Mohon tunggu...
Irfan Tamwifi
Irfan Tamwifi Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar

Bagikan Yang Kau Tahu

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kasus Egy, Human Error atau Mental Error?

1 Desember 2023   22:56 Diperbarui: 1 Desember 2023   23:48 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa hari ini viral sebuah video yang memperlihatkan seorang anak laki-laki menangis di pelukan ibunya. Egy, yang merupakan nama panggilan dari Giyats Gajaksahda merupakan peserta lomba renang tingkat SD yang diselenggarakan dalam rangka Pekan Olah Raga Pelajar Daerah (POPDA) kabupaten Sleman Yogyakarta.

Dalam video tersebut terdapat capture tulisan, gagal juara karena dicurangi panitian, yang disertai pula bukti video yang menayangkan detik-detik peserta lomba renang mencapai garis finis. 

Terlihat jelas dalam video yang memperlihatkan Egy menyentuh garis finis kedua yang jaraknya hanya sepersekian detik dari juara pertama yang posisinya paling dekat dengan perekam video. Di belakang Egy, yang konon dinobatkan sebagai juara 2 dan 3 berjarak cukup jauh di belakang Egy.

Masalah ini memang sudah dinyatakan selesai setelah Egy akhirnya diberikan pengakuan sebagai juara dua setelah viral, tetapi menyisakan tanda tanya tentang integritas panitia lomba tersebut. Refleksi dari kasus ini perlu dilakukan, mengingat fenomena kecurangan panitia sebenarnya bukan hal asing di dunia olah raga dan kemasyarakatan kita.

Human Error atau Mental Error

Melihat jarak peserta yang dinobatkan sebagai juara 2 dan 3 dalam video yang terpaut cukup jauh, hampir mustahil bila penetapan juara diakibatkan kesalahan pencatatan (human error). Mustahil panitia tidak tahu peserta mana yang seharusnya menjadi juara dan tidak, tetapi faktanya, pengumuman hasil lomba berbeda dari fakta di lapangan.

Hal ini memperlihatkan penetapan juara dengan mengabaikan juara yang sebenarnya sangat mungkin merupakan kesengajaan (mental error). Apalagi orang tua Egy menyatakan sudah menyampaikan protes dengan menunjukkan video rekaman perlombaan. Itu sebabnya menjadi aneh bila panitia tidak mempertimbangkannya dalam mengambil keputusan, karena menentukan juara pada lomba ini relatif mudah, cukup dengan mata telanjang, kecuali bila ada selisih waktu yang krusial. 

Alasan bahwa yang berhak protes hanyalah offisial merupakan alasan birokratis dan mengada-ada untuk menutup celah protes. Mereka dapat dengan mudah berlindung di balik alibi hasil technical meeting atau semacamnya, tapi tidak dapat menyembunyikan fakta tentang lemahnya integritas panitia di arena lomba. 

Padahal posisi mereka adalah orang-orang tua, bahkan sangat mungkin terdiri dari para guru, mengingat peserta lomba adalah kalangan pelajar sekolah dasar. Mereka yang seharusnya mengajarkan fairness dan sportivitas melalui olah raga justeru mengajarkan kecurangan di depan mata.

Bahkan setelah kasus ini viral, konon mereka tidak tergerak untuk memberikan respon semestinya dan baru mengambil sikap setelah menteri pemuda dan olah raga turun tangan. Ini memperlihatkan rendahnya tanggung jawab terhadap apa yang seharusnya di bawah tanggung jawabnya. 

Penyelesaian masalah “secara damai” dan kekeluargaan menjadikan fenomena ini menjadi gelap untuk dapat diungkap, tetapi sedikit banyak membuka mata betapa kecurangan-kecurangan semacam ini sebenarnya hal yang sangat lazim terjadi, bukan hanya pada lomba renang saja.

Hal yang kurang lebih sama banyak terjadi di berbagai lomba di berbagai even dan tempat. Banyak perlombaan yang gagal menjadi wahana seleksi bagi pemilik bakat terbaik, akibat rendahnya intergitas panitia hingga memenangkan pihak yang tak seharusnya bukan pemenang. Logikanya, mengubah pemenang lomba yang jelas-jelas terlihat di depan mata saja bisa dilakukannya, apalagi menentukan pemenang pada lomba-lomba yang membutuhkan penilaian subyektif dan tertutup.

Penutup

Egy dan keluarganya mungkin sudah lega karena telah mendapatkan haknya, meski menerima medali juara dan hadiah di luar lomba tidaklah sama dengan menerimanya di tengah gegap gempita lomba. Yang perlu diingat, kasus Egy sudah pasti bukan fenomena satu-satunya di negeri ini. Di berbagai daerah banyak lomba, baik yang lomba bidang vokasi , seni maupun akademik, yang calon juaranya sudah dapat ditebak dari sekolah mana, tidak peduli bagaimana jalannya lomba. Padahal rendahnya integritas para penyelenggara dan pengelola lomba potensial merusak motivasi pelajar untuk berprestasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun