Mohon tunggu...
M. Nasir
M. Nasir Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pegiat Lingkungan Hidup

Hak Atas Lingkungan merupakan Hak Asasi Manusia. Tidak ada alasan pembenaran untuk merampas/menghilangkan/mengurangi hak tersebut.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Ekoturisme Isu Aceh untuk Dunia Pasca Damai

1 Desember 2023   20:02 Diperbarui: 2 Desember 2023   00:01 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tingkah monyet ekor panjang (Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay)

Gerakan Aceh Merdeka (GAM) adalah gerakan separatisme bersenjata di Aceh yang lahir dari rasa kecewa kepada pemerintah. Kemunculan Gerakan Aceh Merdeka terjadi pada masa pemerintahan Presiden Soeharto dengan tujuan memisahkan diri dari NKRI. 

Gerakan Aceh Merdeka dipimpin oleh Tengku Hasan Di Tiro atau dikenal dengan Hasan Tiro melalui pernyataan yang dilakukan di perbukitan Halimon, Kabupaten Pidie. 

Dalam catatan sejarah, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) lahir pada tanggal 4 Desember 1976 dengan menyerukan perlawanan kepada pemerintah Republik Indonesia (Kompas.Com).

Perlawanan GAM kepada pemerintah Republik Indonesia selama puluhan tahun berhasil mendapatkan perhatian dunia internasional. Hingga pada 15 Agustus 2005 terjadi penandatanganan damai antara GAM dengan Pemerintah Republik Indonesia di Helsinki, Finlandia. Yang kemudian dikenal dengan Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki.

Artinya, hingga 2023 telah berusia 18 tahun damai Aceh dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Selama 18 tahun tersebut, apa yang telah didapatkan oleh Aceh, apakah semua butir kesepakatan damai telah terlaksanakan, dan bagaimana nasib para pejuang atau mantan GAM saat ini? Pastinya semua pertanyaan tersebut akan dijawab dalam artikel yang lain. Namun, secara umum sudah pernah saya tuliskan dalam artikel sebelumnya yang berjudul "Butuh Jalan Baru Pemulihan Ekonomi Aceh".

Konflik Aceh telah usai, pihak yang dulunya dianggap sebagai lawan sekarang telah menjadi teman. Pertanyaan kemudian, paska damai isu apa yang layak "dijual" di dunia internasional?

Pilihannya hanya satu, yaitu Ekoturisme. Ekowisata atau ekoturisme merupakan salah satu kegiatan pariwisata yang berwawasan lingkungan dengan mengutamakan aspek konservasi alam, aspek pemberdayaan sosial budaya ekonomi masyarakat lokal, serta aspek pembelajaran dan pendidikan (Wikipedia)

Trend wisata dunia saat ini lebih ke ekowisata. Banyak turis mancanegara berkeliling dunia hanya untuk menikmati alam. Aceh memiliki semua potensi itu. Luas hutan Aceh mencapai 3,5 juta hektar, atau sekitar 60% lebih dari luas daratan Aceh.

Hutan Aceh tersebut terbagi dalam beberapa fungsi kawasan, yaitu Hutan Konservasi, Hutan Lindung, dan Hutan Produksi. Hutan konservasi memiliki Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), Suaka Margasatwa Rawa Singkil, Tahura, dan Taman Buru. Kemudian sebagai kawasan penyangga ditetapkan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) seluas 2,6 juta hektar, yang mana KEL juga telah diakui sebagai Situs Warisan Dunia oleh UNESCO.

Hutan Aceh memiliki potensi flora dan fauna yang tergolong lengkap. Sebagai tempat Gajah Sumatera, Badak, Harimau Sumatera, Orangutan, burung rangkong, beruang madu, buaya, dan cukup banyak spesies satwa lainnya.

Dengan ditetapkan sebagai Situs Warisan Dunia oleh UNESCO, tentunya menjadi pintu masuk memperkenalkan Aceh ke dunia internasional dari sisi ekologis. Sebenarnya, melalui Ekowisata menjadi sumber pendapatan bagi Aceh yang tak terhitung jumlahnya. Bila dibandingkan dengan pendapatan yang didapatkan lewat sektor eksploitasi sumber daya alam, seperti pertambangan yang justru merusak lingkungan dan menjadi sumber bencana.

Namun, sejauh ini Pemerintah Aceh terkesan belum serius menggarap sektor ini. Pemerintah Aceh justru menyibukkan diri dengan berbagai agenda investasi sektor SDA yang tidak ramah lingkungan. Meskipun dalam Undang - undangan No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), pasal 150 disebutkan:

(1) Pemerintah menugaskan Pemerintah Aceh untuk melakukan pengelolaan kawasan ekosistem Leuser di wilayah Aceh dalam bentuk perlindungan, pengamanan, pelestarian, pemulihan fungsi kawasan dan pemanfaatan secara lestari.

(2) Pemerintah, Pemerintah Aceh, dan pemerintah kabupaten/kota dilarang mengeluarkan izin pengusahaan hutan dalam kawasan ekosistem Leuser sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Aceh melakukan koordinasi dengan pemerintah kabupaten/kota dan dapat melakukan kerja sama dengan pemerintah daerah dan pihak lain.

(4) Dalam rangka pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah berkewajiban menyediakan anggaran, sarana dan prasarana.

Ketidakpatuhan terhadap ketentuan pasal 150 tersebut, menjadi pertimbangan bagi Mahkamah Agung memenangkan WALHI saat menggugat BKPM RI atas penerbitan Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi PT. Emas Mineral Murni, dan menggugat Gubernur Aceh atas penerbitan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) untuk PLTA Tampur 1. Karena kedua objek tersebut diterbitkan dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL).

Padahal Hutan Aceh merupakan investasi jangka panjang yang dapat "dijual" kepada dunia.

Lagi-lagi orientasi pembangunan oleh Pemerintah Aceh belum mengarah kesitu. Buktinya, dalam Qanun Aceh No. 19 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh Tahun 2013 - 2033, KEL tidak mendapatkan pengakuan dalam Qanun tersebut, meskipun dalam tata ruang nasional diakui sebagai Kawasan Strategis Nasional. Qanun tata ruang Aceh saat ini sedang dilakukan revisi dan sedang berproses di Komisi IV DPRA Aceh, entah bagaimana nasib KEL dalam agenda revisi tersebut.[]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun