Pertambangan emas yang dilakukan secara ilegal telah menjadi persoalan serius terhadap keberlangsungan lingkungan hidup dan kehidupan masyarakat banyak. Namun tidak dipungkiri, kehadiran pertambangan emas ilegal terjadi peningkatan ekonomi bagi kelompok masyarakat yang terlibat langsung dalam kegiatan pertambangan. Juga bagi mereka yang berada dalam rantai bisnis pendukung kegiatan ilegal tersebut.
Namun beda halnya bagi masyarakat yang "jauh" dari aktivitas haram itu. Mereka justru berada pada posisi sebagai kelompok penerima dampak negatif. Seperti; mengkonsumsi air yang tidak sehat karena terkontaminasi zat berbahaya, sebagai korban dari banjir bandang, krisis air untuk kebutuhan perairan sawah karena rusak sungai, dan juga beragam dampak lain termasuk perubahan iklim.
Tentu kondisi seperti diatas berlaku di semua wilayah Indonesia yang memiliki kegiatan pertambangan emas ilegal. Berkacamata dari provinsi Aceh, setidaknya sampai hari ini terdapat tujuh daerah yang memiliki kegiatan pertambangan emas ilegal. Yaitu kabupaten Pidie, Aceh Besar, Aceh Jaya, Nagan Raya, Aceh Barat, Aceh Selatan, dan Aceh Tengah.
Dari tujuh wilayah tersebut, konsentrasi penambang terbanyak ada di Pidie, Nagan Raya, dan Aceh Barat. Terdapat dua jenis komoditas emas yang ditambang, yaitu emas primer dan emas placer. Komoditas emas primer terdapat di Pidie, Aceh Jaya, Aceh Selatan, dan Aceh Tengah. Sedang komoditas emas placer tersebar di Pidie, Aceh Besar, Aceh Barat, Aceh Jaya, dan Nagan Raya.
Pertambangan emas primer dilakukan melalui cara menggali lubang secara vertikal dan horizontal dengan kedalaman diatas 30 meter dibawah tanah, umumnya berada di pegunungan dalam kawasan hutan. Material galian kemudian dioleh dengan mesin gelondongan dan dilakukan pemurnian untuk mendapatkan emas menggunakan merkuri atau sianida. Sedang komoditas emas placer umumnya berada dalam sungai, lahan dan pemukiman penduduk. Proses pengambilannya menggunakan alat berat jenis excavator, yang kemudian proses penyaringan menggunakan asbuk.
Bisa dibayangkan berapa besar tingkat kerusakan alam yang terjadi akibat pertambangan emas ilegal tersebut. Pertanyaan kemudian, apakah tidak dilakukan penertiban melalui upaya penegakan hukum? Jawabannya ada. Namun upaya penegakan hukum yang dilakukan belum mampu menjadi efek jera sehingga kegiatan pertambangan ilegal terhenti secara keseluruhan.
Banyak faktor yang menjadi penyebab kondisi ini terus terjadi. Seperti; ada kesan tebang pilih dalam penertiban, kelompok penambangan lebih kuat, mendapatkan dukungan dari oknum, krisis ekonomi masyarakat setempat, terjadi kesenjangan dengan perusahaan pertambangan, dan bisnis pendukung belum tersentuh hukum.
Namun apa saja bisnis pendukung dalam kegiatan pertambangan emas ilegal tersebut?
1. BBM, menjadi bisnis utama untuk mendukung beroperasinya alat berat dan peralatan mesin yang digunakan dalam pertambangan. Jika di satu daerah terdapat 200 alat berat, bisa dihitung berapa jumlah BBM jenis solar yang diperlukan setiap hari. Pertanyaan kemudian, BBM tersebut diambil dan dipasok dari mana. Lagi - lagi patut diduga ada oknum yang mengelola bisnis ini sehingga pasokan BBM untuk alat berat dan mesin terpenuhi dengan cukup.
2. Merkuri/sianida. Saban kita tahu bahwa kedua bahan tersebut tidak dipasarkan secara bebas di Indonesia. Pertanyaan para penambang dapat dari mana dan lagi - lagi siapa pemasoknya.
3. Penampung hasil tambang. Sudah pasti emas yang dihasilkan dari kegiatan pertambangan ilegal ada penampung atau pembeli. Pertanyaannya, mereka jual ke siapa dan kemana? Siapa yang menampungnya? Apakah dalam rantai bisnis ini terlibat pengusaha toko emas setiap daerah?
Tiga bisnis utama tersebut jika mampu diputuskan mata rantai, tentu kegiatan pertambangan emas ilegal dengan sendirinya akan berhenti. Pertanyaannya sulitkah bagi aparat penegak hukum untuk menjawab sejumlah pertanyaan di atas? Melihat kapasitas, cerita sukses, dan ketersediaan teknologi pada aparat penegak hukum kita tentu cukup mudah menjawab pertanyaan di atas.