Mohon tunggu...
Irfan Tamwifi
Irfan Tamwifi Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar

Bagikan Yang Kau Tahu

Selanjutnya

Tutup

Politik

Calon Kepala Daerah Tanpa Visi

26 November 2024   12:20 Diperbarui: 26 November 2024   12:23 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Banyak drama unik dan menarik selama gelaran kampanye calon kepala daerah 2024, mulai kegaduhan debat calon kepala daerah, janji kampanye yang tidak masuk akal, sampai eksploitasi emosi masyarakat pendukungnya melalui pemanfaatan isu golongan dan SARA. Fenomena ini memperlihatkan bahwa pada dasarnya banyak calon kepala daerah tanpa visi dan misi politik yang jelas. Mereka tidak memiliki konsep membangun dan berkontribusi bagi kemajuan daerah yang diharapkan akan bersedia mereka pimpin.

Padahal visi politik itulah yang seharusnya dikontestasikan dalam pemilihan umum. Kampanye merupakan upaya memperkenalkan serta mensosialisasikan visi dan misi tersebut kepada masyarakat. Selanjutnya masyarakat sendirilah yang menentukan visi dan misi mana yang sesuai dengan harapan mereka.

Satu-satunya visi misi yang diusung oleh kebanyakan pasangan calon kepala daerah hanyalah misi kekuasaan. Yang penting bisa berkuasa, itulah yang selama ini menjadi satu-satunya tujuan kontestasi politik pada kebanyakan daerah di negeri ini. Di antara tanda-tanda calon pemimpin politik yang hanya mengusung visi misi berkuasa adalah sebagai berikut.

1.   Modal Popularitas

Yang paling lazim terjadi sejak reformasi adalah banyak partai politik atau aliansi partai politik yang lebih mengandalkan ketokohan dan popularitas seseorang. Banyak partai yang mengusung para pesohor, dari kalangan artis, tokoh agama atau tokoh masyarakat sebagai cara menarik simpati publik, meski sebenarnya yang bersangkutan tidak memiliki visi misi apapun berkenaan dengan membangun dan memajukan daerahnya.

Popularitas menjadi alat untuk meraup dukungan publik agar melegalkan pasangan calon kepala daerah menjadi penguasa. Tanpa visi dan misi membangun yang jelas, dapat dipahami bila yang mereka lakukan setelah berkuasa hanyalah berbagi kekuasaan dan tentu saja uang kepada para kolega yang telah mengantarkan mereka berkuasa, sementara masyarakat pendukung hanya mendapatkan hiburan sesaat dengan kemenangan sang idola.

2.   Branding dan Debranding

Tidak jelasnya visi misi politik yang diusung atau orientasi kontestasi politik yang hanya berorientasi kekuasaan menjadikan mereka tidak mampu mengkontestasikan konsep dan strategi pembangunan. Yang mereka lakukan hanya membranding ketokohan seseorang dengan berbagai predikat yang sebagian besar semu dan menipu demi meraih simpati, atau menjatuhkan pihak lain dengan segala cara.

Tidak mengherankan bila dalam kontestasi pemilu di negeri ini banyak diwarnai dengan branding tokoh yang sebelumnya tidak memiliki nilai sosial politik apapun menjadi tokoh baru meski tanpa rekam jejak yang dapat dipertanggungjawabkan. Yang paling layak diacungi jempol adalah para influencer dan tim kampanye yang sering kai mampu mengubah seseorang yang tidak begitu dikenal tiba-tiba menjadi sosok yang layak diidolakan, meski Pilkada lebih sering berasa memilih kucing dalam karung. Masyarakat hanya diberi pilihan tokoh besar karena baliho, leaflet dan narasi-narasi, tanpa jelas visi misinya, kemampuan kerjanya, apalagi integritasnya.  

3.   Isu SARA dan Golongan

Tidak asing lagi, calon-calon pemimpin yang hanya bervisi kekuasaan banyak menjual diri dan.atau mendiskreditkan calon lain dengan memanfaatkan isu sara dan golongan. Mereka tidak menawarkan konsep membangun, memajukan ataupun mensejahterakan daerahnya melainkan sekedar ingin berkuasa dengan segala cara, sekalipun harus merusak harmoni masyarakat.

Merekalah mengeksploitasi emosi masyarakat dengan mengangkat isu-isu emosional yang pada dasarnya tidak bermanfaat sama sekali bagi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat di daerahnya. Orang-orang semacam ini sebenarnya tidak ingin membangun, dalam arti membuat masyarakat semakin cerdas dan sejahtera. Itu sebabnya, mereka tidak segan membodohi masyarakat dengan narasi-narasi yang penuh provokasi, bahkan menebar hoax dan berbagai ketakutan semu dengan memanfaatkan dukungan tokoh agama atau adat. Kebodohan masyarakat menjadi aset penting dan menentukan bagi calon kepala daerah semacam ini. Semakin bodoh masyarakat berarti semakin kokoh kekuasaan mereka.

4.   Politik Uang

Salah satu fenomena paling umum dalam pemilu kepala daerah, termasuk pemilihan legislatif dan juga sangat marak dalam pemilihan calon kepala desa adalah politik uang. Masyarakat digiring untuk memilih salah satu calon dengan imbalan materi dan uang. Meski tidak selalu membuat masyarakat memilih pihak pemberi materi dan uang, tetapi model ini masih menjadi pilihan banyak calon kepala daerah, calon legislatif dan calon kepala desa.

Ketidakjelasan visi misi bahkan integritas calon pemimpin membuat dipimpin siapun tidak ada bedanya bagi masyarakat. Dalam konteks kepemimpinan, mereka pada dasarnya adalah pemimpin yang tidak punya harga diri, bahkan bisa jadi tidak membutuhkannya. Mereka hanyalah orang-orang yang ingin berkuasa dengan segala cara dan sudah pasti tidak mungkin diharapkan kontribusinya bagi pembangunan ataupun kesejahteraan masyarakat, karena orientasi utama mereka sudah pasti tertuju pada bagaimana mengembalikan modal dan mengeruk keuntungan melalui kekuasaan.

Penutup

Sebagaimana pemilihan anggota legislatif dan kepala desa, pemilihan kepala daerah memang yang tidak memberi pilihan. Kecuali di daerah-daerah tertentu dan tidak di banyak tempat, gelaran kampanye beberapa hari lalu memperlihatkan bahwa mayoritas calon kepala daerah sebenarnya tidak layak dipilih, baik dari segi integritas, visi misi maupun kompetensinya untuk membangun daerah. Hanya saja, pemilihan ini harus tetap dilalui karena sistem politik dan pemerintahan yang telah disepakati di negeri ini harus berjalan, sambil berharap perlahan-lahan ada perubahan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun