Mohon tunggu...
M. Nasir
M. Nasir Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pegiat Lingkungan Hidup

Hak Atas Lingkungan merupakan Hak Asasi Manusia. Tidak ada alasan pembenaran untuk merampas/menghilangkan/mengurangi hak tersebut.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Solusi Konflik Poemeurah di Aceh

18 November 2023   17:04 Diperbarui: 20 November 2023   14:53 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akan sampai pada masa generasi mendatang mengenal satwa Gajah bagaikan kita mengenal Dinosaurus lewat buku gambar atau hasil imajinasi dari film animasi. Kenapa? Karena keberadaan mamalia besar tersebut terancam punah, salah satu faktor penyebab karena krisis ruang dan Gajah dipandang sebagai ancaman.

Gajah sumatra adalah subspesies dari gajah asia yang hanya berhabitat di Pulau Sumatra. Gajah sumatra berpostur lebih kecil daripada subspesies gajah india. Masyarakat Aceh menyebutnya Poemeurah.

Bagi masyarakat Aceh, Gajah dijadikan sebagai kendaraan untuk berperang, kendaraan bagi Raja, dan juga kepentingan berdagang, menjadi bukti bahwa masyarakat Aceh dapat hidup berdampingan dengan Gajah. Kejayaan adaptasi tersebut dijadikan simbol Kodam Iskandar Muda yaitu Gajah Putih. Tapi semua cerita itu berlaku pada zaman dahulu, beda dengan sekarang.

Saat ini, Aceh merupakan rumah bagi 500 populasi gajah dari 1.000-1.300 individu gajah liar yang diperkirakan ada di Sumatera (data 2019). Angka ini turun drastis bila dibandingkan dengan populasi gajah pada 2007 yaitu sebanyak 2.400-2.800 individu gajah liar di Sumatera.

Berdasarkan data Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, sejak 2016-2021 terjadi 542 kali konflik gajah. Konflik tersebar di 16 kabupaten/kota di Aceh. Lima daerah dengan konflik tertinggi adalah Kabupaten Aceh Timur, Pidie, Aceh Jaya, dan Aceh Utara. Konflik juga menjadi pemicu terbesar kematian gajah.

Faktor utama konflik Gajah - Manusia akibat perebutan ruang. Perebutan ruang terjadi akibat kebijakan ruang yang tidak memiliki nilai keadilan ekologis, sehingga kesengkarutan pun terjadi.

Poemeurah merupakan "barang" konservasi yang secara kewenangan pengelolaan berada di bawah KLHK melalui Dirjen KSDAE. Namun kondisi sekarang, Poemeurah tidak lagi berada dirumahnya keluar berkeliaran di Areal Penggunaan Lain (APL). Pengelolaan APL berada dibawah kewenangan pemerintah daerah.

Aceh memiliki kawasan hutan dan konservasi yang cukup lengkap dengan luas 3,5 juta hektar lebih, atau sekitar 63% dari luas daratan provinsi Aceh. Terbagi Hutan Lindung, Hutan Produksi, dan Hutan Konservasi. Pembagian untuk hutan konservasi juga cukup lengkap, terdiri dari Taman Nasional, Suaka Alam, Suaka Margasatwa, Taman Buru, Tahura, dan Taman Wisata Alam.

Yang jadi persoalan kemudian, kondisi masing - masing kawasan hutan dan konservasi tersebut cukup memprihatinkan. Banyak kegiatan ilegal didalamnya, mulai dari perambahan/ ilegal logging, pertambangan ilegal, juga aktivitas pemburuan satwa. Belum lagi akibat pembangunan jalan yang membelah kawasan hutan sehingga memotong jalur lintasan satwa. Terlebih model pembangunan jalan tanpa desain koridor dititik lintasan satwa.

Kondisi inilah yang membuat terusik keberadaan satwa Gajah sehingga keluar dari rumahnya untuk turun gunung. Mereka mencari "jajan" di areal perkebunan/pertanian juga pemukiman penduduk. Akhirnya konflik Gajah dengan Manusia tidak dapat dihindarkan.

Kenapa konflik tersebut bertahan dan sulit diselesaikan? Karena ada kesamaan kebutuhan diantara Gajah dan Manusia. Bagi gajah kebutuhan terkait ketersediaan pakan, sedangkan bagi manusia kebutuhan ruang untuk lahan pertanian dan perkebunan. Komoditas yang dibudidayakan oleh manusia merupakan jenis tanaman yang disukai oleh Gajah, sebaliknya lahan pertanian dan perkebunan masyarakat berada dalam koridor Gajah.

Anak anak (Syauka dan Jibran) bermain dengan Gajah di CRU Sampoiniet Aceh Jaya (sumber: M. Nasir)
Anak anak (Syauka dan Jibran) bermain dengan Gajah di CRU Sampoiniet Aceh Jaya (sumber: M. Nasir)

Dari beragam masalah dan kondisi tersebut, apa yang harus dilakukan sebagai solusi, baik dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat itu sendiri?

1. Kebijakan. Indonesia dikenal dengan negara yang cukup banyak produk peraturan perundang-undangan, termasuk masalah pengelolaan satwa dilindungi. Yang jadi masalah kemudian adalah ketidak-konsistensi dalam implementasi kebijakan tersebut, serta saling bertabrakan dengan aturan lain dilintas lembaga pemerintah itu sendiri. Sebagai contoh, satu kawasan ditetapkan sebagai koridor satwa, disisi lain untuk kepentingan investasi diterbitkan izin perkebunan atau pertambangan, dan banyak kasu lain. Artinya, perlu perbaikan ditingkat regulasi yang aturan tersebut menjadi payung hukum untuk semua sektor dan konsisten dalam implementasinya.

2. Edukasi. Masyarakat harus mendapatkan pengetahuan yang cukup, sehingga memiliki semangat yang sama dalam mengelola dan menangani konflik dilapangan. Gajah tidak perlu dianggap sebagai Hama yang harus dimusnahkan, bagaimana kemudian dengan pengetahuan yang cukup masyarakat dapat hidup berdampingan dengan mamalia besar itu. Sejarah membuktikan bahwa masyarakat Aceh dimasa lalu mampu hidup berdampingan dengan gajah.

3. Ekonomi alternatif. Perlu dicanangkan program ekonomi alternatif bagi masyarakat yang selama ini hidup berkonflik dengan Gajah. Sebagai contoh digagas ekowisata gajah liar. Sehingga masyarakat menjadi pemandu wisatawan juga pasti akan lahir sektor ekonomi lainnya dampak dari ekowisata tersebut. Sebagai contoh wisata Gajah liar di Amboseli National Park, Kenya, kemudian di Kui Buri National Park, Thailand, atau Periyar National Park, India.

4. Standar Penanganan. Masyarakat terdampak dari konflik Gajah mengeluh bahwa dalam penanganan Gajah berlaku standar ganda. Ketika warga melaporkan keberadaan gajah masuk pemukiman atau kebun kepada pihak berwenang, butuh waktu 20 hari lebih untuk mendapatkan respon dari pengaduan tersebut. Beda halnya ketika ada Gajah mati, laporan warga direspon dalam waktu 24 jam. Kekecewaan warga ini harus segera diakhiri, karena kondisi ini juga menjadi faktor warga "gelap mata" dalam menangani Gajah yang masuk pemukiman atau kebun.

5. SDA dan SDM. Negara harus menyediakan SDA dan SDM yang cukup untuk menangani konflik Gajah. Selama ini kurangnya anggaran dan personil menjadi alasan lambatnya penanganan konflik dilapangan.

6. Media Mitigasi. Semua wilayah konflik Gajah sangat kurang dan tergolong tidak ada alat sosialisasi atau rambu rambu sebagai upaya mitigasi untuk meminimalisir terjadi korban. Seharusnya instrumen tersebut tersedia dilapangan yang juga sebagai upaya edukasi bagi masyarakat. Misalnya, adanya call center pengaduan, papan larang atau himbauan, peta konflik, dan bentuk media kampanye lain yang mudah dipahami oleh masyarakat.

7. Kearifan Lokal. Pemerintah harus menggali dan mendokumentasikan kearifan lokal untuk disinergikan dengan hukum kekinian. Kenapa orang zaman dulu bisa hidup berdampingan dengan Gajah, kenapa sekarang tidak. Tentunya ada pengetahuan atau kearifan lokal yang ditinggalkan.

8. Kerja Kolaborasi. Penanganan konflik Gajah harus dilakukan secara kolaborasi dengan saling berbagi peran. Namun hal ini sulit dilakukan jika lembaga berwenang menutup data dan informasi atau terkesan alergi dengan komponen masyarakat sipil di daerah. Kerja Kolaborasi tidak hanya dengan lembaga penegakan hukum, juga harus terlibat masyarakat sipil dan masyarakat terdampak.

Mungkin secara teknis masih banyak solusi yang belum teruraikan, namun secara umum delapan hal diatas bagian dari isu yang ditemukan dilapangan.[]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun