Sejak ada tanda-tanda akan menjadi cawapres Prabowo di pilpres 2024, Gibran, putra mantan presiden Jokowi, banyak menuai serangan dari pesaing-pesaing politik Jokowi dan diframing sebagai politik dinasti. Suara penolakan Gibran sebagai wakil presiden menggema semakin keras bahkan setelah pasangan Prabowo-Gibran memenangkan Pilpres. Padahal Prabowo sendiri menegaskan bahwa memilih Gibran sebagai wakil presiden sepenuhnya merupakan keputusannya sendiri.
Lucunya, serangan terhadap Gibran masih dilakukan saat Gibran sudah resmi menjabat sebagai wakil presiden, bahkan dilakukan oleh kalangan legislatif dengan tidak memasang foto wakil presiden di gedung DPR, yang dari sini kita jadi tahu siapa pelaku yang selama ini menggerakkan aksi menolak Gibran. Entah apa maksudnya, di tengah ramainya penolakan terhadap Gibran, salah satu anggota kabinet merah-putih, seperti diakui oleh Maruarar Sirait yang dalam satu kesempatan, menyatakan tidak memasang foto wakil presiden.
Fenomena ini memunculkan tanda tanya, apa yang sebenarnya terjadi di negeri ini, sebab suka-tidak suka Gibran sudah terpilih menjadi bagian dari simbol negara ini lima tahun ke depan. Tanpa harus menjadi pakar politik, siapapun tahu bahwa munculnya sikap anti pati terhadap Gibran terjadi karena beberapa faktor berikut.
1. Â Kecemburuan PolitikÂ
Tidak dapat dipungkiri keberhasilan meraih posisi wakil presiden di usia semuda dan secepat Gibran memunculkan kecemburuan luar biasa bagi kalangan politisi. Untuk sekedar meraih kursi di gedung DPR, para politisi harus gambling berdarah-darah. Sementara hanya berbekal privillage sebagai putra Jokowi, Gibran begitu mudah meraih posisi jabatan terhormat kedua di negeri ini, sebuah prestasi  yang jauh di atas apa yang mampu diraih Roy Suryo dan kawan-kawan.
Kedudukannya sebagai wakil presiden yang secara konstitusional membawahi politisi-politisi senior sudah pasti menimbulkan beban dan kecemburuan psikologis tersendiri. Meski sangat boleh jadi Prabowo tidak menjadi presiden tanpa Gibran, tetapi mengingat attitute yang masih belum matang dan sudah pasti belum memiliki bergaining politik yang kuat, tidak mengherankan bila para politisi senior di DPR meremehkan, berupaya mendelegitimasi dan bila perlu dengan didepak bila ada kesempatan.
2. Â Posisi Politik Lemah
Sama seperti sang ayah, Jokowi, Gibran juga termasuk politisi lemah karena bukan aktivis apalagi pemilik partai. Tanpa status aktivis ataupun pemilik partai membuat Gibran tidak memiliki cukup kekuasaan dan bergaining dengan berbagai kekuatan politik partai, sehingga rentan menjadi sasaran penyerangan hingga deligitimasi politik tanpa ada politisi partai yang bersedia membelanya.
Seperti halnya Jokowi, karier politik Gibran hanya bermodalkan kekuatan elektoral, sebagai tokoh yang lebih terpercaya di mata rakyat. Tokoh-tokoh seperti ini kurang mampu, dan sangat mungkin tidak mau, menggerakkan massa untuk turun ke jalan atau membangun framing politik. Tanpa partai politik sendiri, Gibran seperti halnya Jokowi, tidak memiliki kuasa untuk bermain konspirasi dengan partai-partai politik, sehingga dengan mudah diremehkan dan menjadi bulan-bulanan para politisi partai. Â
3. Â Terlalu Populer
Meski lemah secara politik karena tidak memiliki partai, Gibran maupun Jokowi masih terlalu populer di mata masyarakat negeri ini. Hal ini menjadi ancaman bagi kalangan politisi karena potensial menjadi pesaing politik yang berat di masa depan. Kepercayaan masyarakat yang terlalu besar terhadap keluarga Jokowi akan cenderung menjadikan partai politik kehilangan wibawa, hanya menjadi kendaraan politik sementara saat dibutuhkan saja.