Kampanye anti perusakan lingkungan tidak hanya cukup dilakukan oleh kalangan NGO/LSM, komunitas cinta lingkungan, dan tidak hanya menjadi tugas lembaga pemerintah dan lembaga penegak hukum semata. Persoalan lingkungan merupakan persoalan umat dan menjadi tanggung jawab bersama atas segala problematika yang terjadi dewa ini.
Negara telah menyiapkan instrumen yang cukup, mulai aturan pengelolaan dan perlindungan, sampai pengakuan bahwa lingkungan yang bersih dan sehat merupakan Hak Asasi Manusia (HAM).
Selama ini ada komponen yang "tertinggal" dalam pendekatan edukasi maupun kampanye aksi menyuarakan persoalan lingkungan hidup, yaitu komponen agama. Pendekatan selama ini cenderung pada lembaga formal, yaitu menanamkan rasa cinta lingkungan bagi siswa dan mahasiswa. Akan tetapi komponen agama dalam hal ini Dayah/pesantren cenderung ditinggalkan. Padahal kelompok mereka justru lebih banyak dan memiliki waktu serta media yang cukup untuk menyuarakan persoalan lingkungan hidup.
Dalam konteks Aceh yang dikenal sebagai Nanggroe Syariat Islam seharusnya kelompok Dayah lebih tepat dan harus berada digaris depan menyuarakan persoalan lingkungan. Mereka belajar ilmu fiqih yang cukup, tinggal bagaimana ada transfer pengetahuan terkait materi Ekologi.
Melalui mimbar dakwah dan khutbah tentu lebih mudah fiqih Ekologi tersampaikan. Tanpa harus menunggu isu lingkungan disampaikan pada hari hari besar lingkungan hidup di Indonesia, atau melalui workshop, seminar, atau FGD yang butuh biaya besar untuk membahas isu tersebut.
Dampak dari kerusakan lingkungan hidup terjadinya bencana alam telah menjadi materi yang tersampaikan lewat mimbar dakwah dewasa ini. Hanya saja, penyebab dari bencana tersebut selama ini dihubungkan atas perilaku maksiat umat manusia, misalnya akibat perbuatan zina, judi, korupsi, dan ketidaktaatan terhadap syariah agama. Tinggal sedikit lagi tambahan materi bahwa bencana ekologis terjadi akibat perbuatan maksiat terhadap alam, seperti buat sampah sembarang, pertambangan ilegal, ilegal logging, dan kegiatan perusakan lingkungan lainnya.
Melihat kondisi terkini, fiqih ekologi sebuah keharusan. Terlebih masyarakat Aceh masih memposisikan tokoh ulama sebagai tokoh panutan dalam berkehidupan sosial.
Terkadang, ancaman hukum terhadap pelaku kejahatan melalui pendekatan hukum normatif cenderung diabaikan. Namun sebaliknya, jika pendekatan syariah keagamaan akan lebih didengar. Meskipun tidak dipatuhi, namun tidak berani membantahnya. Sama halnya dengan perlakuan hukum adat, masyarakat akan lebih takut dengan sanksi sosial/adat dibandingkan sanksi hukum pada umumnya.
Mereka lebih khawatir tidak akan ada yang melayat ketika orangtuanya meninggal, dibandingkan masuk penjara. Mereka akan lebih takut dikucilkan dalam kehidupan sosial dibandingkan bayar denda kepada negara.
Kelompok Dayah harus mendapatkan porsi lebih dalam transfer knowledge terkait ekologi. Apalagi lulusan atau alumni dayah memiliki nilai lebih dalam takzim terhadap gurunya di manapun dan kapanpun. Jika gurunya memberikan petuah atau pesan "A" maka sampai kapanpun pesan itu tetap dijaga.