Mohon tunggu...
Irfan Tamwifi
Irfan Tamwifi Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar

Bagikan Yang Kau Tahu

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Tiga Alasan Menolak WNI Eks Pengikut ISIS

16 Februari 2020   10:11 Diperbarui: 16 Februari 2020   10:07 666
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mendengar wacana pemulangan bekas WNI yang menjadi warga negara ISIS benar-benar mengusik kengerian bagi sebagian besar masyarakat negeri ini yang masih mencintai kedamaian dan akal sehat.

Berbagai argumen dikemukakan oleh para pihak yang menolak maupun mendukung repatriasi para pendukung "negeri teror" tersebut dan tampaknya gerakan penolakan jauh lebih besar dibanding pendukungnya. Selain ormas dan partai politik yang terkenal sebagai pendukung konservatisme-radikalisme dan Komnas HAM yang memang harus bersuara demikian, tidak banyak masyarakat Indonesia yang setuju dengan ide memulangkan mereka.

Hal ini dikarenakan dampak positif pemulangan mantan WNI warga ISIS sama sekali tidak ada, selain dari segi eufemisme kemanusiaan, bahkan dampak negatifnya begitu nyata di depan mata. Menampung pengungsi jauh lebih baik karena track record kaum radikal terukir jelas dalam sejarah. Mereka tidak mengenal terima kasih apalagi  kemanusiaan. Mereka adalah manusia bermasalah secara mental yang belum ada satupun rumah sakit jiwa yang terpercaya untuk mengobatinya.

Membiarkan mereka tetap di negeri impiannya menjadi cara memutus sebagaian mata rantai kejahatan ini. Dampak negatif kehadiran mereka bahkan begitu nyata dan tidak perlu diragukan lagi. Di antara dampak negatif yang pasti harus dihadapi oleh masyarakat negeri ini bila mereka dibiarkan masuk ke Indonesia adalah sebagai berikut.

1.   Ancaman Teror di dalam Negeri

Mereka yang telah memilih memutuskan untuk pergi ke Syiria dan melepaskan kewarganegaraan Indonesia adalah orang-orang yang sudah mati daya nalarnya. Sebagian dari mereka memang sangat boleh jadi hanya ikut-ikutan, tetapi hanya satu-dua orang. Bahkan sejak dini anak-anak mereka sudah dididik dan dipersiapkan sebagai calon teroris masa depan.

Pengalaman dan obsesi mereka selama menjadi rakyat ISIS tidak mungkin hilang begitu saja. Membiarkan mereka kembali apalagi dengan sengaja memulangkan ke Indonesia sama halnya dengan mengundang virus penyakit sosial masuk ke negeri ini secara legal.

Hari-hari ini mereka memang sedang kalah, tetapi hasrat radikalnya tidak akan mudah padam. Radikalisme adalah bahaya laten yang sangat potensial untuk bangkit kembali di kesempatan lain. Alumnus Afganistan dan Philipina sudah membuktikan betapa kecil kemungkinan bagi mereka untuk "dinormalkan" kembali.

Screening para pengikut ISIS hanyalah omong kosong di tengah lemahnya kemampuan institusi pemerintah untuk mentaringnya. Kuatnya jaringan radikal di institusi-institusi pemerintah dan masyarakat bukan mustahil hanya mempermulus jalan bagi masuknya teroris secara massive.

2.   Memperkuat Radikalisme

Maraknya gerakan radikal di Indonesia bukanlah isapan jempol semata, sebab gerakan konservatif dan radikal di  Indonesia bukan lagi gerakan bawah tanah, melainkan juga didukung oleh institusi dan organisasi sosial keagamaan dan politik formal yang secara hipokrit telah turut serta di tengah percaturan sosial dan politik di negeri ini. Di berbagai daerah dapat dijumpai basis-basis gerakan radikal bahkan sebagian ditunjang dengan berbagai institusi sosial, pendidikan bahkan pesantren bercita rasa radikal.

Kepulangan mantan WNI pengikut ISIS sudah hampir pasti akan menjadi penambah barisan kaum radikal dengan komunitas yang jauh lebih militan karena berbagai pengalaman di pusat paham kekerasan tersebut di Timur Tengah. Konsolidasi kaum radikal akan semakin memperluas pengaruh dan kekuatan kaum radikal, serta menyediakan ancam yang jauh lebih berbahaya dan lebih sulit diatasi. Penanggulangan radikalisme akan semakin sulit dilakukan mengingat tingkat militansi mereka akan jauh lebih mengerikan.

3.    Beban Sosial Ekonomi

Kebutaan nalar telah membuat mereka dengan penuh percaya diri melepas seluruh karunia sebagai warga negara Indonesia demi negeri ilusi. Itu sebabnya mereka dengan sukarela melepas pekerjaan dan menjual aset-asetnya di Indonesia.

Dampak membiarkan mereka masuk ke Indonesia akan jauh lebih buruk dibanding menampung pengungsi dari Timur Tengah, Bangladesh atau Myanmar. Pengungsi hanya menjadi beban ekonomi, yang mudah dilokalisir, sedangkan para pengikut ISIS datang dengan membawa penyakit sosial yang jauh lebih berbahaya dan sangat mudah menyebar langsung di tengah masyarakat.

Kesulitan ekonomi akan dengan mudah menarik mereka untuk kembali pada paham kejahatan itu. Virus penyakit fisik betapapun gawatnya masih mudah disembuhkan, tetapi tidak demikian halnya dengan virus radikalisme dan terorisme.

Memutuskan untuk menjadi warga negara ISIS pasti dilakukan dengan banyak pertimbangan. Terlepas dari apapun nasib mereka kemudian, sangat tidak bijaksana membukakan apalagi memberi jalan bagi mereka kembali ke Indonesia. Mereka bukan TKI atau TKW yang mengadu nasib di negeri orang, yang memerlukan inisiatif negara untuk memberikan jaminan perlindungan.

Mereka adalah manusia yang telah kehilangan nilai dan harkat kemanusiaannya. Bukan saja tidak bersyukur menjadi warga negara Indonesia, mereka juga manusia yang memandang rendah negaranya sendiri, bahkan bermimpi menjadikan negeri ini takluk di bawah ketiak negeri teror.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun