Mohon tunggu...
Irfan Tamwifi
Irfan Tamwifi Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar

Bagikan Yang Kau Tahu

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jokowi vs PDIP

22 Desember 2024   14:24 Diperbarui: 8 Januari 2025   00:34 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Belakangan baru terkuak, bahwa pencalonan Jokowi sebagai gubernur yang membuat peluangnya menjadi presiden semakin besar justeru datang dari Prabowo, yang di kemudian hari menjadi lawan terberatnya. Dukungan Prabowo membuat PDIP tidak punya pilihan lain selain mendukungnya maju menjadi calon gubernur dan tanpa diduga membuka jalan bagi Jokowi bersaing memperebutkan kursi presiden RI.

Dukungan partai hanyalah pembukan jalan, tetapi keberhasilan calon presiden dan kepala daerah ditentukan oleh elektabilitasnya sendiri. Modal sukses Jokowi justeru terletak pada portofolio kesuksesannya memimpin daerah dan negara. Hal ini terbukti dari fakta bahwa selain sukses meraup suara besar dalam pilkada Solo kedua, Jokowi bahkan dua kali mampu mengalahkan Prabowo dalam pilpres. Beruntung Prabowo tidak kekanak-kanakan dan mengambil langkah politik yang jauh lebih bijaksana dengan bergabung bersama Jokowi, yang kemudian membuka jalan mulus untuk menjadi presiden RI ke 8.

Otokrasi Partai

Prestasi gemilang sebagai presiden dua periode seharusnya menempatkan Jokowi sebagai partner strategis dalam menentukan jalan politik partai, tapi tidak demikian dengan PDIP. Menjadi presiden dua periode dengan tingkat kepusasan tertinggi sepanjang sejarah tidak mengubah status dan kedudukan Jokowi di internal partainya. Jangankan diangkat sebagai tokoh terhormat, pimpinan PDIP masih saja memandang Jokowi sebagai bawahan. Bahkan saat tepilih menjadi presiden mereka secara angkuh menyebut Jokowi sebagai petugas partai. 

PDIP tidak melihat Jokowi sebagai legacy atau tokoh partai yang layak mendapat kursi kehormatan di dalam partai. Hak prerogatif yang mengokohkan otokrasi internal partai membuat Jokowi hanya dipandang sebagai “karyawan” partai, yang harusnya taat titah pimpinan partai apapun adanya, meski karier dan pencapaian Jokowi jauh melampaui pimpinan partai.

Padahal di saat yang sama jaringan politik Jokowi sudah jauh melampaui partainya. Sebagai presiden, Jokowi terbukti mampu mengendalikan banyak partai politik besar maupun kecil, sehingga punya banyak pilihan partai bila dikehendaki dan menentukan arah politik nasional menurut pandangannya sendiri. 

Sebagai presiden dua periode dengan berbagai visi, legacy dan pencapaian, Jokowi tentu memiliki pandangan dan kepentingan sendiri mengenai masa depan kepemimpinan nasional, yang setidaknya selaras untuk melanjutkan visi dan legacy-nya. Upaya Jokowi menyandingkan Prabowo dan Ganjar Pranowo yang nota bene menjadi anak emas PDIP merupakan pilihan strategis dalam mewujudkan visinya, sekalipun memberi ruang bagi partainya.

Masalahnya, pimpinan PDIP  menyambut dingin tawaran tersebut, bahkan sangat boleh jadi dipandang sebagai sikap politik tidak tahu diri, karena Jokowi hanyalah petugas partai yang tidak berhak memutuskan jalan politik partai. Atas dasar hak prerigatif pimpinan sebagai satu-satunya pihak yang berhak mengatur siapa pasangan capres-cawapres yang diusung partai menjadikan tawaran Jokowi justeru dipandang sebagai pembangkangan. 

Jokowi dan segala potensi yang dimiliki bukan dipandang sebagai aset, bahkan sekedar partner, tetapi justeru ditempatkan sebagai pesaing dalam menentukan jalan politik partai. Itu sebabnya menjelang pilpres 2024 sang pemilik partai justeru mendoktrinkan “tegak lurus” pada ketua umum sebagai antitesa atas sikap politik Jokowi, yang mengawali perpecahan dan perbedaan pilihan politik internal PDIP. Sebagian pihak mendukung pilihan Jokowi dan sebagian lagi memilih "tegak lurus" dengan pilihan ketua umum.  

Gejala perpecahan ini semakin terlihat ketika Gibran, putra Jokowi, mulai dilirik Prabowo untuk mendampinginya menjadi wakil presiden. Sadar akan besarnya pengaruh Jokowi menjadikan tokoh-tokoh PDIP mulai gerah dan menyerang Jokowi dan Gibran dengan isu politik dinasti dan berbagai ekspresi kemarahan PDIP terhadap Jokowi. Padahal menjadikan Gibran sebagai pilihan merupakan alternatif yang tak terbayangkan sebelumnya, bahkan oleh Prabowo sendiri. 

Disandingkannya Gibran sebagai calon wakil presiden Prabowo melahirkan pertarungan politik yang mempertaruhkan reputasi PDIP berhadapa dengan "partai perorangan" Jokowi. Gelaran pilpres dan pilkada 2024 menjadi ajang pembuktian pernyataan pimpinan PDIP bahwa Jokowi tidak ada apa-apanya tanpa PDIP. Hasil fantastis pilpres 2024 pada akhirnya dimenangkan oleh klaim tak terucap, bahwa ternyata PDIP tidak ada apa-apanya tanpa Jokowi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun