Mohon tunggu...
M. Nasir Pariusamahu
M. Nasir Pariusamahu Mohon Tunggu... Penulis - -

Saya Manusia Pembelajar. Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfat untuk orang lain.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Propoganda di Tanah Kemakmuran

9 Januari 2017   08:54 Diperbarui: 9 Januari 2017   09:25 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Mencintai kebebasan berarti cinta kepada orang lain, mencintai kekuasaan berarti cinta kepada diri sendiri” (William Hazlitt)

Pengaruh ideologi dalam suatu bangsa sangat mempengaruhi keadaan bangsa tersebut.  Dari balik ideologi itulah lahirlah ber-isme. Baik isme intern maupun ektern.  Isme boleh berbeda, namun tujuan bermuara pada merubah tata pikir. Tak cukup itu, hidden missionguna menguasai seluruh kemakmuran rakyat termasuk daftar agendanya.

Indonesia pernah mengalami kohesi, percampuran ideologi-ideologi. Sebagai bangsa yang besar dan mempunyai keanekaragaman budaya, sehingga memunculkan pengetahuan-pengetahuan baru. Efeknya melahirkan hubungan sebab-akibat yang bermuara pada  ruang gesekan yang maha dahsyat. Karena, isme tak saling bertemu dalam satu meja. Selalu berperang opini maupun bambu runcing.

Kenapa demikian? Penelusuran dalam suhuf-suhuf sejarah, Indonesia mempunyai daya tarik jasmaniah bak gadis seventeen;sumber daya alam limpah ruah.   Bahkan permisalan emas jika ditanam di segala tanah Indonesia, maka emas akan bertumbuh hijau bertangkai-tangkai, beranting-beranting, bercabang-cabang. Hal ini mengindikasikan bahwa Indonesia akan menjadi pusat kemakmuran di dunia; sepenggal firdaus di muka bumi.

Jangan heran zaman pra kemerdekaan, Indonesia mengalami masa kepahitan yang diakibatkan oleh penghilangan nasib rakyat pribumi oleh penjajah. Lalu jika kita ingin kalkulasikan berapa kerugian yang dialami oleh Indonesia, tak akan cukup dengan angka statistik dalam menggambarkan derita kemelataran, kelaparan, ketertindasan.

Lalu Indonesia tiba di depan pintu kemerdekaan. Maka tetiba pekik kemerdekaan dirasakan purna.            Oleh Idrus dideksripsikan rasa suka itu dalam bagian cerpen Surabaya: “Tiap waktu lagu ‘Indonesia Raya’ dimainkan, mereka berdiri dengan tegap seperti prajurit dan ikut menyanyikan lagu kebangsaan itu. Setiap orang merasa tengkuknya seperti digili-gili orang. Segala bulu berdiri: bulu tengkuk dan bulu kaki. Dan waktu lagu itu habis, beberapa orang nasionalis tulen menangis dan katanya parau. “Itu yang kita perjuangkan sepanjang masa. Dan untuk itu kita mengorbankan harta benda dan jiwa pemuda-pemuda kita. Bukan main indahnya lagu itu. Ya, perjuangan kita tidak sia-sia!!”. Orang-orang dalam mabuk kemenangan. Segala-galanya diluar dugaannya dan mimpinya seperti ular dari belukar. Kepercayaan kepada diri sendiri dan cinta tanah air meluap seperti ruap bir.

Namun, kenyataan sejarah itu terus dalam kegelimpangan duka akibat ulah si Nyonya Tua. Salah satu yang terlaporkan dalam babak-babak cerpennya yang berjudul Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma adalah: “orang yang setengah telanjang dan setengah mati yang “tergelimpang di tengah jalan”; perempuan-perempuan, juga yang Indo, menjalangkan diri untuk mencari makan; anak muda yang kurus, orang Indonesia yang pakaiannya compang-camping, anak muda yang tidak berbaju (dalam Oh… Oh… Oh!) ; anak muda yang hanya makan daun-daun kayu (dalam Kisah Sebuah Celana Pendek); sampai orang-orang telanjang bulat yang berebutan bangkai anjing di tepi Kali Ciliwung (dalam Jalan Lain ke Roma). Betapa saat itu, rakyat tak percaya lagi pada Tuhan lama, Tuhan baru telah dating dan namanya macam-macam, bom, mitralyur, mortir.

