Pesta demokrasi bagi rakyat Amerika berakhir tanggal 9 November 2016 (dini hari). Prosesi pemilihan presiden (pilpres) ke- 58 kali tersebut telah usai sejak dilaksanakan Selasa, 8 November 2016. Lewat perhitungan suara, buah kemenangan di tangan Donald Trump. Pria berusia 70 tahun itu mengalahkan rivalnya Hillary Clinton yang didukung oleh Partai Demokrat dengan meraup 60.261.924 (47,30%) suara rakyat serta 306 suara electoral (wikipedia.org). Trump berhasil memuluskan mimpinya menjadi penguasa ke-45 di gedung putih. Walaupun, Trump dan Partai Republik memenangkan pertarungan sengit tersebut dengan meraup jumlah pemilih terbanyak namun ia gagal mendominasi suara rakyat. Hal ini seperti terjadi pada lima tahun sebelumnya yakni tahun 1824, 1876, 1888, dan 2000.
Kemenangan Trump atas mantan ibu Negara tersebut menggegerkan dunia. Trump dikenal sebagai seorang rasis ketika masa kampanye. Sebab, pidato-pidato politiknya sangat dianggap bertentangan dengan wajah Amerika modern.
Sikap kontroversialnya membuat ratusan warga turun jalan, pasca ditetapkan Trump sebagai pemenang. Aksi demonstrasi terjadi di berbagai kota, negeri Paman Sam. Aksi ini merupakan pukulan telak akan ketidaksukaan publik Amerika kepada Trump. "#NotMyPresident," begitulah yel-yel yang diteriaki oleh massa anti Trump yang turun jalan seperti di Washington, D.C, Los Angeles, dan New York.
Bukan tanpa alasan, Trump didemo seperti itu. Padahal, Amerika merupakan corong demokrasi dunia. Apakah ini bertanda bahwa adanya “kematian demokrasi” di negeri Indian itu? May be. Namun, satu hal yang disikapi oleh demonstran adalah soal karakter Trump. Kita bisa menyaksikan dalam kampanye-kampanye, Trump mengumbar-umbar pernyataan yang sangat tidak relevan dengan keadaan Amerika dan dunia. Pernyataan-peryataan tersebut diantaranya melarang umat muslim datang ke Amerika, memberi tanda pengenal khusus untuk orang muslim, menutup seluruh masjid yang ada di Amerika, hina imigran asal Meksiko, menentang dan tidak mendukung Barack Obama sebagai Presiden AS.
Kiranya ini sebuah permasalahan karakter. Sebagai Negara maju dan polisi dunia, sesungguhnya masyarakat Amerika menginginkan perubahan. Perubahan menjadi Negara humanis dan cinta harmonisasi. Perubahan karakter kepemimpinan. Cara-cara lama selama pemerintahan pendahulunya menyebabkan Amerika disudutkan dan posisinya lemah di mata dunia. Karakter Trump, ditakutkan menjadikan Amerika akan semakin dikucilkan oleh dunia.
Film seri Bulan Terbelah di langit Amerika diputar serentak di seluruh bioskop se-Indonesia pada tanggal 8 Desember 2016. Film ini merupakan lanjutan kisah perjalanan suami istri, Hanum dan Rangga yang menjajaki segala kemegahan historis Amerika. Film ini diangkat dari kisah novel best seller, memakai judul sama yaitu Bulan Terbelah di Langit Amerika, buah karya Hanum Salsabila Rais. Cerita dalam film ini merupakan lanjutan dari serial pertamanya Bulan Terbelah di Langit Amerika part 1, tayang perdana pada 17 Desember 2015.
Film drama religi yang diproduksi oleh Maxima Pictures juga merupakan lanjutan dari lintasan sejarah yang ditulis oleh Hanum semasa di Eropa, yakni 99 Cahaya di Langit Eropa, yang juga kemudian diangkat ke layar bioskop pada tahun 2013
Jika menonton film Bulan Terbelah di Langit Amerika part 1 dan part 2, kita akan menemukan 2 kata kunci yakni Amerika dan Islam. Kedua bagian film ini adalah sebuah pertautan sejarah, konflik, dan cinta terhadap bangsa dan toleransi.
Awalnya, Hanum sebagai jurnalis ditugaskan oleh bosnya, Gertrude Robinson untuk membuat artikel yang bertema “Would teh world be better without Islam (Apakah dunia lebih baik tanpa Islam) ?” Tema yang sangat fenomena bukan?
Selanjutnya, Putri Amien Rais itu kemudian diminta untuk mewawancarai narasumber yang sebelumnya telah dikontak. Narasumbernya itu bernama Azima Hussein. Bukan hanya Azima yang menjadi narasumber. Ada juga Michael Jones, seorang Islamofobia. Sebab, sesuai tema besar yang ditugaskan kepadanya, Hanum harus bisa mewawancarai muslim dan non muslim yang menjadi korban tragedi WTC (World Trade Center) 11 September 2001. Dan mencari fakta dan kebenaran dibalik terjadinya peristiwa naas itu.