Mohon tunggu...
M. Nasir Pariusamahu
M. Nasir Pariusamahu Mohon Tunggu... Penulis - -

Saya Manusia Pembelajar. Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfat untuk orang lain.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

I Hate Allah.....

11 Mei 2017   15:19 Diperbarui: 11 Mei 2017   15:41 1042
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa yang anda pikirkan tentang judul itu? Tentunya sebagai orang yang beragama, amarah akan menjadi hal pasti. Bahkan, akan mengakibatkan sikap tindakan fisik kepada orang yang mengatakan atau menuliskan kata-kata tersebut.

Benar bukan?

Tetapi, anda akan dibuat tertegun bilamana tau, siapakah yang menuliskan kata-kata itu bahkan sangat PeDenya mengaku bahwa Allah itu tidak ada, buktinya Allah itu tidak ada di dunia. Artinya, Allah itu tidak nampak seperti manusia. 

Siapakah dia? Gerangan bertanya demikian, sehingga tak kuasa lagi, jemarinya menuliskan kata-kata seperti judul di atas?

Seperti anda, wahai orang-orang yang beriman. Akan marah. Namun, disini aku hanya menahan nafas. Meredam emosi untuk mencarikan solusi.

***

“Kenapa kamu melakukan itu, nak?”

Begini ceritanya.....

Pukul 14.30 WIT. Anak itu kuajak masuk ke dalam ruangan. Dia duduk sambil merobek-robek tisu putihnya. Aku sangat mengenal anak itu, usianya sekitar 14 tahun. Anaknya mempunyai hobi suka menulis novel, tapi sangat idiot dikenal oleh teman-temannya.

Aku bersaksi bahwa anak ini punya kelebihan imajinasi yang melampui usianya. Dia masuk. Pakaian batiknya masih rapi dikenakan. Kraknya terkunci kancingnya. Sambil menunduk, dia kusapa. Sebelum itu kepersilahkan nafasnya untuk datar.

“Nak...”

“Kenapa kamu tulis seperti itu?”

“Barang beta benci Allah”. (dengan logat daerahnya)

“Emang kenapa?”

“Beta rasa, Allah seng ada.”

“Kenapa bicara begitu?”

“Abis, su satu bulan ini, beta berdoa par Allah, Allah seng kabulkan”

“Nak, memang apa doamu?”

“Beta doa, Ya Allah. Rubah beta pung muka deng mata”

Aku terperanjat. Menjaga darahku kembali. Menuntun dia lagi.

“Kenapa kamu berdoa begitu?”

“Kalau beta nae oto, atau bajalang, orang-orang suka lia-lia beta muka. Kayak mau hina-hina beta”

“Eh ngomong-ngomong, kamu suka baca buku apa? Nanti besok, berikan buku yang paling kamu suka baca pada aku ya”

“Iya”.

Masih ada lagi, kata yang tidak bisa kukalimatkan disini. Ada beberapa kesimpulan yang ku buat, mengingat kasus ini sangat membuat kita sebagai orang dewasa sangat prihatin. Keprihatinan kita, karena yang menuliskannya kata-kata itu adalah anak-anak yang seharusnya, usia mereka digunakan untuk belajar hal-hal positif.

Kesimpulan itu antara lain:

  • Sudah saya kemukakan sebelumnya bahwa si anak sangat suka menulis novel. Namun, disatu sisi si anak tidak mendapat dukungan moril dari keluarganya.
  • Dari doa yang telah disampaikan, bahwa rubahlah wajahku dan mataku. Disini sangat jelas si anak merasa tidak nyaman dengan keindahan fisiknya. Padahal secara fisik, anak ini sesungguhnya punya ketampanan yang sama dengan teman-teman sebayanya

Dari uraian poin 1 dan 2, dapat diambil sarinya bahwa sebagai orang dewasa, kita jangan terbangun ego wasangka kepada anak-anak seusia semacam begini. Seharusnya kita menjadi bagian masa depan mereka.

Secara garis besar, ada 3 jalur pendidikan yang menjadi tolak ukur kesuksesan anak, yakni pendidikan informal (keluarga) pendidikan formal (sekolah) pendidikan nonformal (lingkungan)

Ketika tripusat sistem itu terbangun secara baik, maka anak akan merasakan dia tidak sendiri dalam membangun dirinya. Disitu akan muncul sebuah kepercayaan diri dalam diri si anak. Tugas kita sebagai fasilitator dalam memanusiakan mereka kelak.

Kadang seperti kasus di atas, kehidupan informal anak berantakan (broken home). Padahal, ini adalah lingkungan pertamanya, sebelum dia bersosialisasi dengan lingkungan luar. Jika rahim pendidikan awalnya kehilangan kasih sayang, maka anak itu ibarat anak ayam kehilangan induknya.

Ditambah harapan buaian kasih sayang itu, dia tidak dapatkan di luar rumah. Boro-boro, si anak akan jatuh, tertimpa tangga pula.

Jika demikian begitu, maka jangan heran, anak lebih mengikuti perasaannya, ditambah dengan elektronisasi,  maka tamatlah masa depan anak. Fenomena semacam ini perlu edukasi khusus, agar anak tidak terjebak pada hal-hal negatif. Sehingga, mematikan cita-cita mereka. Ini narkoba nyata.

***

#cerita ini ditulis setelah sejam bersama si anak. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun