Manuver politik capres-cawapres nomor 02 menarik perhatian publik, bahkan jauh hari sebelum Pemilu diselenggarakan sampai hasil quick count diumumkan. Seperti mengulang drama Pilpres 2014, kubu 02 dan pendukungnya sudah membangun opini dengan logika yang terbalik-balik jauh hari sebelum pilpres dilaksanakan. Putaran kampanye calon presiden bahkan dibuka dengan kasus hoax fenomenal Ratna Sarumpaet, yang disusul berbagai hoax lain yang biasa menjadi andalan pendukungnya.
Selesainya momen pemungutan suara, yang seharusnya tinggal menjadi masa-masa menunggu hasil akhir pemilu, ternyata tidak mengakhiri manuver kubu 02. Berbagai manuver aneh dilakukan hingga memunculkan kegaduhan dan segudang tanya tentang apa yang mereka mau. Secara garis besar, manuver-manuver tersebut dapat dipilahkan sebagai berikut.
1. Â Menolak Quick Count
Seperti halnya dua pilpres sebelumnya serta pemilu di berbagai negara modern, hasil quick count berbagai lembaga independen hampir selalu menjadi indikator pemenang perhelatan pemilihan capres-cawapres maupun pilkada, meski keputusan resmi ada di tangan KPU. Tetapi sebagaimana pilpres 2014, kubu nomor 02 begitu kebakaran jenggot dengan hasil quick count yang tidak memenangkan capres-cawapresnya. Dengan gegap-gempita mereka menolak, bahkan menuduh dan membangun opini bahwa quick count berbagai lembaga survey independen sebagai konspirasi pemerintah dan KPU dalam menggiring opini yang mempengaruhi hasil rekapitulasi KPU.
Pendukungnya yang berasal dari tokoh-tokoh berlatarbelakang akedemisi bahkan kehilangan rasionalitasnya, dengan menuntut peniadaan lembaga survey yang jelas-jelas memiliki basis metodologi ilmiah dan berlaku di negeri manapun. Mereka berusaha menghancurkan rasionalitas masyarakat, dan menggiring masyarakat untuk tidak mempercayai logika maupun data ilmiah apapun, dan hanya percaya pada suara para pemimpinnya.
Anehnya, meski menolak hasil quick count, tetapi data perolehan suara partai-partai pendukung dengan senang hati mengapresiasi hasil quick count yang memperkirakan mereka meraup kursi parlemen cukup besar. Mereka sudah menerapkan inkonsistensi, standar ganda, di mana hasil quick count calon legislatif diterima, tetapi hasil pilpres ditolak. Padahal rumitnya tabulasi menjadikan potensi kecurangan dan kesalahan data pileg jauh lebih besar dibanding tabulasi data pilpres yang hanya berisi dua calon.
2. Â Klaim Kemenangan Sepihak
Yang paling lucu dari manuver kubu nomor 02 setelah pilpres adalah deklarasi kemenangan tiga kali sehari. Bukannya menenangkan publi pendukung yang tentu diliputi dengan kekecewaan, mereka malah berakting seolah memang tengah di ambang kemenangan dan mengajak para pendukungnya merayakan kemenangan semu. Bukannya menenangkan, mereka justeru mengeksploitasi kekecewaan para pendukungnya dengan halusinasi kemenangan, dan mereka tidak peduli bila hal itu sangat berbahaya bagi situasi sosial politik nasional. Tidak mengherankan bila kubu 01 akhirnya ikut-ikutan mendeklarasikan kemenangan sepihak, sebagai antisipasi terhadap penolakan hasil pemilu oleh kubu 02.
Ekspresi wajah Sandiaga Uno yang tidak terlihat secera biasanya sudah mengatakan terlalu banyak tentang bagaimana posisi mereka berdasarkan hasil pilpres. Penjelasan tim pemenangan yang berbeda-beda jelas memperlihatkan bahwa Sandiaga Uno tidak sepakat dengan keputusan provokatif itu, deklarasi kemenangan. Mungkin Sandiaga Uno memang benar-benar sakit seperti diekspose di berbagai media massa, tetapi sesakit apapun pasti mengalahkan haru biru kemenangan yang sesungguhnya.
3. Â Menuduh KPU Curang
Sebagaimana disinyalir oleh banyak pihak, sejak beberapa waktu sebelum pemungutan suara, kubu 02 sudah berupaya mendelegitimasi lembaga pemilihan umum (KPU). Mereka berupaya membangun opini bahwa mereka tengah berada di tengah ketidakadilan politik yang memungkinkan mereka kalah dalam pilpres. Gelombang ketidakpercayaan terhadap KPU semakin besar ketika proses pemungutan suara benar-benar dilaksanakan.
Anehnya, 5 dari 7 komisioner KPU berasal dari pilihan kalangan mereka sendiri. Artinya, mereka sudah mengantisipasi gelaran pilpres ini jauh-jauh hari sebelumnya, meski realitas politik ternyata jauh dari harapan. Mereka berusaha membangun opini bahwa tidak ada institusi yang dapat dipercaya di negeri ini untuk mengelola pemilihan calon pemimpin negara yang jujur, adil dan berintegritas. Padahal mendelegitimasi KPU sama artinya dengan meragukan integritas wakil-wakilnya sendiri, dan sadar atau tidak, dengan sendirinya menjadikan integritas mereka sendiri dipertanyakan.
Di era keterbukaan ini, proses rekapitulasi melibatkan banyak pihak, termasuk perwakilan kubu 02 sendiri, menjadikan peluang kecurangan sangat kecil. Kalaupun ada kecurangan pasti dengan mudah dibaca dan dijadikan dasar gugatan. Kekeliruan dalam input data juga dengan mudah diperbaiki sesuai data riil tanpa perlu kegaduhan apapun. Ada tidaknya kecurangan tentunya diketahui setelah ada hasil yang diputuskan oleh KPU, tetapi mereka sudah membangun opini sebagai pemenang dan menempatkan KPU sebagai biang kekalahan.
4. Â Ancaman People Power
Yang aneh lagi, di tengah deklarasi kemenangan, mereka juga menebar ancaman-ancaman aneh, ancaman people power. Padahal mereka bukan tengah berhadapan dengan penguasa sebagaimana layaknya gerakan people power. Gerakan people power umumnya ditujukan untuk melakukan perubahan di tengah kebuntuan saluran politik dan hukum, bukan justeru untuk menggugat sistem demokrasi yang semua saluran politik dan hukum terbuka bagi semua.
Masalahnya, mereka tidak memiliki dukungan data, bahkan sejak masa kampanye mereka gagal menyajikan data yang valid, dan lebih suka membangun opini negatif terhadap lawan politiknya. Sangat boleh jadi, mereka juga akan mengulang pilpres 2014, di mana mereka gagal menunjukkan bukti-bukti yang dapat dipertanggung jawabkan di hadapan hukum, atau sangat boleh jadi mereka pada dasarnya sudah tahu kalah, tetapi tidak dapat menerima dengan lapang dada. Apalagi demokrasi memang selalu jadi masalah bagi mereka yang tidak memiliki mental demokratis. Â
5. Â Menolak Ekspose Data
Tuduhan terhadap keberpihakan lembaga survey sudah dijawab melalui tantangan ekspose data secara terbuka, tetapi lagi-lagi dengan berbagai dalih mereka tidak berani menerima tantangan. Bahkan ekspose terhadap hasil real count internal juga ditutup-tutupi dan tidak berani membuka di depan publik, dengan dalih aneh-aneh, misalnya takut diretas, dirahasiakan dan sebagainya.
Hal ini mengindikasikan bahwa seperti manuver mereka selama ini dalam menyerang lawan-lawan politiknya, mereka sangat boleh jadi tidak memiliki data-data memadai. Bahkan besar kemungkinan data yang ada pada mereka sudah menunjukkan kekalahan, tetapi tidak dapat menerimanya, dan berupaya tetap merebut kekuasaan atau setidaknya melemahkan penguasa yang ada dengan berbagai cara.
6. Â Menolak "Rekonsiliasi"
Pemilu dan terutama pilpres memang bukan konflik yang membutuhkan rekonsiliasi. Meski demikian, diakui atau tidak, polarisasi masyarakat dan berbagai kegaduhan akibat pilpres telah membelah masyarakat ke dalam dua kubu yang perlu niat baik para pemimpin untuk menenangkannya.
Anehnya, lagi-lagi kubu 02 terus berkelit menghindari "rekonsiliasi" demi mendinginkan suasana. Narasi-narasi yang mereka cetuskan sering kali justeru kian memanaskan suasana. Sikap mereka tak ubahnya anak kecil yang tengah rewel berat atau preman mabuk yang lagi marah-marah sambil berteriak-teriak terus ngomel dan memaki, hingga memancing emosi orang waras di sekitarnya, tetapi tidak dapat diajak bicara baik-baik. Â
Lalu Maunya Apa?
Melihat berbagai manuver kubu nomor 02 selama ini, dapat disimpulkan bahwa yang mereka kehendaki sebenarnya sederhana saja, yaitu capres yang mereka usung sukses dilantik menjadi presiden dan wakil presiden, dengan cara apapun. Seperti pilkada DKI, target para pendukung kubu nomor 02 juga jauh lebih sederhana lagi, yaitu ingin menggantikan Jokowi dengan orang lain, diganti siapapun orangnya dan apapun reputasinya asal bukan Jokowi, dan asal pilihannya sendiri.
Mereka tidak percaya lagi pada jalur-jalur konstitusional, karena hanya akan mengulang kekalahan dalam pilpres 2014. Minimnya data yang mereka miliki sebagai "amunisi" untuk menghadapi pertarungan konstitusional melalui Mahkamah Konstitusi (MK) membuat jalur-jalur konstitusional berpeluang tipis dalam memuluskan ambisi mereka. Dukungan massa yang punya reputasi mudah dimobilisasi di jalanan membuat opsi-opsi di luar konstitusi selalu terbuka untuk mereka lakukan. Manuver-manuver pasca pilpres sepertinya dilakukan sebagai upaya memanaskan bara ketidakpuasan atau minimal menjaga soliditas suara-suara anti-Jokowi agar tetap terjaga.
Di tengah rendahnya kualitas kenegarawanan para politisi, soliditas TNI-Polri saja yang kini menjadi satu-satunya tumpuan harapan stabilitas sosial dan politik negeri ini. Entah manuver apa lagi yang akan mereka mainkan, sebab para politisi negeri ini seakan tak peduli betapa sikap, tindakan dan kata-kata mereka tercatat dalam sejarah, apalagi di era digiital saat ini. Hanya TNI-Polri yang hari-hari ini mampu menjadi batu penghalang bagi munculnya tindakan-tindakan inkonstitusional yang perlu diwaspadai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H