Mohon tunggu...
M. Nasir Pariusamahu
M. Nasir Pariusamahu Mohon Tunggu... Penulis - -

Saya Manusia Pembelajar. Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfat untuk orang lain.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

19 Tahun Dedikasi KAMMI: Refleksi 48 Jam Ekspedisi Kemanusiaan di Pulau Seram ( bagian 1)

2 April 2017   16:59 Diperbarui: 4 April 2017   15:15 353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan ini, saya tulis di atas kapal Feri yang menyeberangi lautan Seram; antara Liang Ambon dan Waipirit Seram Bagian Barat. Tulisan pendek ini terinspirasi dalam memperjalankan bantuan kemanusiaan ke Wahai Seram Utara, hanya menyoal soal rasa. Rasa yang terbangun dalam salah satu organisasi mahasiswa muslim yang terbesar di Indonesia. Dalam tulisan ini, coba saya memaknai setiap tahapan yang sedang berjalan dalam tubuh organisasi eks; yang pernah membuat beberapa rezim pemerintahan Indonesia tidak tidur dengan aksi massanya.

KAMMI, sadar atau tidak telah menyatu dalam nadi dan darahku. Hampir satu dekade saya menikmati tamaddun dalam  organisasi ini. Ada sebuah hal besar yang ingin diperjuangkan organisasi yang berlogo Mawar Merah ini. Hal besar itulah yang menggabungkan visiku untuk terikat dalam visinya.

Cerita yang saya tuliskan di atas gelombang, menjadi semangat imajinasiku, bahwa kata Eistein benar. Kata orang terpintar ini,” Kapal itu diciptakan untuk mengarungi luasnya samudra”. Jadi salah, bila kapal itu dibuat, lalu dijadikan pajangan di pelabuhan. Sehingga pelabuhan bak kota-kota dengan lampu kapal-kapal. Bukan. Jika memang begitu, maka tunggulah tanggal, kapal itu akan rapuh dan karam selamanya. Begitulah dengan sebuah organisasi. Seperti pula KAMMI.

Banyak pula, cerita-cerita tentang organisasi Hijau Putih ini dituliskan, baik berupa cerpen, novel, puisi, artikel dsb. Semua hampir saja mirip. Namun, tokoh, latar, alur ceritanya saja yang membedakan. Begitulah tulisan pendek ini dituangkan.

Sambil memandang Pulau Ambon yang megah gemilang, saya menyaksikan ruang rasa yang begitu dahsyat. Seperti kepuasan rasa Sanusi Pane dalam mengungkapkan syairnya yang berjudul Teratai: Kepada Ki. Hajar Dewantara.

Sesuai dengan rasa yang sedang bergejolak, kemanakah arah kesatuan ini ketika usianya yang sudah begitu dewasa? Diawali dengan ungkapan JASMERAH milik Sukarno, saya lagi-lagi mengingatkan kita (baca: kader) agar tidak lepas dari situasi sejarah. Maka, jangan heran, peradaban besar masa lalu tak terlepas dari sejarah. Uraian ini terlihat jelas, asal-muasal penaklukan Konstantinopel oleh Sultan Al Fatih. Dalam Sirah Sahabat, kita telah kilas balik halaman-halaman buku-buku. Disitu kita menemukan kisah Patriotisme Nabi dan Sahabat dalam Perang Khandak atau Pertempuran Ahzab. Al Quran mengabadikan peristiwa ini menjadi salah satu Surah yang ke-33, Al Ahzab.

Tanpa mengurai kisahnya lebih dalam, saya langsung membawa kita pada perkataan Rasulullah SAW ketika di tanya sahabat. Hai Rasul,” setelah ini, kota apa yang akan kita taklukan?” Jawab Nabi,” Roma dan Konstantinopel. Dan apa yang disampaikan lewat lisan manusia agung ini dibuktikan dengan sikap ksatria muda yang usianya 20-an; Muhammad Al Fatih, 1453. Momen kemenangan penguasa kekhalifahan Ustmani ini menjadi buah bibir sepanjang zaman. Beliau, Al Fatih telah menyadarkan kita, tentang arti sebuah sejarah. Walau sejarah telah usang dimakan usia, namun sejarah itu kaya akan kata-kata. Sejarah itu adalah lintasan tangga zaman. Bilamana satu tangga saja kita lewati, maka kita tidak akan tau sebab mengapa tangga itu terbuat, terjadi dan runtuh.

Sebagai kader pula, jiwa pengembalian terhadap historisasi gerakan harus komprehensif dan mutlak. Tidak cukup, api sejarah organisasi yang lahir 29 Maret 1998 ini didapat dalam daurah-daurah. Melainkan harus ditambah dalam buku-buku, cerita-cerita alumni, dsb. Sebab sama seperti Al Fatih, kepercayaan kuat dan haqqul yakin terhadap sejarah akan membawa kita kemana kapal ini dibawa? Ke Lautan? Ke Samudera? Atau hanya dibibir pantai? Sekedar menjadi pernak-pernik pelabuhan semata?

Tak cukup dengan itu, bahwa KAMMI semakin lama hidup di negara ini. Akan ditempa badai yang sangat kuat hingga ke akar-akarnya. Tentunya, itu tidaklah kita harapkan. Dan saya yakin konsep Persaudaraan adalah Watak Muamalah kami, akan senantiasa terpatri dalam sanubari setiap kader. Bahwa KAMMI akan hadir, kembali hadir hingga takdir NKRI tiada. Bahwa KAMMI akan senantiasa menjadi kebun-kebun indah bagi Indonesia.

O. Lalu kemana takdir kesatuan di usia 19 tahun?

Bagi saya, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh kader dan alumni yang telah tersebar di seluruh lini kehidupan. Bahwa cintalah yang menguatkan semua mujadid di bawah payung kesatuan. Biarlah tiada diminati orang. Namun, tetap berbuat untuk negeri.

Seperti tema Milad KAMMI-19, Dedikasi KAMMI untuk Indonesia. Karena kami tau bahwa Indonesia telah kehilangan persaudaraan. Indonesia telah hilang rasa cinta. Padahal, Indonesia ada dan menjadi Negara, semuanya itu karena cinta. Cintanya orang-orang Sumatra, Pedulinya orang-orang Jawa, Kuatnya orang-orang Kalimantan, Rekatnya orang-orang Kepulauan Maluku, Solidnya orang-orang Sulawesi, Kepercayaan orang-orang Nusa Tenggara Bali, dan Menyatunya orang-orang Papua.

Dengan dedikasi, KAMMI diharapkan bisa mengimplementasikan narasi Gerakan Dakwah Sosialnya secara baik. Sungguh, sekali lagi, dengan cintalah semua akan hadir.

Walau kita tidak memungkiri, adanya tragedi di akhir tahun 2016, bahwa menduanya kekuatan Alumni, ini hanya sebuah kesalahpahaman sejarah. Dan sebagai kader aktif, mari kita anggaplah ini angin lalu. Biarkanlah menjadi bagian terkecil dalam timbunan sejarah. Sebab, luka dan duka, ku bawa berlari, berlari, hingga hilang pedih perih. Aku masih ingin hidup 1000 tahun lagi,” itulah pekik Chairil Anwar dalam puisinya AKU.

Bahwa kata Anis Matta,” kita adalah pemikul sejarah.Sebagai pemikul sejarah, tugas kita bukan sebagai perusak tetapi sebagai Kontributor. Dan ekspresi seorang kontributor  adalah selalu dekat dengan orang-orang pinggiran. Bergaul dengan lapisan masyarakat akar rumput. Hidupnya diabdikan untuk kemaslahatan manusia. “khairunnas, anfauhum linnas”. Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat untuk manusia lain” ( Al Hadist)

Banyak sekali persoalan bangsa ini tidak habis-habisnya karena kelaparan sosial dimana-mana. Tema ini diangkat, agar kader tidak sok-sok elitis, atau bukan pula sok-sokkan peduli. Melainkan ini amanah organisasi dan juga amanah bangsa ini. “ Bumi, air dan  kekayaan yang ada didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. (UUD 45, Pasal 33 ayat 3)

Tak terasa, gelombang laut terus memukul badan  kapal. Pulau Ambon terlihat kabut di atasnya. Semoga Ambon bisa menjadi kota maju berseri di bawah Paparisa Baru. Hmm. Jangan dulu berpikir lain-lainJ

Seram Barat mulai terlihat bibir daratannya. Hamparan hutan hijau luas, laut yang biru di bawahnya kaya dengan aneka hayati, gunung-gunung yang menjulang. Semoga takdir kepemimpinan di Pulau Saka Mese Nusa ini beralih kepada orang-orang arifJ

Sampai disini, saya ingin menyampaikan,” mari katong bacumbu dengan laut. Selamlah lautan sedalam-dalamnya, hingga kau akan menemukan mutiara di dasarnya.”. Sungguh hidup dengan suka ba ste­l, manisosertabaku senggolakan menghancurkantatanan kehidupan.

***

Saya melanjut lagi. Setelah mogok di Desa Tala SBB beberapa saat lalu, sempat berdiskusi tentang naik-turunnya harga kebutuhan pokok dengan seorang penduduk. Disitu saya mengingat satu peristiwa kata-kata dalam kamus facebook. Sempat saya mengomentari status seorang akun,” ketertinggalan Maluku disebabkan oleh faktor “kesenangan” dan “ kekayaan” yang telah Tuhan berikan. Coba saja, jika setiap orang Maluku mau menjadikan rimba hutan dan luasnya lautan sebagai energi baru. Maka sesungguhnya, Maluku tidaklah terisolasi secara subtansial. Buktinya orang Maluku dulu adalah pelopor bahari dan penggagas NKRI. Dan kini sebenarnya masih bisa hidup normal, menghirup udara segar. So what is the problem?

Saya kira ini soal prespektif. Benar, salah itu bukan soal. Yang terpenting orang Maluku dengan sistem Ale Rasa Beta Rasanyasenantiasa terpatri dalam sanubari. Itulah yang kini, teman-teman kesatuan di daerah ini terus melakukan. To do, to be, to do forever.

Karena kami menyadari, bahwa kami hidup dalam keberagaman sosial (sosial human community) Sehingga salah, jika persaudaraan ibarat satu tubuh hanyalah menjadi peribahasa yang dikhususkan buat anak-anak pada level sekolah dasar. Lalu hilang ketika mereka tumbuh besar. Karena seakan mereka dibohongi oleh para generasi sebelumnya. Disini tak ada apologize. Permaafan atas kelalaian dalam menjaga keutuhan rumah tangga sosial bukanlah soal lazim.

Tidak cukup dengan kata-kata. Dalam bukunya Qua Vadis Demokrasi Kita? Karya Firman Noor ada tema kecil: Fenomena Ciderai Janji. Hanya sekedar refleksi atas tulisan itu, sesungguhnya masyarakat kita ( baca: Indonesia) banyak telah bosan dengan janji-janji para elit. Ruang demokrasi dijadikan alat ukiran prestasi di atas janji ketika masa datang pemilu, baik pilkada, pileg maupun pilpers. Kita jumpai pula, akibat ingkar janji tersebut, pemerintahan kurang mendapat dukungan maksimal dari masyarakat pasca pemilu. Dan akhirnya ada dua fenomena yang muncul. Para politisi semakin oligarki, nafsu besarnya untuk kekuasaan. Masyarakat berubah pragmatis. Akhirnya negara ini hanya dimiliki oleh orang-orang yang menang. Kalah diabaikan. Yang terjual dijadikan sapi perah.

Disini haruslah ada sebuah pelurusan. Dedikasi itu bukan sekedar janji semu. Tetapi benar-benar terlihat karyanya. Orang-orang yang terlibat dalam mendedikasikan diri untuk umat adalah mereka yang  bekerja tanpa pamrih. Tulus bekerja tanpa media. Bahkan kadang ongkos transport harus keluar dari kantong sendiri. Dedikasi adalah pengakuan semurni-murninya. Didalalmnya ada cinta yang menyertainya.  

Itulah nafas gerakan yang harus dijaga oleh kader. Bahwa kita akan besar karena umat. Sebab, umat terbaik adalah mereka selain memiliki kecerdasan intelektual, juga diimbagi dengan kecerdasan sosial. Kita adalah milik umat. Rumah besar umat. Jangan berharap banyak jika kerja-kerja besar peradaban tidak didukung oleh umat.

Tengoklah kisah Umar bin Abdul Asiz. Pemerintahannya boleh hanya seumur jagung. Tetapi rakyat yang hidup sezaman dengannya sejahtera. Bahkan dikisahkan, tak ada orang kaya lagi yang mengeluarkan zakat pada zamannya. Ini fakta, bukan dongeng.

***

Pencahayaan di mobil gelap. Hanya bercahayakan cahaya PC. Uda dulu yaJ

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun