Agenda keadilan ekologis menjadi agenda yang terus disuarakan oleh kelompok masyarakat sipil di Indonesia. Sedangkan disisi pemerintah justru menyiapkan karpet merah untuk memuluskan berbagai agenda investasi yang dengan itu memperparah kerusakan lingkungan, misalnya melalui undang-undang cipta kerja.
Kembali ke Rudapaksa Alam yang melahirkan "anak haram" dalam bentuk bencana ekologis. Sampai kapan kondisi ini terus terjadi. Belum terlihat solusi kongkrit dari pemerintah untuk mampu menghentikan rudapaksa itu. Ada peluang yang seharusnya menjadi solusi. Misalnya dengan penetapan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) sehingga warga dapat mengurus Izin Pertambangan Rakyat (IPR), itupun tidak dilakukan oleh pemerintah, contoh kasus di provinsi Aceh.
Seharusnya dengan adanya WPR dan dapat terbit IPR kegiatan pertambangan rakyat memiliki instrumen pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup dan ada pihak yang dapat diminta pertanggungjawaban atas kerusakan yang terjadi. Tanpa itu semua, masyarakat terus dibiarkan dalam dosa ekologi. Dampak dari kegiatan mereka menjadi faktor penyebab terjadinya bencana banjir dan longsor.
Agenda pemilu 2024 harus menjadi momentum perbaikan tata kelola lingkungan. Pemimpin yang terpilih merupakan sosok yang memiliki visi dan misi menyelesaikan carut marut lingkungan wujud dosa masa lalu.
Hentikan segera rudapaksa Alam, karena "anak haram" buah dari perbuatan tercela tersebut dampaknya dirasakan oleh masyarakat.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H