Perasaan berbunga-bunga sulit terbendung bilamana ingin dikeluarkan, bagai air bah yang meluap, membelah pori-pori tanah bebatuan yang menghalanginya. Itulah cerita romantika kasmaran pelaku cinta.
Tentunya cinta semacam itu membuat hati hiperbolis. Tetiba, rasa tersebut tak berubah. Perasaan bersalah membagi kefokusan. Disitulah, modal keberanian menjadi bayang-bayang. Menghempaskan gelisah hati.
Lalu, masihkah berani meluncurkan anak panah dari busur cintamu terhadap sang tuju? Ini bukan sinema putusin saja atau katakan cinta. Sebab keberanian yang terlahirkan dari utopia seperti itu bukanlah mendidik cinta dengan baik. Cinta semacam itu, cinta klasik, memalsukan cinta.
Cinta baik terlahir dari sebuah kenekadan membangun cinta. Cinta yang tersimpan beribu-ribu hari dan menguak ketika disatukan dalam akad. Itulah cinta para pemberani, mereka sedang menanam pohon kasih-sayang. Pohon yang tumbuh di atas tanah subur, batangnya kokoh, ranting-rantingnya tegar dalam ayunan angin, dedaunan menghijau indah serta menghasilkan buah manis.
Kini, masihkah berani, kau utarakan cintamu itu? Tak mesti ditanya. Allah dan RasulNya telah melegalkan keberanian macam itu. Itulah cinta yang diridhoi. Mula-mula sungkem ke calon mertua, meyakinkan diri dan menguatkan hati, sembari menyampaikan kesediaan menerima beban bersama anak mertua.
Cinta terbaik juga berbuah pahala. Sebab, cinta itu adalah ibadah. Saling merahasiakan perasaan bukanlah ciri manusia penakut. Memang dengan cinta, siapapun dia, nekad lekas-lekas menerjang-terjang jurang terjal, gelombang setinggi tsunami dilalui dan berjalan di atas gempa berkekuatan 9,0 SR pun tak digubrisnya. Itu karena cinta.
Ini pun karena cinta, medan pertempuran menjadi kebahagiaan para syuhada, yang lebih memilih mati di laga perang karena cinta ketimbang mati di atas kasur. Daya cinta itulah, yang dikobarkan dalam dada oleh Khalid bin Walid ketika menghadapi pasukan Romawi,” bahwa kami datang ke medan pertempuran ini untuk mencari kematian, selayaknya kalian mencari kehidupan”. Kematian adalah seni kehidupan bagi para syuhada.
Bukan tanpa alasan, berbagai heroiknya para pecinta dalam mendefinisikan arti keberanian cinta. Tergantung pada eloknya ketahanan jiwa sang pelantun cinta. Sebabnya, cinta hakiki hanya bisa terwujud tanpa nafsu menyertainya, kesabaran memupuknya, dan kebaikan adalah taman-tamannya.
Sungguh, energi cinta adalah chi yang tersembunyi, bila disalahgunakan akan membawa malapetaka. Dahsyatnya energi tersebut seperti turbo equalizer yang mampu mengumpulkan seluruh energi dari blok transmisi yang ter-delay, maupun blok transmisi terdahulu, untuk melenyapkan distorsi data akibat interferensi gelombang dalam 4G.
Dalam kisah Spirit Ball (Dragon Ball) cinta seolah menjadi cahaya energi (Genki) energi yang terkumpul, cahaya keberanian (Yuki) yang menjadi pusat kekokohan, dan cahaya pikiran (Shoki) yang memusatkan pada fokus. Kekuatan ini setelah terkumpul dan berpadu, maka akan menjadi momok bagi anasir-anasir jahat. Cintalah yang berbicara betapa energi, keberanian, dan pikiran menjadi dasar kekuatan demi membangun cinta dengan cara-cara yang diizinkan syariat. Itulah cara memperlakukan cinta dengan iman yang sadar, dan kesabaran bertindak tepat.
Olehnya, tak ada penakut dalam katakan cinta, tak ada pengecut dalam bermain-main cinta. Cinta itu harus tumbuh atas dasar keberanian dan keseriusan. Keberanian menahan amarah dan pujian. Keseriusan dalam berterus-terang.
Nah, mengapa keberanian diperlukan dalam menyampaikan isi hatimu? Sampaikan saja, selama sejalan dengan rel kebenaran. Tidak panjang-panjang simpang. Lurus. Bismillah aku meminangmu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H