Anehnya, 5 dari 7 komisioner KPU berasal dari pilihan kalangan mereka sendiri. Artinya, mereka sudah mengantisipasi gelaran pilpres ini jauh-jauh hari sebelumnya, meski realitas politik ternyata jauh dari harapan. Mereka berusaha membangun opini bahwa tidak ada institusi yang dapat dipercaya di negeri ini untuk mengelola pemilihan calon pemimpin negara yang jujur, adil dan berintegritas. Padahal mendelegitimasi KPU sama artinya dengan meragukan integritas wakil-wakilnya sendiri, dan sadar atau tidak, dengan sendirinya menjadikan integritas mereka sendiri dipertanyakan.
Di era keterbukaan ini, proses rekapitulasi melibatkan banyak pihak, termasuk perwakilan kubu 02 sendiri, menjadikan peluang kecurangan sangat kecil. Kalaupun ada kecurangan pasti dengan mudah dibaca dan dijadikan dasar gugatan. Kekeliruan dalam input data juga dengan mudah diperbaiki sesuai data riil tanpa perlu kegaduhan apapun. Ada tidaknya kecurangan tentunya diketahui setelah ada hasil yang diputuskan oleh KPU, tetapi mereka sudah membangun opini sebagai pemenang dan menempatkan KPU sebagai biang kekalahan.
4. Â Ancaman People Power
Yang aneh lagi, di tengah deklarasi kemenangan, mereka juga menebar ancaman-ancaman aneh, ancaman people power. Padahal mereka bukan tengah berhadapan dengan penguasa sebagaimana layaknya gerakan people power. Gerakan people power umumnya ditujukan untuk melakukan perubahan di tengah kebuntuan saluran politik dan hukum, bukan justeru untuk menggugat sistem demokrasi yang semua saluran politik dan hukum terbuka bagi semua.
Masalahnya, mereka tidak memiliki dukungan data, bahkan sejak masa kampanye mereka gagal menyajikan data yang valid, dan lebih suka membangun opini negatif terhadap lawan politiknya. Sangat boleh jadi, mereka juga akan mengulang pilpres 2014, di mana mereka gagal menunjukkan bukti-bukti yang dapat dipertanggung jawabkan di hadapan hukum, atau sangat boleh jadi mereka pada dasarnya sudah tahu kalah, tetapi tidak dapat menerima dengan lapang dada. Apalagi demokrasi memang selalu jadi masalah bagi mereka yang tidak memiliki mental demokratis. Â
5. Â Menolak Ekspose Data
Tuduhan terhadap keberpihakan lembaga survey sudah dijawab melalui tantangan ekspose data secara terbuka, tetapi lagi-lagi dengan berbagai dalih mereka tidak berani menerima tantangan. Bahkan ekspose terhadap hasil real count internal juga ditutup-tutupi dan tidak berani membuka di depan publik, dengan dalih aneh-aneh, misalnya takut diretas, dirahasiakan dan sebagainya.
Hal ini mengindikasikan bahwa seperti manuver mereka selama ini dalam menyerang lawan-lawan politiknya, mereka sangat boleh jadi tidak memiliki data-data memadai. Bahkan besar kemungkinan data yang ada pada mereka sudah menunjukkan kekalahan, tetapi tidak dapat menerimanya, dan berupaya tetap merebut kekuasaan atau setidaknya melemahkan penguasa yang ada dengan berbagai cara.
6. Â Menolak "Rekonsiliasi"
Pemilu dan terutama pilpres memang bukan konflik yang membutuhkan rekonsiliasi. Meski demikian, diakui atau tidak, polarisasi masyarakat dan berbagai kegaduhan akibat pilpres telah membelah masyarakat ke dalam dua kubu yang perlu niat baik para pemimpin untuk menenangkannya.
Anehnya, lagi-lagi kubu 02 terus berkelit menghindari "rekonsiliasi" demi mendinginkan suasana. Narasi-narasi yang mereka cetuskan sering kali justeru kian memanaskan suasana. Sikap mereka tak ubahnya anak kecil yang tengah rewel berat atau preman mabuk yang lagi marah-marah sambil berteriak-teriak terus ngomel dan memaki, hingga memancing emosi orang waras di sekitarnya, tetapi tidak dapat diajak bicara baik-baik. Â