Demikian sangat horornya derita rakyat yang begitu melarat kala itu. Maka penggambaran terhadap segala bentuk imperialisme semua tak bisa diterima oleh akal sehat dan hati nurani. Maka kehidupan kemakmuran esok hari menjadi mimpi di siang bolong.

Tak cukup itu, pasca kemerdekaan. Udara kemakmuran dikira gampang. Gesekan-gesekan mulai merobek sulaman kain Merah Putih. Kelihatan rakyat tidaklah menangis dibuatnya, airmata hanya mondar-mandir di antara bola matanya. Keluh-kesahlah yang menjadi ratapan pagi dan malam.

Tahun-tahun setelah  kemerdekaan sangatlah sulit mempertanggungjawabkan kemerdekaan. Memulai sebagai Negara de facto, Indonesia terlibat dalam konsesus-konsesus de jure yang berkepanjangan. Menariknya Indonesia terus kuat walau dilanda agresi sekutu dan pengkhianatan anak-anak kandung pertiwi.

Isme dan Pengkhianatan

Konspirasi-konspirasi isme terus berlanjut dalam episode Indonesia. Pula tak akan tau, sampai kapan konspirasi itu terkubur. Isme ini adalah sambungan cerita masa lalu. Konfrontasi isme tersebut meniti klimaksnya dengan cerita NASAKOMnya Sukarno tahun 1960-an. Namun, tak ada yang lebih baik daripada Pancasila; Kebineka Tunggal Ikaan; UUD ’45.

Keterlibatan isme-isme bukan hanya mengubah cara berfikir seseorang, namun cara bertindak pun menjadi amukan. Tak heran, pengartian kebebasan digunakan sebagai senjata isme untuk memudahkan kampanye pemikirannya.

Bertolak dari pikiran   Moh. Hatta: “agar perut rakyat terisi, kedaulatan rakyat perlu ditegakkan. Bukan rakyat hampir selalu lapar, bukan karena panen buruk atau alam miskin, melainkan karena rakyat tidak berdaya.” Begitulah seharusnya isme itu berlaku tingkah. Sebab, Indonesia tiada milik siapa-siapa. Indonesia bukan seperti Kota Harmoni kata Idrus. Tentunya jatuh bangunnya negara ini dalam mencapai cita-cita kemerdekaan perlu diseriusi dengan kepedulian, sehingga Indonesia bukan sekedar nama dan gambar seuntaian pulau di peta.

Mekarnya isme hingga saat ini. Melahirkan pemimpin-pemimpinnya. Tapi tahukah bahwa isme tak lebih menjadikan pertengkaran. Padahal, dalam membangun Indonesia baru, negeri bulan purnama raya, Negara ini perlu dikuatkan. Bukan terjebak dalam konflik antarisme. Bukan dipudarkan kesatuannya. Dikuatkan dengan apa? PANCASILA tentunya. Sebab itu, isme yang anomali tak bisa disatukan dengan cita-cita falsafah Negara.

Olehnya itu, sudah seharusnya Indonesia baru dipimpin oleh pemimpin yang suci senantiasa terjauh daripada godaan iblis itu. Bukan Pemimpin yang menguatkan isme tertentu, hingga rakyat dibuatnya gusar. Pemimpin yang setia itu berkorban, bukan buat dikenal namanya, tetapi semata-mata membela cita-cita. Sehingga sosok antagonis Kartili dalam Kejahatan Membalas Dendam  yang ditulis sastrawan ’45, Abdullah Idrus tiadalah hidup dalam new spirit  Indonesia.

Sumber: ryanscan.blogspot.com
Sumber: ryanscan.blogspot.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun