Mohon tunggu...
Irfan Tamwifi
Irfan Tamwifi Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar

Bagikan Yang Kau Tahu

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Calistung Tidak Menyebabkan Mental Hectic

3 September 2014   21:35 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:43 2523
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi/Kompasiana (Shutterstock)

[caption id="" align="aligncenter" width="632" caption="Ilustrasi/Kompasiana (Shutterstock)"][/caption]

Melalui pesan berantai, media sosial bahkan media massa akhir-akhir ini tersebar isu bahwa pembelajaran baca-tulis-hitung atau yang disingkat calistung sebagai penyebab terjadinya mental hectic. Setelah berbagai ulasan yang rata-rata hanya merujuk penjelasan dari situs kemendiknas, terakhir Republika-online juga merilis berita bertajuk Balita Diajarkan Calistung, Saat SD Potensi Terkena 'Mental Hectic'.

Berita dan artikel tersebut menyatakan bahwa pembelajaran calistung di usia dini potensial menimbulkan mental heltic pada anak, terutama saat memasuki kelas 2 dan 3 jenjang sekolah dasar. Pernyataan mereka yang "dianggap pakar" tersebut perlu dipertanyakan, sebab pada kenyataannya tidak demikian.

Pengertian Mental Hectic

Istilah mental heltic sendiri sebenarnya belum populer dalam istilah sosial, bahkan sangat mungkin baru dibuat sebagai perbendaharaan istilah dalam psikologi. Yang paling mungkin adalah bahwa istilah tersebut dibuat oleh mereka yang menyokong penerapan kurikulum 2013, yang salah satunya menerapkan kebijakan pendidikan dengan menghindarkan pembelajaran calistung sejak dini.

Basis asumsi yang mendasari adalah adanya pandangan bahwa masa anak-anak adalah masa bermain dalam arti luas. Seiring perkembangan fisik, otak, dan mentalnya, kodrat anak adalah bermain, sehingga pendidikan dikonstruksi sebagai wahana mewadahi mereka menyalurkan dalam permainan yang konstruktif. Itu sebabnya mereka berpandangan bahwa pendidikan di jenjang pra-sekolah dan sekolah dasar terutama ditujukan untuk mengarahkan pada pembentukan sikap dan perilaku anak. Memberikan pendidikan yang bersifat akademis seperti balistung dipandang akan membuat anak tertekan, kebingungan dan "kehilangan" masa kanak-anak mereka.

Definisi mengenai mental hectic sendiri sebenarnya masih belum jelas, dan memunculkan beragan interpretasi. Meski demikian, berdasarkan kebahasaan istilah hectic dapat berarti riuh, ribut, tidak tenang, sangat sibuk, ramai sekali. Dari sini istilah mental hectic dapat diartikan sebagai kondisi kejiwaan yang tidak tenang, bingung, sibuk karena merasa dikejar-kejar tugas.

Anak-anak yang "menderita" mental hectic digambarkan sebagai anak yang merasa tidak tenang, tertekan, bahkan kebingungan karena tertuntut tugas sekolah yang berat, hingga membuat mereka melewatkan masa kanak-kanaknya dengan bermain. Pada taraf tertentu anak akan menjadi pemberontak sebagai pelarian dari rasa tertekan dan tidak terpenuhinya kebutuhan kodrati mereka untuk bermain.

Calistung Menyebabkan Mental Hectic?

Dari mana pun asal-muasal istilah tersebut tampaknya sangat tidak tepat bila penyebab mental hectic pada anak kelas 2 dan 3 dialamatkan pada pembelajaran balistung sejak dini. Boleh dibilang pernyataan dan pemikiran tersebut merupakan judgment yang mengada-ada. Hal ini dikarenakan beberapa fakta berikut.

1.   "Mental Hectic" Tidak Disebabkan oleh Faktor Tunggal.

Terjadinya kondisi mental yang paling patologis sekalipun tidak mungkin disebabkan oleh faktor tunggal. Karakter bawaan, lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, relasi dengan lingkungan dan pola asuh adalah multifaktor yang secara berkelindan dapat membentuk suatu kondisi mental.

Sekalipun tidak belajar calistung, seorang anak dapat mengalami perasaan tertekan berlebihan, kebingungan dan akhirnya muncul mental memberontak bilamana berada dalam situasi yang menekan mental mereka, misalnya memiliki orang tua yang sikapnya terlalu keras pada anak, guru yang galak, atau terlalu banyak kenal bullying. Itu pun kemungkinan mental yang terbentuk dapat beragam. Misalnya, anak yang sejak lahir memang berkarakter keras akan memberontak, sementara anak introvert akan menjadi rendah diri.

Pembelajaran calistung semata tidak mungkin membuat anak mengalami mental hectic, kecuali ada faktor-faktor penekan lain. Bahkan faktor-faktor di luar calistung, seperti keluarga, lingkungan dan termasuk perlakuan gurulah yang justru potensial menimbulkan mental hectic.

2.   "Mental Hectic" dapat Dialami oleh Semua Usia

Perasaan tertekan yang diikuti dengan hasrat memberontak bukan hanya dialami oleh anak sekolah, tetapi dapat dialami oleh siapa saja, dan oleh berbagai sebab. Sikap suami-istri dapat berubah karena tekanan mental tertentu. Tekanan mental merupakan fenomena yang lumrah dalam kehidupan. Di sekolah, saat kuliah, di dunia kerja, di lingkungan sosial, bahkan di arena politik manusia dihadapkan pada tekanan yang menuntut solusi dan cara bijak dalam menyikapi masalah.

Sejauh ini tidak ada evidensi empirik yang dapat membuktikan bahwa calistung berpotensi menyebabkan mental hectic. Banyak sekolah sudah membuktikan bahwa calistung tidak membuat anak tertekan, atau bahkan mengalami mental hectic, asalkan diajarkan dengan cara yang tepat. Faktor-faktor lingkungan di atas, termasuk bermain game jauh lebih nyata potensinya dalam menyebabkan timbulnya perasaan, sikap dan perilaku yang mengindikasikan terjadinya mental hectic, dibanding balistung.

3.   Bermain Game Lebih Potensial Menimbulkan "Mental Hectic"

Pandangan bahwa calistung potensial menyebabkan terjadinya mental hectic merupakan konsep yang mengada-ada, karena lahir dari angan-angan dan tidak membumi. Pemerintah melalui media dan berbagai kebijakan pendidikan sangat mungkin melarang sekolah dan orang tua mengajarkan calistung pada anak, tetapi mungkinkah melarang anak sekarang tidak bermain game?

Padahal bermain game jauh lebih menekan mental dibanding calistung. Para peneliti kejiwaan dapat membuktikannya melalui riset, mengenai perubahan sikap dan perilaku anak yang terlalu banyak bermain game. Bahkan secara kasat mata sudah dapat dibuktikan berapa banyak sikap, perilaku bahkan kekerasan berlebihan dilakukan anak akibat bermain game. Padahal permainan ini tidak perlu diajarkan oleh orang tua atau sekolah, bahkan sangat sulit untuk dibatasi.

Kalau saja belajar calistung berdampak pada mental hectic, dampak tersebut bahkan tak ada apa-apanya dibanding bermain game yang jauh lebih sulit dibatasi pada anak. Sekalipun bersifat permainan, bermain game selalu menimbulkan tekanan mental luar biasa, sebab permainan ini selalu menghadapkan anak pada ancaman takut kalah atau perasaan kecewa bahkan amarah karena tekanan "virtual". Melarang pembajaran calistung menjadi sangat naif di tengah perkembangan teknologi saat ini. Kecenderungan anak untuk bermain game akan jauh lebih besar dibanding saat mereka belajar calistung.

4.   Konsep Tanpa Dasar Riset Pandangan bahwa calistung dapat menyebabkan mental hectic merupakan konsep yang didasarkan atas asumsi belaka. Tidak ada bukti ilmiah berbasis riset komprehensif yang layak dijadikan dasar bahwa pembelajaran calistung sejak dini dapat menimbulkan mental hectic.

Larangan pembelajaran calistung di usia dini bahkan merupakan gagasan yang menyesatkan, sebab potensial mendegradasi perkembangan potensi anak Indonesia untuk belajar. Anak-anak seharusnya dapat belajar apapun, termasuk calistung, tanpa harus dibatasi dengan alasan ini dan itu. Pemaksaan larangan pembelajaran calistung hanya akan mengorbankan satu potensi dengan hasil lain yang belum tentu diraih.

Kebijakan seperti itu bahkan hanya akan menjadikan pendidikan di Indonesia sebagai kelinci percobaan dengan hasil yang tidak jelas seperti selama ini. Jelasnya, tidak ada yang dapat menjamin bahwa tanpa calistung sejak dini anak akan berkembang lebih baik di masa depan.

5.   Bukan "Apa" Tapi "Bagaimana"

Calistung buka pelajaran istimewa, sebab mengajarkan huruf A sampai Z, dan angka 0-9 hanyalah pembelajaran terhadap simbul-simbul sederhana. Bahkan mengajarkan bahasa asing sekalipun faktanya tidak berdampak signifikan terhadap sikap dan perilaku anak. Oleh sebab itu pembelajaran calistung seharusnya tidak menimbulkan paranoid berlebihan sebagaimana berkembang di media massa dan media sosial selama ini.

Pembelajaran calistung dengan pendekatan yang tepat justeru akan membuat anak lebih mudah aware terhadap diri dan lingkungannya. Sungguh tidak masuk akal bila menemani anak sendiri atau anak didik membaca nama-nama jalan, nama toko, nama Bus, merek suatu produk dan sebagainya dapat menimbulkan mental hectic, sementara membiarkan anak hanya bermain akan membuat mereka lebih baik.

Calistung bahkan potensial menghindarkan anak dari mental hectic yang dikhawatirkan oleh sebagian pendukungnya itu. Dapat dibayangkan apakah tidak lebih tertekan bila anak masih terbata-bata dalam membaca, menulis dan berhitung saat mereka memasuki kelas IV, V, VI SD atau bahkan saat masuk SMP. Padahal mereka sudah mulai memiliki perasaan malu, pelajaran jelas lebih kompleks, bahkan sebagian anak puteri sudah mulai menstruasi.

Dalam konteks keagamaan Islam, larangan pengajaran balistung sama halnya dengan mengebiri keislaman anak. Faktanya, masa emas bagi untuk belajar agama, termasuk membaca-menulis huruf al-Qur'an adalah usia dini sampai dengan sekolah dasar saja.  Setelah usia SD berlalu, anak perhatian anak cenderung beralih pada hal-hal lain yang umumnya diminati remaja.

Kiranya akan lebih bijak bila pembelajaran balistung tidak dipersoalkan bila dilakukan dengan pendekatan yang tepat, sebagaimana ungkapan Kak Seto beberapa tahun lalu yang menyatakan bahwa "Yang penting bukan apa yang diajarkan, tetapi bagaimana mengajarkannya". Pendidikan apapun seharusnya tidak dipenuhi oleh gagasan-gagasan naif yang main larang ini dan itu. Selain hanya menimbulkan paranoid, pendidikan yang dipenuhi oleh larangan demi larangan hanya akan memandulkan pendidikan itu sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun