Mohon tunggu...
Irfan Tamwifi
Irfan Tamwifi Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar

Bagikan Yang Kau Tahu

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kemiripan Yahudi dan Islam

7 Desember 2023   20:49 Diperbarui: 7 Desember 2023   20:49 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Konflik antara Palestina (Hamas) dan Israel sering digambarkan sebagai representasi konflik antara dua agama, Yahudi vs Islam, yang mana Israel mewakili agama Yahudi dan Palestina mewakili Islam. Panjang dan dramatiknya konflik  menimbulkan kesan bahwa Yahudi dan Islam adalah dua kutub yang berlawanan yang tidak mungkin berjalan beriringan.
Selain itu, perjuangan Palestina yang melibatkan penganut Islam dan Kristen melawan Israel,  seakan-akan Islam lebih dekat dan lebih bisa bekerjasama dengan Kristen, tapi tidak dengan Yahudi. Itu sebabnya kedekatan hubungan para penguasa muslim di Timur Tengah dengan rejim zionis Israel terlihat aneh di mata masyarakat Indonesia.
Di kalangan umat Islam di Indonesia dan mungkin juga di berbagai negara berpenduduk mayoritas muslim, Yahudi punya konotasi negatif, bahkan sangat negatif dan sulit diterima keberadaannya. Disebut sebagai Yahudi atau antek-antek Yahudi dapat dianggap sebagai sebuah pelecehan dan penghinaan yang luar biasa.
Agama Yahudi seakan-akan agama yang menjadi musuh terbesar Islam dan sama sekali bertolakbelakang dengan Islam. Padahal sebenarnya tidak demikian bila mencermati ajaran-ajaran kedua agama. Dengan meminjam perspektif strukturalisme Levi Strauss, terlihat bahwa Yahudi sebenarnya merupakan agama yang paling dekat dengan Islam dibanding Nasrani, meski ketiga agama tersebut memiliki akar geneaologi yang sama.
Islam Itu Mirip Yahudi
Islam dan Yahudi memang berbeda dalam hal tradisi, semisal hari keagamaan, yang mana Islam menetapkan hari keenam sebagai hari berkumpul (jum’ah) untuk beribadah kolektif, sementara Yahudi memilih hari Sabtu (sabath). Meski demikian, secara teologis dan ritual, keduanya memiliki banyak kemiripan. Kemiripan paling jelas antara Islam dan Yahudi pertama-tama terletak pada konsep ketuhanan, yang merupakan ajaran paling pokok dan mendasar dari setiap agama. Boleh dibilang keduanya memiliki konsep ketuhanan yang persis sama, sekalipun ada perbedaan dalam mengekspresikannya.
Tuhan dalam agama Islam adalah Tuhan yang sama yang dimaksudkan dalam agama Yahudi, meski dilafalkan dengan bahasa berbeda. Kedua agama sama-sama meyakini keesaan Tuhan, yaitu Tuhan yang tidak ada satupun yang menyerupai-Nya. Tuhan kedua agama ini adalah Tuhan yang diimani oleh Abraham (Ibrahim), Solomon (sulaiman) dan semua nabi pada masa sebelumnya hingga Adam, yang oleh kalangan muslim disebut agama Tauhid. Menyekutukan Tuhan (syirik) adalah salah satu dosa besar dan larangan terbesar dalam kedua agama ini.
Dalam konteks hukum agama, keduanya hingga saat ini sama-tegas melarang perbuatan-perbuatan yang dikategorikan sebagai dosa besar. Berbagai batasan hukum yang ketat masih sama-sama berlaku semisal berzina, makan daging babi, minuman keras dan mewajibkan khitan bagi kaum pria.
Peribadatan keduanya juga memiliki kemiripan meski dengan tata cara (kayfiyah) berbeda. Islam maupun Yahudi mewajibkan bersuci dengan air, yang dalam Islam disebut wudlu, sebelum melakukan sembahyang, yang dilakukan dengan membasuh muka dan tangan. Bedanya Islam ada tambahan keharusan membasuh kedua kaki dan berbagai prasyarat tertentu, tetapi substansi dan urgensinya kurang lebih sama.
Meski dengan tata cara tidak persis sama, keduanya melakukan sembahyang yang polanya hampir sama, yaitu berdiri hingga bersujud. Di kedua agama juga ada ajaran berpuasa hingga ziarah, haji ke Makkah bagi muslim dan ke baitul maqdis bagi Yahudi dengan serangkaian tata cara dan detail ritual masing-masing. Bahkan qiblat sholat umat Islam pada awalnya adalah baitul maqdis yang di kemudian hari berubah ke arah Ka’bah di Makkah.
Agama Islam seakan-akan sebuah “sekte” atau pecahan dari agama Yahudi, mengingat Yahudi lebih dahulu ada dibanding Islam. Hal ini dapat terjadi karena Islam pada dasarnya bukan agama baru sama sekali. Islam bahkan mengklaim sebagai agama yang meluruskan agama-agama Abrahamik dari berbagai penyimpangan.
Klaim tersebut tentu tidak diterima begitu saja oleh para penganut Yahudi, karena agama mereka adalah keyakinan ekslusif bagi keturunan Jacobus (Ya’qub) dan mereka pertahankan generasi demi generasi. Islam dan Yahudi adalah sama-sama agama monotheis dengan norma-norma yang mirip. Bedanya, Yahudi adalah agama monotheis ekslusif, sementara Islam menjadi agama monotheis  versi inklusif yang terbuka untuk diimani oleh siapapun.
Yahudi dan Nasrani
Kemiripan ajaran Yahudi dan Islam semacam ini sebenarnya  tidak dimiliki oleh agama Nasrani. Uniknya  umat Nasrani justeru sering berskap dan berperilaku yang seakan-akan ajaran agamanya lebih dekat dengan agama Yahudi.
Itu sebabnya hari-hari ini banyak umat Nasrani di Indonesia yang ramai-ramai mendukung Israel dalam perang Palestina (Hamas)-Israel. Sedikit banyak dukungan tersebut didasarkan atas kesan bahwa agama Nasrani lebih memiliki kedekatan dengan  Yahudi dibanding Islam, padahal tidak demikian.
Sebagaimana Islam, Nasrani memang mempunyai akar yang sangat dekat dengan Yahudi, karena Isa atau Yesus sedianya hadir sebagai Mesiah bagi bangsa Yahudi yang saat itu tertindas oleh Romawi. Ayat-ayat Torah (Taurat) Yahudi juga menjadi bagian dari ayat-ayat dalam naskah-naskah keagamaan Nasrani. Namun demikian, kuatnya pengaruh Romawi  membuat ajaran-ajaran agama Nasrani lebih bercitarasa Romawi dibanding abrahamik, utamanya Yahudi, baik dalam hal teologi maupun norma-norma keagamaan.
Secara teologis, ajaran agama Nasrani bukan saja bertentangan dengan ajaran Yahudi, melainkan bentuk penyekutuan Tuhan yang dilarang keras dalam teologi Judaisme. Para Rabi Yahudi dapat menerima bahwa Tuhan orang Islam sama dengan Tuhan yang mereka sembah, tetapi tidak dengan Tuhan agama Nasrani.  Umat Yahudi dan Islam sama-sama butuh makanan yang memenuhi kriteria halal,  tetapi tidak demikian bagi umat Nasrani.
Konflik Islam vs Yahudi
Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa dua agama yang memiliki ajaran yang secara teologis mirip satu sama lain, untuk tidak menyebut sama, justeru seakan berada di kutub berlawanan? Mengapa kesamaan tidak membuat dua entitas saling bekerjasama?
Secara historis, konflik dan benturan antara Islam dan Yahudi di masa lalu sebenarnya tidak begitu menonjol. Perang Islam vs Yahudi hanya terjadi pada periode-periode awal kelahiran Islam, masa Nabi dan Sahabat. Di masa-masa sesudahnya nyaris tidak ada konflik apalagi peperangan yang cukup besar dalam catatan sejarah. Umat dapat Yahudi hidup berdampingan secara damai bahkan saling bekerja sama selama masa kekuasaan Islam mendominasi Timur Tengah hingga mencapai Eropa dan Afrika.
Sebaliknya, konflik dan perang besar yang mengatasnamakan agama justeru terjadi antara Kristen Eropa dan pasukan muslim dalam perang Salib. Bukan hanya tahunan, perang tersebut bahkan berlangsung selama beberapa abad lamanya dan gregetnya masih terbawa saat terjadi kolonialisasi bangsa Eropa atas berbagai wilayah dunia Islam.
Konflik dan antipati terhadap kaum Yahudi bahkan lebih sering terjadi di Eropa sejak era kegelapan (dark age) hingga era modern yang berpuncak pada terjadinya Holocous. Konflik baru muncul dan terus membesar ketika kaum kolonial Eropa memberikan jalan lebar bagi gerakan Zionisme dan mencapai hasilnya dengan berdirinya negara Israel dengan menjadikan bangsa Palestina sebagai korban, dengan menyisakan luka, duka dan permusuhan. Entah sampai kapan.
Penutup
Kemiripan atau bahkan boleh dibilang kesamaan ajaran Yahudi dan Islam  seharusnya dapat mempertemukan keduanya dalam dialog antar agama yang konstruktif. Apalagi selama berabad-abad umat Islam dan Yahudi terbiasa hidup saling berdampingan satu sama lain. Kesamaan tersebut tidak ada artinya lagi ketika relasi antar pemeluk agama diliputi oleh kepentingan politik untuk saling mendominasi, yang membuat kesamaan menjadi kehilangan maknanya dalam membangun kebersamaan. Harapan membangun perdamaian semakin berat untuk diwujudkan, ketika situasi dipenuhi aura permusuhan. Kini, indahnya kebersamaan dan kedamaian membutuhkan kemampuan dalam mengatasi perbedaan kepentingan yang semakin tajam dengan bumbu-bumbu kecurigaan dan ketidakpercayaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun