Mohon tunggu...
M. Nasir
M. Nasir Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pegiat Lingkungan Hidup

Hak Atas Lingkungan merupakan Hak Asasi Manusia. Tidak ada alasan pembenaran untuk merampas/menghilangkan/mengurangi hak tersebut.

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Bulan "Ber" dan Penyebab Banjir di Aceh

25 November 2023   12:31 Diperbarui: 26 November 2023   08:13 345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bulan "ber" sebuah istilah untuk menyebutkan bulan September, Oktober, November, dan Desember. Kenapa dengan empat bulan itu?

Sebagian kalangan kami di Aceh, begitu memasuki bulan ber siap-siap dengan datangnya bencana banjir. Karena di empat bulan tersebut terjadi curah hujan yang tinggi. Sudah menjadi "langganan" di beberapa daerah di Aceh, pada bulan tersebut terjadi banjir bandang. Kondisi ini berlaku untuk sebagian besar wilayah di Aceh.

Di sisi lain, bulan ber menjadi jadwal musim tanam di kalangan masyarakat Aceh sebagai penopang ekonomi melalui komoditas pertanian dan perkebunan. Benarkah bulan ber menjadi faktor penyebab banjir di Aceh? Atau ada faktor lain yang menjadi pemicu terjadi banjir di Aceh.

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, mari kita lihat kondisi lingkungan di Aceh. Kami dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh berpendapat bahwa banjir yang melanda Aceh dalam beberapa pekan terakhir ini membuktikan bahwa kerusakan tutupan hutan semakin parah dan kritis. Baik itu akibat penebangan liar, perkebunan sawit hingga pembukaan jalan baru, seperti pembangunan jalan tembus dari Jambur Latong, Kutacane sampai perbatasan Sumatera Utara.

WALHI Aceh menilai, kabupaten yang sering banjir merupakan daerah yang tingkat kerusakan hutan masif. Secara alami, setiap akhir tahun intensitas hujan di Aceh memang tinggi, tetapi karena kondisi lingkungan yang kritis, memicu bencana, baik banjir bandang, banjir dan longsor maupun berbagai jenis lainnya.

Selain itu, WALHI Aceh juga menilai pemicu banjir juga akibat adanya pembukaan jalan baru yang dapat memicu illegal logging maupun konflik satwa dan kejahatan lingkungan lainnya. Dengan adanya jalan tersebut para perambah hutan semakin mudah untuk mengakses kawasan hutan untuk menebang kayu.

Banjir menjadi persoalan klasik sekarang, tetapi hanya direspons saat kejadian. Sementara mitigasi diabaikan, padahal kejadian setiap akhir tahun selalu kejadian, pemerintah terkesan macam tidak peduli, padahal bisa berkaca pengalaman setiap tahunnya.

Contohnya kehilangan tutupan hutan di Aceh Tenggara. Mengingat dari luas wilayah Kabupaten Aceh Tenggara, 92 persen masuk dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), hutan yang memiliki nilai konservasi tinggi. Berdasarkan SK 580 total luas wilayah Aceh 414.664 hektar, 380.457 hektare di antaranya adalah KEL.

Wajar banjir terus terjadi di Aceh selama ini setiap curah hujan tinggi. Karena kerusakan hutan, khususnya yang masuk dalam KEL terus terjadi. Hutan alam terus ditebang, sehingga mengakibatkan daya dukung tanah menurun, sehingga terjadilah berbagai bencana ekologi.

Padahal KEL merupakan salah satu hamparan hutan hujan tropika terkaya di Asia Tenggara, serta lokasi terakhir di dunia yang ditempati gajah sumatera, badak sumatera, harimau sumatera, dan orangutan sumatra dalam satu area.

Parahnya kerusakan tutupan hutan di Aceh mayoritas terjadi dalam Hutan Lindung (HL) dan Taman Nasional (TN) yang seharusnya dijaga dan dilindungi. Dampaknya saat musim hujan dengan intensitas tinggi, banjir dengan mudah terjadi, karena daya tampung semakin berkurang karena hutan sudah gundul.

Contohnya Hutan Lindung di Aceh Tenggara berdasarkan SK 580 seluas 79.267 hektar, sekarang tersisa hanya 68.218 hektar. Artinya pada 2022 terjadi kehilangan tutupan hutan di kawasan ini seluas 11.049 hektar, hampir dua kali lipat luasan kota Banda Aceh.

