Hutan Aceh memiliki potensi flora dan fauna yang tergolong lengkap. Sebagai tempat Gajah Sumatera, Badak, Harimau Sumatera, Orangutan, burung rangkong, beruang madu, buaya, dan cukup banyak spesies satwa lainnya.
Dengan ditetapkan sebagai Situs Warisan Dunia oleh UNESCO, tentunya menjadi pintu masuk memperkenalkan Aceh ke dunia internasional dari sisi ekologis. Sebenarnya, melalui Ekowisata menjadi sumber pendapatan bagi Aceh yang tak terhitung jumlahnya. Bila dibandingkan dengan pendapatan yang didapatkan lewat sektor eksploitasi sumber daya alam, seperti pertambangan yang justru merusak lingkungan dan menjadi sumber bencana.
Namun, sejauh ini Pemerintah Aceh terkesan belum serius menggarap sektor ini. Pemerintah Aceh justru menyibukkan diri dengan berbagai agenda investasi sektor SDA yang tidak ramah lingkungan. Meskipun dalam Undang - undangan No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), pasal 150 disebutkan:
(1) Pemerintah menugaskan Pemerintah Aceh untuk melakukan pengelolaan kawasan ekosistem Leuser di wilayah Aceh dalam bentuk perlindungan, pengamanan, pelestarian, pemulihan fungsi kawasan dan pemanfaatan secara lestari.
(2) Pemerintah, Pemerintah Aceh, dan pemerintah kabupaten/kota dilarang mengeluarkan izin pengusahaan hutan dalam kawasan ekosistem Leuser sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Aceh melakukan koordinasi dengan pemerintah kabupaten/kota dan dapat melakukan kerja sama dengan pemerintah daerah dan pihak lain.
(4) Dalam rangka pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah berkewajiban menyediakan anggaran, sarana dan prasarana.
Ketidakpatuhan terhadap ketentuan pasal 150 tersebut, menjadi pertimbangan bagi Mahkamah Agung memenangkan WALHI saat menggugat BKPM RI atas penerbitan Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi PT. Emas Mineral Murni, dan menggugat Gubernur Aceh atas penerbitan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) untuk PLTA Tampur 1. Karena kedua objek tersebut diterbitkan dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL).
Padahal Hutan Aceh merupakan investasi jangka panjang yang dapat "dijual" kepada dunia.
Lagi-lagi orientasi pembangunan oleh Pemerintah Aceh belum mengarah kesitu. Buktinya, dalam Qanun Aceh No. 19 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh Tahun 2013 - 2033, KEL tidak mendapatkan pengakuan dalam Qanun tersebut, meskipun dalam tata ruang nasional diakui sebagai Kawasan Strategis Nasional. Qanun tata ruang Aceh saat ini sedang dilakukan revisi dan sedang berproses di Komisi IV DPRA Aceh, entah bagaimana nasib KEL dalam agenda revisi tersebut.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H