Saya bukan pakar hukum meski sedikit-sedikit paham hukum agama. Tulisan ini hanya refleksi atas pengalaman saya sendiri dalam belajar agama dan praktik kehidupan, khususnya dalam berinteraksi dengan dunia perbankan.
Akhir-akhir ini muncul kembali wacana soal Riba yang dikait-kaitkan dengan jasa perbankan. Lewat berbagai media sosial, juga forum-forum pengajian, ada sebagian pihak yang menyebarkan pemahaman bahwa bunga bank adalah riba dan melarang masyarakat menabung dan meminjam uang di bank (konvensional) dengan segala dalil dan ancaman laknat Tuhan.
Ada sebagaian orang percaya dan mengikuti "fatwa riba" semacam itu tapi  lebih banyak yang tidak, sebab mengikuti atau tidak adalah pilihan setiap orang, alias tidak wajib. Apalagi pendapat atau "fatwa" semacam itu bukan satu-satunya, mengingat banyak pula fatwa lain yang tidak mengharamkan bunga bank.Â
Gerakan pengharaman bunga bank juga hal baru di tengah masyarakat kita. Sejak dunia perbankan mulai tumbuh dan berkembang beberpa puluh tahun yang lalu, fatwa semacam itu sudah sering terdengar, dan ada yang mengikuti dan lebih banyak yang mengabaikan.
Problem Budaya
Mereka yang berpikiran tradisional dan konservatif umumnya mengikuti pandangan semacam itu, dan sebaliknya bagi mereka yang berpikiran modern dan terbuka. Bagi masyarakat tradisional, banyak orang tua yang menasehati anak-anaknya untuk tidak berurusan dengan perbankan. Padahal setelah bekerja di kota hampir tidak ada yang bisa lepas sama sekali dari urusan perbankan, mulai dari urusan gaji maupun penggunaan ATM.
Di masyarakat tradisional bahkan berkembang kepercayaan, bahwa hutang di bank adalah hal buruk yang berdampak buruk. Banyak orang meyakini bahwa sekali hutang di bank, maka akan semakin besar hutangnya. Jatuhnya ekonomi keluarga tertentu yang menyebabkan aset rumah dan tanahnya disita oleh bank, sering dijadikan contoh betapa buruknya dampak hutang di bank. Beredarnya fatwa haram dengan berbagai kisah dan mitosnya  semakin memperkokoh keyakinan tersebut, hingga menyebabkan ada sebagian orang yang enggan berurusan dengan perbankan.
Konteks Riba
Mengelola hutang, apalagi yang berkaitan dengan perbankan memang bukanlah hal mudah, terutama bagi masyarakat yang tidak memiliki kemampuan dan pengalaman berbisnis.Â
Bagi masyarakat yang berwawasan tradisional dan konservatif, hutang selalu berkonotasi dengan keterpaksaan. Masyarakat tidak akan berhutang bila tidak terpaksa, misalnya membutuhkan uang untuk berobat, membayar uang sekolah, biaya hajatan dan alasan-alasan "kepepet" lainnya.
Hal inilah yang menjadikan hutang dipandang sebagai beban, masalah dan sumber malapetaka. Hal ini pula yang menyebabkan para pemilik uang (kreditur) di atas angin dan leluasa memainkan aturan hutang-piutang dengan menetapkan bunga "mencekik" terhadap para penghutangnya (debitur).
Dari sini dapat dipahami mengapa masyarakat tradisional dan konservatif memandang hutang  sebagai hal buruk. Para kreditur atau rentenir yang semena-mena menetapkan bunga pinjaman sering dikonotasikan sebagai "lintah darat", penghisap darah (kekayaan) masyarakat. Rentenir bekerja dengan cara "beternak uang". Mereka memberi pinjaman atau hutang bukan sebagai pertolongan, melainkan lebih sebagai umpan untuk mengeruk kekayaan tanpa mempedulikan nasib orang lain.
Era Perbankan Modern
Vonis riba terhadap praktik perbankan modern terjadi akibat cara pandang masyarakat terhadap istilah bunga. Masyarakat yang mengharamkan praktik perbankan menyamakan makna dari istilah bunga bank dengan istilah bunga yang digunakan oleh rentenir, padahal keduanya memiliki konteks yang berbeda.
Tidak dapat dipungkiri bahwa perbankan bekerja dengan mengedepankan modal, tetapi konteks kehadiran perbankan pada bukanlah "beternak uang" seperti halnya rentenir. Perbankan modern hadir sebagai perusahaan jasa keuangan yang prinsip usahanya  berdasarkan akad kerjasama bisnis.Â
Berbeda dari rentenir yang meminjamkan uang untuk memperoleh keuntungan dari pinjaman yang diberikan, perbankan hadir bukan ditujukan untuk mencari keuntungan dari orang-orang "kepepet", tetapi mencari partner usaha dengan orang atau perusahaan yang bonafid dan terpercaya. Perbankan bukan mencari sitaan aset seperti rentenir, bahkan dalam konteks perbankan, kredit macet yang berujung penyitaan justru dipandang sebagai indikator kinerja yang buruk dari suatu bank.Â
Begitu memiliki relasi dengan pengusaha atau perusahaan bonafid, pertimbangan bank modern dalam meminjamkan uang (piutang) tidak terletak pada seberapa cukup jaminan yang diagungkan, melainkan rasionalitas bisnis yang dikelola oleh debitur serta seberapa terpecayanya kreditur dalam mengelola bisnis maupun mengembalikan pinjaman.
Perbankan modern terikat oleh setumpuk aturan tentang pengelolaan jasa keuangan, sehingga dapat kemungkinan menindas nasabah dapat dieliminir semaksimal mungkin.Â
Apalagi fungsi perbankan di era modern adalah untuk mendorong laju perekonomian. Kehadiran jasa perbankan memungkinkan Dunia usaha mampu membuat lompatan-lompatan ekonomi, yang karenanya sehat tidaknya dunia perbankan bahkan secara makro menjadi salah satu indikator utama laju perekonomian suatu negara.Â
Jadi, terlalu naif bila dunia perbankan modern dipahami hanya dari cara pandang tradisional dan konservatif. Dapat dibayangkan betapa mundur perekonomian suatu negara yang tidak ditunjang dengan dunia perbankan.
Bank Syariah, sebuah produk
Bagi dunia perbankan, kehadiran bank syari'ah pada dasarnya hanya sebuah produk jasa keuangan, sekali lagi, hanya sebuah produk jasa keuangan. Perbankan syariah tidak ubahnya kehadiran obat herbal di tengah dominasi obat konvensional, berbahan kimia. Sebagian konsumen yang berhasil dibuat khawatir akan dampak buruk obat kimia dilayani dengan obat herbal.Â
Kebutuhan pasar perbankan yang menuntut dipenuhinya aturan yang disandarkan pada keyakinan keagamaan, membuat dunia perbankan menyediakan produk jasa keuangan syariah.
Perbankan syariah pada dasarnya hanya upaya mengubah atau menghilangkan istilah bunga menjadi bagi hasil, berikut berbagai istilah teknis yang menyertainya.Â
Pada kenyataannya, tetap saja tidak ada hutang yang gratis, termasuk di perbankan syari'ah. Digantikannya istilah bunga dengan bagi hasil tetap saja menjadikan nasabah bertanggung jawab untuk membayar lebih dari nilai pinjamannya.
Bedanya, perbankan konvensional lebih bersifat pragmatis dalam menetapkan margin keuntungan, sementara perbankan syari'ah secara normatif menekankan aspek kerja sama. Dalam praktiknya, kesepakatan bagi hasil antara bank syari'ah dan konvensional tidak jauh berbeda. Bahkan karena perhitungan ekonomi, nasabah debitur lebih cenderung memilih bagi hasil seperti halnya bank konvensional dibanding bank syari'ah, sebab "bunga" pinjaman bank konvensional cenderung lebih kecil dibanding bank syari'ah.
Sederhananya, dalam mengembangkan bisnis, mengambil pinjaman dari bank konvensional jauh lebih rasional dibanding bank syari'ah. Nasabah cukup menghitung cash flow perusahaan dan kemampuan membayar kembali pinjaman di bank konvensional. Soal tetek-bengek pengelolaan usaha dan keuangan perusahaan menjadi urusan sendiri.
Sementara konsep bagi hasil dalam bank syari'ah membuat nasabah kurang leluasa mengelola perusahaan, sebab bank syari'ah sebagai kreditur berhak untuk "turut campur" atau setidaknya tahu  urusan internal perusahaan. Memang di satu sisi, hal itu menunjukkan itikad dan tanggung jawab, tapi di sisi lain dapat membuat pengusaha kurang nyaman dalam menjalankan usahanya.
Kata Akhir
Beragamnya pola pikir masyarakat menjadikan bank syari'ah maupun konvensional hanyalah pilihan. Soal riba atau tidaknya praktik perbankan pada akhirnya kembali pada sudut pandang mana yang digunakan.Â
Bila illat atau argumen hukum riba diletakkan pada digunakannya istilah bunga, tentu bank konvensional termasuk riba, tetapi bila illat hukum riba didasarkan atas seberapa berat beban nasabah, maka sangat boleh jadi kesimpulannya justeru sebaliknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H