Kemudian Taman Nasional (TN) di Aceh Tenggara awalnya luasan 278.205 hektar, sekarang tersisa 257.610 hektar, artinya telah terjadi kehilangan 20.595 hektar pada 2022 atau hampir setara 4 kali luasan kota Banda Aceh.

Kondisi hutan di Aceh terus menyusut setiap tahunnya sejak 2014 lalu, ini yang kemudian menjadi pemicu mudah terjadi banjir bila hujan lebat melanda, contohnya Aceh Tenggara itu yang sering juga dilanda banjir.

Bila hutan terus ditebang dan suatu wilayah dilanda curah hujan yang tinggi sehingga menyebabkan luapan air yang berlebih. Padahal pohon memiliki fungsi menyerap air untuk mencegah banjir.

Pohon itu memiliki peran penting untuk mencegah banjir, terutama banjir bandang, karena pohon sebagai penghalang air banjir, sehingga air meresap dan banjir dapat teratasi. Jadi kalau hutan sudah gundul, tidak ada lagi yang menahan air.

Sehingga tidak mengherankan saat curah hujan tinggi terjadi banjir, khususnya di Aceh dampak dari kehilangan tutupan hutan terus terjadi. Begitu juga di beberapa daerah lainnya, bila musim hujan tiba banjir tidak dapat dihindari, karena banyak hutan sudah gundul.

Oleh sebab itu, WALHI Aceh mendesak pemerintah Aceh memproteksi kerusakan hutan di Aceh yang terus terjadi setiap tahunnya. Begitu juga tidak membuka jalan baru, cukup memaksimalkan jalan yang sudah ada dengan memperbaiki agar mudah dilalui.

Karena bila ada jalan tembus baru dibangun semakin memantik pembalakan liar yang berakibat fatal terhadap kondisi lingkungan di Aceh. Selain berdampak terjadinya banjir, juga mengakibatkan konflik satwa karena habitat dan koridor terganggu dan kejahatan lingkungan lainnya.

Berdasarkan pengamatan WALHI Aceh, Aceh memiliki riwayat banjir yang tinggi dibandingkan daerah lainnya. Ini tidak terlepas masih terjadi sengkarut ruang yang harus secepatnya diperbaiki.

Celakanya lagi, selama 2016-2022 total DAS rusak seluas 2,8 juta hektar dari total 7 juta hektar lebih. Artinya sekitar 40 persen tutupan hutan sudah hilang.

Sedangkan DAS yang paling kritis terdapat 20 DAS, yaitu 1,9 juta sejak 2016-2022 rusak dari totalnya 4,4 juta hektar, artinya 43 persen mengalami kerusakan parah atau dalam kondisi kritis.

DAS yang paling kritis sekarang DAS Singkil rusak seluas 820,243.69 hektar, DAS Jambo Aye seluas 214,377.93 serta Peusangan seluas 184,087.84 hektar.

Sudah saatnya Aceh memasukkan mitigasi bencana banjir dalam merevisi qanun tata ruang kabupaten sebagai salah satu solusi untuk menanggulangi bencana banjir dalam jangka panjang.

Qanun Aceh No 19 Tahun 2013 tentang RTRW Aceh tahun 2013 -- 2033 sekarang sedang direvisi. Pemerintah Aceh dapat mengambil peluang ini untuk menyinkronkan tata ruang kabupaten dengan provinsi terkait kepentingan penanggulangan bencana banjir.

Selain itu, WALHI Aceh juga mengajak warga yang tinggal di daerah yang rawan bencana alam, baik itu banjir maupun lainnya agar selalu waspada. Penting warga untuk adaptif terhadap berbagai bencana ekologi, baik saat kejadian bencana maupun sebelum bencana terjadi.

Seperti mempertimbangkan aspek bencana dalam pemanfaatan ruang, pembangunan rumah dan infrastruktur lainnya. Termasuk untuk pemanfaatan lahan harus dipertimbangkan aspek bencana, jangan sampai hutan terus menyusut yang berdampak menurunnya daya dukung tanah.

Kondisi diatas menjadi jawaban untuk kita semua, bahwa penyebab banjir bukan karena bulan ber, melainkan akibat kesengkarutan lingkungan yang cukup parah.[]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun