Konspirasi-konspirasi isme terus berlanjut dalam episode Indonesia. Pula tak akan tau, sampai kapan konspirasi itu terkubur. Isme ini adalah sambungan cerita masa lalu. Konfrontasi isme tersebut meniti klimaksnya dengan cerita NASAKOMnya Sukarno tahun 1960-an. Namun, tak ada yang lebih baik daripada Pancasila; Kebineka Tunggal Ikaan; UUD ’45.
Keterlibatan isme-isme bukan hanya mengubah cara berfikir seseorang, namun cara bertindak pun menjadi amukan. Tak heran, pengartian kebebasan digunakan sebagai senjata isme untuk memudahkan kampanye pemikirannya.
Bertolak dari pikiran Moh. Hatta: “agar perut rakyat terisi, kedaulatan rakyat perlu ditegakkan. Bukan rakyat hampir selalu lapar, bukan karena panen buruk atau alam miskin, melainkan karena rakyat tidak berdaya.” Begitulah seharusnya isme itu berlaku tingkah. Sebab, Indonesia tiada milik siapa-siapa. Indonesia bukan seperti Kota Harmoni kata Idrus. Tentunya jatuh bangunnya negara ini dalam mencapai cita-cita kemerdekaan perlu diseriusi dengan kepedulian, sehingga Indonesia bukan sekedar nama dan gambar seuntaian pulau di peta.
Mekarnya isme hingga saat ini. Melahirkan pemimpin-pemimpinnya. Tapi tahukah bahwa isme tak lebih menjadikan pertengkaran. Padahal, dalam membangun Indonesia baru, negeri bulan purnama raya, Negara ini perlu dikuatkan. Bukan terjebak dalam konflik antarisme. Bukan dipudarkan kesatuannya. Dikuatkan dengan apa? PANCASILA tentunya. Sebab itu, isme yang anomali tak bisa disatukan dengan cita-cita falsafah Negara.
Olehnya itu, sudah seharusnya Indonesia baru dipimpin oleh pemimpin yang suci senantiasa terjauh daripada godaan iblis itu. Bukan Pemimpin yang menguatkan isme tertentu, hingga rakyat dibuatnya gusar. Pemimpin yang setia itu berkorban, bukan buat dikenal namanya, tetapi semata-mata membela cita-cita. Sehingga sosok antagonis Kartili dalam Kejahatan Membalas Dendam yang ditulis sastrawan ’45, Abdullah Idrus tiadalah hidup dalam new spirit Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H