan dan akhirnya merobohkan tubuh yang kuat; keagungan Indonesia menjadi catatan sejarah kelam bertinta merah. 

Agenda penyelamatan Indonesia ini harus menjadi agenda bersama. Sebab, sejarah telah berlaku sangat adil pada bangsa ini sejak mengupayakan persatuan plural semacam ini. Sejak awal bermetamorfosis menjadi negara, para pendiri sangat menyadari bahwa proses nation building ini merupakan agenda penting, yang harus terus dibina dan ditumbuhkan.  Maka, mendirikan negara Indonesia,  kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia. Tetapi, Indonesia buat Indonesia; buat semua.  Bukan pula Jawalah adalah Indonesia. Sumatra, Kalimantan, Sulawesi juga Indonesia. Papua, Maluku, Nusa Tenggara juga rumah Indonesia. Maka, tak ada alasan apapun yang dapat mengangkat rasa kebangsaan dari dada kami.  Seiring dengan dinamika perkembangan masyarakat yang serba modern, tradisi kebangsaan harus terus digetarkan dalam ruang-ruang yang telah tersediakan. Kadang kehidupan dinamis yang mengekang filosofi berbangsa dan bernegara ini terabaikan, maka harus tekun mengembangkannya. Meskipun kita hidup dalam era yang berbeda, namun keontetikannya harus terjaga. Sehingga bisa dipastikan kerangkanya bisa terus dikembangkan sesuai zaman. 

Maka, tidak ada alasan apapun untuk tidak menjadi agen penyelamat bangsa. Mesti dihadirkan dalam diri kita, bahwa ini tugas mulia. Bukankah tugas mulia ini imbalannya adalah kecintaan Tuhan dan orang-orang disekeliling terhadap kita? Dan, akan menjadi rahmat berlimpah dalam kehidupan berbangsa. Maka, mulialah pula kita menjaga dan menjadi pewaris. Indonesia adalah sebuah negara besar yang mewadahi warisan kejayaan peradaban. Warisan kejayaan peradaban nusantara dan bahari terbesar di muka bumi. Pastikan dalam jejak langkah, tapal batas Indonesia tidak tercabik-cabik.  

Jika di tanah air yang kurang lebih sama, nenek moyang bangsa ini pernah menorehkan tinta emasnya, tidak ada alasan bagi manusia baru Indonesia untuk tidak dapat menyamai kegemilangan itu.  Tak ada yang tidak bisa. Karena yang tidak bisa, tidaklah berbuat. Dengan demikian ekspresi rasa syukur atas desain sunnatullah (hukum Tuhan) yang menciptakan perbedaan, dengan menjunjung tinggi kesetaraan dan kemuliaan manusia, dengan mengembangkan sikap positif terhadap kemajemukan bangsa, melalui perwujudan demokrasi permusyawaratan yang berorientasi keadilan sosial, sebagaimana sila ketiga Persatuan Indonesia harus diliputi dan dijiwai oleh sila-sila ke-Tuhanan yang Maha Esa serta kemanusiaan yang beradab, meliputi dan menjiwai sila-sila kerakyatan  yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (Notonagoro, 1974). Mari menjaga.(*)

pernah diterbitkan di koran Malut Post, edisi 8 Juni 2017

ini link: http://portal.malutpost.co.id/en/opini/item/28512-menyulam-indonesia

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun