Mohon tunggu...
Irfan Tamwifi
Irfan Tamwifi Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar

Bagikan Yang Kau Tahu

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Keluar dari Widow Syndrome Akibat Istriku Meninggal Dunia

3 Februari 2022   01:03 Diperbarui: 4 Februari 2022   08:41 2464
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Dokumentasi Pribadi

Selasa 6 April 2021 pukul 06.30 hanphoneku berdering beberapa kali di lantai bawah. Panggilan itu berhenti saat aku memegangnya. Aku tak enak hati saat tahu siapa yang barusan menelponku, mbak Bihar, pejabat rumah sakit tempat istriku dirawat. 

Saat aku mencoba menelpon balik, tiba2 dia kembali menelpon dan langsung kusambut dengan salam, "Assalamu Alaikum mbak Bihar". Tanpa banyak kata dia hanya berucap, "Ibu tidak tertolong" disambung dengan suara tangisan. 

"Ya Allah..." Seketika tubuhku limbung dan teduduk lemas di bawah tangga. Dadaku serasa pecah, pandanganku gelap gulita oleh air mata yang tak henti mengucur dari pelupuk mataku. Beberapa saat kutahan tangisku tapi lama kelamaan aku meraung keras seperti anak kecil.

Tak berapa lama anak-anakku datang dan bertanya, "Pah, Ada Apa?" 

"Mama Meninggal" Sahutku sambil memeluk mereka yang seketika ikut menangis sejadi-jadinya.  

Entah berapa lama kami menangis sedih, tiba-tiba Samsul, teman kantorku sudah berdiri di hadapanku. "Ayo kita berangkat" ucapnya setelah beberapa saat mematung di hadapanku.

"Ke mana?" Sahutku tak paham maksudnya.

"Ke rumah sakit" Jawabnya.

"Ngapain?" Sahutku yang benar-benar tak tahu apa yang harus aku lakukan.

"Ambil jenazah istrimu, kan" Sahutnya.

"Ya Allah..." Aku baru tersadar bahwa aku harus segera mengurus jenazah istriku di rumah sakit dan membawanya pulang untuk dikuburkan.

"Papah berangkat aja, biar aku yang kasih kabar saudara-saudara" Sahut anak sulungku yang terlihat tegar.

Aku bergegas ke kamar untuk ganti pakaian dan saat keluar kamar tiba-tiba sudah banyak kerabat yang datang ke rumah. Tanpa banyak kata, aku berangkat ke rumah sakit disopiri mas Samsul. Sepanjang jalan tak sepatah katapun kami ucapkan, karena aku tak kuasa menahan tangis kesedihanku. 

Aku baru sedikit mampu menahan tangis saat harus mengurus berbagai administrasi rumah sakit, tapi kembali tak mampu menahan rasa sedihku saat jenazah istriku dimasukkan ke kamar pemulasaran untuk dimandikan.

Aku benar-benar tak menyangka istriku akan pergi secepat ini. Sejak pertama mengeluh sakit, aku merasa dia hanya sakit biasa, bahkan gejalanya tak lebih parah dibanding berbagai sakit yang pernah dia derita sebelumnya.

Dia bahkan masih bisa berjalan sendiri dari parkiran mobil ke UGD, meski harus aku gandeng tangannya sebelum kemudian akhirnya aku dorong dengan kursi roda. 

Meski akhirnya dinyatakan terkena gejala Covid-19 aku masih percaya dia akan baik-baik saja, karena saturasi oksigennya sejak dirawat sampai hari keempat ada di angka 97, kategori normal. 

Aku baru mulai kuatir kemarin malam dia tiba-tiba mengeluh susah bernafas dan masih berharap dia akan baik-baik saja saat dokter menelpon minta ijin pemasangan ventilator. 

Aku yakin istriku sangat kuat dan mampu melewatinya, tapi dugaanku benar-benar salah. Istriku benar-benar tak tertolong. Aku benar-benar tak menyangka akan membawanya pulang dalam peti mati. 

Aku hanya mampu mengelus peti yang tertutup rapat itu. Tanpa sadar aku ngomel di atas jasadnya yang bersemayam dalam peti yang tertutup rapat. "Kenapa harus mama yang pergi, kenapa bukan aku saja?"

Melihatku yang begitu kalut, mas Samsul melarangku menemani jenazah di ambulan. "Di mobilku saja" pintanya.

"Enggak aku di sini saja" sergahku ingin menemani istriku. 

"Ayolah, di mobilku saja. Bisa-bisa kamu nanti kenapa-napa. Sopirnya makin susah" ajaknya dengan memaksa.

Akupun menurutinya dan tak berapa lama mobil mas Samsul terus membuntuti ambulan. Sepanjang jalan wajahku tak henti mandi air mata. 

Disambut banyak sekali pelayat, jenazah istriku tiba di lapangan sekolah di sebelah rumahku. Hujan tangis kembali pecah saat anak-anak dan keluargaku menyambutku turun dari mobil. 

Foto: Dokumentasi Pribadi
Foto: Dokumentasi Pribadi

Tangisku benar-benar tak mampu kutahan selama sholat jenazah di lapangan itu dan baru sedikit mereda saat pemakaman selesai dan kami diijinkan mendekati makam wanita yang telah menemaniku 21 tahun itu untuk berdoa bersama anak-anak dan keluargaku.

Beberapa lama aku bertahan di sisi makan istriku. aku tak henti bertanya padanya meski sama sekali tak terjawab, "Kenapa? Kenapa mama ninggalin aku dan anak-anak?" tanyaku.

"Dulu mama memaksa papa agar mau tinggal di kampung mama, kenapa sekarang malah pergi duluan?" tanyaku berulang kali.

"Pah Sudahlah... Ayo pulang" Suara anak sulungku yang tegar membuatku terjaga dan dengan berat hati bangkit berdiri, lalu beranjak meninggalkan pemakaman.

Hari itu, aku benar-benar tak tahu apa yang harus aku lakukan. Pikiranku terasa benar-benar kosong, perasaanku hampa dan teramat sedih dengan apa yang telah terjadi. Kehadiran tamu yang silih berganti berlalu begitu saja. 

Aku bagai orang linglung selama berada di tengah sanak keluarga yang datang dan menemaniku hampir seminggu, dan baru mulai tersadar saat bulan Ramadhan tiba, saat aku benar-benar menyadari keadaanku.

Ramahan 2021 benar-benar berbeda, tanpa kehadiran istriku, tapi jadi awal perenunganku. Deraan kesedihan masih begitu kuat menggelayuti perasaanku, tapi aku bisa melihat keempat anakku yang masih membutuhkanku. "Ya, aku harus kuat, aku harus bisa melewati ini semua demi anak-anakku" Gumanku dalam hati berulang kali.

Meski demikian, ada satu yang tak bisa kupungkiri. Mentalku benar-benar rapuh saat itu. Jauh di lubuk hatiku ada rasa tak berdaya dan frustasi yang teramat dalam. 

Aku sadar, aku masih hidup, masih bernafas, tapi rasa-rasanya seperti terpelanting dari langit yang sangat tinggi dan tak lagi kuasa untuk kembali berdiri.    

"Inilah takdir ilahi, inilah yang harus terjadi. Saat ini ada ribuan orang mengalami peristiwa seperti ini, bahkan banyak di antaranya lebih buruk dari yang aku alami. Kali ini memang sedang terjadi bencana. Tak seorangpun tahu siapa yang dapat selamat dari prahara ini" Gumanku menghibur diri

Aku membayangkan serangan virus ini seperti hujan peluru di medan perang Irak, Suriah atau negeri-negeri yang dilanda konflik. 

Tak seorangpun tahu siapa yang bisa selamat darinya dan siapa yang harus terluka dan mati. Begitulah berhari-hari, berminggu-minggu aku berjuang keras menenangkan diri, berjuang untuk mampu menerima kenyataan ini.  

Hingga dua minggu setelah kematian istriku, aku tak mampu banyak bicara, bahkan sekedar menjadi imam shalat. Saat satu dua kata terucap dari mulutku, sudah pasti tangis kesedihan merekah dari dadaku. 

Tenggorokanku langsung tercekat dan tangisanku langsung pecah begitu aku kumandangkan takbir untuk memulai shalat, hingga tak mungkin aku memimpin ibadah itu di depan orang. 

Setelah dua minggu berlalu aku mulai bisa banyak bicara dan menjadi imam shalat kembali, tapi ada satu yang kurasakan sangat berat kurasakan yang mungkin tak seorangpun tahu, rasa frustasi. Ya, kepergian istriku membuat gairah hidupku benar-benar sirna. Jiwaku benar-benar hampa, kosong dan rasa-rasanya hidupku sudah selesai.

Hubunganku dengan istriku memang terbilang berbeda dari orang-orang yang aku kenal. Kedekatanku dengan istri selama ini tak ubahnya seperti sepasang kakak-adik, sahabat atau partner yang teramat dekat dan kompak. 

Setiap hari kami menghabiskan banyak waktu untuk saling bercerita apa saja, saling bercanda hingga sama sekali tak ada rahasia antara kami berdua. 

Kami nyaris tidak pernah bertengkar apalagi dengan suara keras, karena kami selalu menyelesaikan masalah apapun dengan menghabiskan waktu berdua. Banyak kolega dan kerabat yang menilai sikapku dan istri seperti kakak-adik atau orang yang masih pacaran, meski sudah 21 tahun menikah. 

Itu sebabnya, sepeninggal istriku sama sekali tak ada nasehat yang benar-benar menyentuh perasaanku. Berbagai nasehat orang agar sabar, tabah dan tawakkal benar-benar terdengar klise dan tak berarti. 

Meski berusaha tegar di hadapan semua orang, tapi sejujurnya jiwaku benar-benar down. Saat itulah aku benar-benar tahu apa yang dirasakan orang yang dilanda patah hati, frustasi  dan sebagian orang yang memilih mengakhiri hidupnya sendiri, tanpa tahu bagaimana keluar dari keadaan ini.     

Aku baru mulai tersadar saat psikolog yang biasa dampingi murid-muridku sering bertanya keadaanku dan memberikan beberapa artikel. 

Semula aku malas membukanya, tapi aku terperangah saat iseng-iseng membaca artikel tentang widow syndrome. Ya, rupanya, aku termasuk orang yang menderita widow syndrome. Syndrome itu biasa dialami orang yang ditinggal mati pasangan yang sangat dicintai. 

Penderita syndrom ini  sangat potensial menyusul pasangannya yang meninggal dunia, karena beban kesedihan yang teramat dalam dan tak mudah terobati. 

Artikel-artikel itu membuatku jadi teringat paman dan bibiku yang menyusul pasangannya tidak lama setelah ditinggal mati. Ironisnya gejala-gejala syndrom itu ada padaku tanpa satu gejalapun terlewati.

"Ya Allah, setelah kepergian istriku, rasanya hidupku sudah tak berguna lagi, tapi bagaimana nasib anak-anakku bila ini harus terjadi padaku?" Gumanku dalam hati. 

Sejak saat itulah aku bertekad untuk bangkit dan berjuang untuk terus melanjutkan hidupku. Ya, aku harus terus hidup dan merasa hidup setidaknya demi mengantarkan anak-anakku mampu hidup mandiri. 

Aku tak peduli berapa lama Allah akan terus memberikan umur untukku. Setidaknya, aku harus hidup dengan penuh semangat agar mampu semangati anak-anakku dalam meraih masa depan mereka.  

Banyak teman dan keluarga yang menyarankan aku segera menikah kembali, padahal sejujurnya hal itu benar-benar jauh dari pikiranku. Aku bahkan heran melihat orang yang langsung menikah beberapa waktu setelah pasangannya meninggal dunia. 

Aku selalu bertanya-tanya, apa mereka tidak merasakan sedih seperti yang aku rasakan? Bagaimana bisa di masa-masa seperti ini membuka hati untuk pasangan baru? 

Bagaimana mungkin menjalin hubungan baru saat hati begitu berduka? Ataukah sebenarnya mereka tidak benar-benar sedih dengan kematian pasangannya? Ataukah diam-diam mereka sebenarnya sudah punya calon pengganti saat pasangannya masih ada?  Entahlah.

Yang jelas, tanpa banyak orang tahu, aku jadi rajin browsing artikel tentang widow syndrome dan cara mengatasinya. Aku berusaha menyembuhkan diri dengan caraku. 

Aku sangat terbantu saat adik iparku mengirimi link video tentang kisah single dad dari youtoube, yang isinya persis sama dengan yang aku alami. Konon, pasangan yang sangat harmonis biasa mengalami mental down seperti aku. 

Ada beberapa cara yang harus dilakukan agar bisa keluar dari keadaan itu, setidaknya harus bisa melewati 7 bulan hingga 18 bulan. Jujur, saran-saran "gila" dari video itu sangat mempengaruhiku. 

Hari ini, sudah hampir 10 bulan aku lewati dan kondisi mentalku rasanya semakin pulih kembali. Banyak saran "gila" aku lakukan untuk melewati syndrome ini.  

Memang, aku masih sering menangis setiap kali ingat almarhumah istriku, bahkan saat menulis cerita ini, tak henti bercucuran air mataku, tapi secara mental aku baik-baik saja. 

Aku kembali optimis menatap masa depanku, juga masa depan anak-anakku.   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun