Mohon tunggu...
Irfan Tamwifi
Irfan Tamwifi Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar

Bagikan Yang Kau Tahu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Teman Tapi Mesra

24 Oktober 2014   14:53 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:54 431
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_368786" align="alignleft" width="150" caption="Sumber Foto: Koleksi Pribadi"][/caption]

Aku begitu antusias menyambut reuni SMA dua tahun silam. Kesuksesan hidupku saat ini membuat aku begitu percaya diri bertemu kembali dengan teman-teman lama. Bahkan sejak Qomari, teman dekatku bicara soal rencana reuni aku begitu penasaran ingin segera tahu kondisi teman-temanku saat ini.

Di antara teman-teman sekolahku, ada satu sosok yang paling kuharapkan dapat kujumpai kembali di reuni kali ini. Orang itu adalah Tutik, teman SMA yang pernah membuatku jatuh hati begitu dalam, meski tak pernah terungkapkan. Status sosialku saat itu dan kekagumanku yang begitu besar membuatku tak pernah berani terang-terangan menyatakan perasaanku.

Rendahnya kepercayaan diriku di hadapannya, apalagi mengingat kondisiku saat itu yang serba kekurangan membuat aku hanya mampu menjalin persahabatan jarak jauh dari gadis itu. Aku selalu sempatkan berkirim surat hampir tiap bulan sejak Tutik kuliah di kota Malang, dan baru kuakhiri saat aku memutuskan menikah dengan dik Yul.

Aku hanya dapat menelan kepiluan saat akhirnya gadis itu menikah dengan Irfan, kenalanku, padahal saat itu aku sendiri sudah menikah lebih dulu. Begitu dalamnya kesan yang tertanam di batinku, sampai-sampai aku terlalu banyak bercerita tentang wanita itu pada istriku. Mungkin itu sebabnya, Tutik menjadi wanita yang paling dicemburui istriku, meski mereka hanya beberapa kali bertemu.

Meski Tutik tak hadir di reuni pertama kemarin, tetapi aku merasa bangga saat teman-teman menanyakan kabar Tutik padaku. Tutik memang tak pernah menjadi kekasihku, tetapi pengakuan teman-teman SMA sudah cukup membuatku bangga dianggap sebagai mantan pacarnya.

Aku kian bersemangat menyambut reuni kedua tahun ini. Apalagi persiapan reuni diadakan di rumah Tutik, meski perasaanku tak menentu. Di satu sisi aku senang mempunyai alasan untuk bertemu dan sering kontak dengan wanita yang kini sudah beranak 4 orang itu, tetapi di sisi lain kecemburuan istriku begitu besar yang membuatku salah tingkah.

Beruntung Tutik bersikap begitu ramah hingga mampu mencairkan suasana. Aku merasa tenang melihat gelagat istriku tak lagi terlalu cemburu saat reuni diadakan di sebuah Hotel kecil di kota Jombang. Tutik dan istriku bahkan terlihat akur melayani anak-anakku yang kebetulan turut serta di acara itu, serasa memiliki dua orang istri yang kompak.

Selepas reuni itu, aku merasa kian leluasa kontak dengan Tutik, via telepon dan lebih sering saling BBM. Aku merasa bebas menikmati getar-getar aneh di hatiku karena aku tak kuatir lagi kontak dengan wanita itu kapan saja aku mau. Kenyamanan batin kembali memenuhi ruang batinku saat Tutik terlihat juga menikmati kedekatan kami.

Aku selalu bersemangat merespon ping atau pesan broadcast BBM wanita yang di mataku tetap terlihat anggun itu. Tanpa mampu kutahan lagi perasaan aneh menggelitikku untuk mengorek perasaan Tutik padaku di masa lalu. Indahnya kedekatan yang saat ini kurasakan serasa belum cukup memuaskanku. Aku masih penasaran, aku ingin mendengar pengakuan Tutik soal perasaannya padaku di masa lalu.

Di beberapa kali kesempatan aku berusaha menyinggung soal itu, tetapi respon Tutik hanya datar seakan tak merasakan apa-apa. Hanya derai tawa dan nada bicaranya yang memberiku kesan betapa kami memang pernah memiliki perasaan yang sama. "Alah, Zin..., begitu saja dibahas" Kilahnya setiap kali aku singgung soal perasaanku padanya.

Minggu demi minggu aku ragu untuk menggodanya, tetapi melihat sikapnya yang tampak begitu antusias menanggapiku, perlahan aku kian berani bertanya lebih terbuka. Perlahan tapi pasti, aku kian percaya diri untuk menggoda wanita yang kini telah bersuami itu.

Beberapa kali aku mecoba menyatakan perasaanku padanya. Beberapa kali kunyatakan padanya betapa dulu aku sangat mengaguminya. "Aku mencintaimu, Tut, tetapi aku tak cukup nyali untuk menyatakannya", celetukku dengan sedikit ragu.

"Faizin..., Faizin..., Sudahlah. Itu kan masa lalu. Sekarang apa gunanya dibahas?" Kilahnya dengan nada tersanjung.

"Aku cuma ingin kamu tahu, meskipun baru sekarang" Sahutku menjelaskan.

“Alah..., itu kan masa lalu, buat apa dibahas lagi, Zin?” sergah wanita itu setiap kali kuceritakan perasaanku kepadanya di masa lalu via BBM.

“Aku tahu itu, tetapi aku pikir apa salahnya, minimal aku pernah menyatakannya” kilahku, tetapi beberapa waktu wanita itu seperti enggan menanggapi.

“Kalau kamu sendiri gimana?” Tanyaku untuk kesekian kalinya.

“Apanya?” Dia balik bertanya seakan tak paham maksudku.

“Sudahlah, nggak perlu dibahas. Kita ngobrol yang lain saja”, untuk kesekian kalinya Tutik berkilah.

“Aku tahu, ini perasaan aneh, tetapi aku sangat ingin tahu jawabannya”, jelasku menunjukkan kesungguhan.

“Emm...., kurang lebih sama”, dengan ragu, akhirnya wanita itu menjawab misteri batin yang selama ini membuat aku penasaran. Seketika perasaanku begitu lega, serasa terbang di langit biru mendengar jawabannya.

Sejujurnya aku ingin tahu, apakah perasaan itu masih ada saat ini, tetapi aku ragu menanyakannya. Aku memilih alihkan pembicaraan dengan berbagai cerita, termasuk soal Yani Royani yang beberapa waktu lalu begitu ngebet mengajakku selingkuh. Tutik yang saat ini menjadi pengelola lembaga pendidikan bersama suaminya itu bahkan banyak memberiku petuah.

Obrolan demi obrolan tak menghilangkan keingintahuanku akan perasaan Tutik padaku saat ini. Beberapa kali aku berniat bertanya, tetapi selalu aku urungkan.

“Kalau sekarang, perasaan itu masih ada, nggak?”, akhirnya aku bertanya dengan ragu.

“Ya, kurang lebih sama dengan kamu”, tanpa kuduga  Tutik menjawabnya dengan tegas.

“Maksudnya?” tanyaku meyakinkan.

“Kamu tanya saja perasaan kamu bagaimana. Seperti itu pulalah aku” Jelasnya menegaskan.

Aku teramat bahagia mendengarnya. Aku merasa menemukan kembali kebahagiaan yang selama ini hanya menjadi misteri.

Aku tahu, rasanya terlalu jauh untuk menjalin hubungan lebih jauh dengan wanita itu. Apalagi statusnya saat ini mustahil membuka celah hubungan yang lebih jauh lagi. Belum lagi aku kenal baik dengan suaminya sejak dulu. Bahkan aku sendiri sangat kuatir suaminya tahu dengan ulah nakalku pada istrinya saat ini.

“Tapi begini, Zin. Apapun itu, yang terpenting bagi kita adalah kendali diri. Sangat mudah kan, kalau saja kita janjian ketemu?” Tanyanya.

“Iya, sangat mudah” Sahutku.

“Itu sebabnya, kita perlu membatasi diri. Minimal jangan sampai kita bertemu berduaan” Jelasnya.

“Bahaya, ya?” Sahutku menggoda.

“Ya, namanya kita pernah ada rasa, dan mungkin strumnya juga masih ada, bisa-bisa... kita jatuh pada hubungan lebih jauh” Sahutnya antusias.

Aku mengiyakan dengan rasa tak menentu. Aku bahagia bercampur penasaran, ternyata rasa itu masih sama, bahkan Tutik sendiri menyadari bisa berpotensi lebih jauh dari sekedar mengakui bahwa rasa itu pernah ada.

“Bagaimanapun keluarga kita adalah yang terpenting bagi kita” Sambungnya menjelaskan.

Aku hanya mengiyakan saja penjelasannya. Bagiku, aku sudah cukup bahagia wanita itu pernah mencintaiku, bahkan hingga saat ini, meski tak mungkin saling memiliki. Seperti yang aku rasakan, dia bilang cukup bahagia biasa dekat denganku, saling berbagi setiap waktu, meski kadang terbersit kerinduan untuk dapat dekat dengannya di dunia nyata.

Meski demikian, aku belum berani memulai langkah berikutnya. Aku bahkan sangat kuatir suami Tutik tahu semua yang pernah kami obrolkan selama ini. Meski rasa hati ingin selalu dekat dan kontak dengan wanita itu, aku berusaha tak terlalu sering kontak dengannya.

Segurat pikiran nakal kadang melintas di benakku. Aku membayangkan andai saja dapat chatting lebih seru dengan wanita itu. Meski fisiknya mirip istriku, entah mengapa aku merasa begitu penasaran. Meski demikian, aku berfikir panjang untuk menggodanya lebih jauh.

Aku begitu menikmati kedekatan batin yang kini terasa nyata. Aku begitu larut dalam perasaan aneh layaknya remaja yang tengah kasmaran. Tutik sendiri tampak antusias menyambut setiap sapaanku. Meski tanpa pernyataan cinta atau jadian, tetapi aku merasa seperti sedang berpacaran dengannya meski hanya di dunia maya.

Setiap hari aku didera kerinduan ingin mendengar suaranya, atau minimal membaca sapaan BBM darinya, tetapi keraguan masih menghantuiku dan mungkin juga dia. Aku segan kirim pesan BBM  terlalu sering, padahal hatiku dipenuhi harap.

Di sisi lain aku kuatir kedekatan dan obrolanku dengan Tutik diketahui suaminya. Bagaimanapun aku kenal baik dengan suaminya. Aku sadar, ini hanyalah perasaan terlarang, yang tak seharusnya aku nikmati, tetapi aku merasa begitu beratnya melawan bisikan hati.

Agar tak terkesan terlalu berambisi, aku sengaja menahan diri untuk tidak BBM maupun telepon wanita pujaan terlarangku iitu. Seminggu ini aku sama sekali tak kontak wanita itu, tetapi tiba-tiba muncul SMS, “Faizin, add aku lagi, ya. Maaf, kemarin kehapus”. Meski bukan dari nomor Tutik yang biasa kuhubungi, segera saja aku add kembali BBM wanita itu. Chatting panjang lebar kembali kami jalani, menikmati perasaan aneh yang merajai batinku selama ini.

Seperti biasa, saat chatting semakin seru, aku tak sabar mendengar suaranya via telepon, tetapi beberapa kali panggilan tak terjawab. “Kenapa teleponku tak diangkat?” tanyaku via BBM.

“Jangan telepon dulu. Ada suamiku. Dia tahu obrolan kita” Jawaban singkatnya mengagetkanku.

“Aduh... Tahu semuanya?” Tanyaku.

“Iya. Semuanya. Sekarang kita lagi kurang enak hati” Jawabnya membuatku kian gundah.

“Aku takut, nih” sahutku.

“Kenapa?” Dia balik bertanya.

“Ya, jelas kuatirlah. Aku kenal baik dengan dia, sementara selama ini kita ngobrol seperti itu”  Jelasku gundah plus keheranan.

“Obrolan tentang perasaan kita?” Jawabnya membuatku kian heran.

“Iya, memang kamu pikir bagaimana?” Tanyaku gundah kebingungan.

“Terima kasih, mas Faizin. Ini aku sendiri Irfan, suami Tutik” Sebuah jawaban BBM yang membuatku lemas seketika.

Hatiku diliputi perasaan malu, rasa bersalah, dan bingung harus berbuat apa. Hal yang paling kutakutkan terjadi juga padaku. “Maafkan aku, mas... maaf... mohon maaf, mas” Kukirim pesan broadcast jawaban, tetapi tidak terkirim karena tiba-tiba dia sudah memutus pertemanan.

Bingung, malu dan perasaan takut bercampuraduk dalam hatiku. Aku kuatir lelaki itu akan marah padaku. Aku takut teman-temanku tahu. Aku tak dapat bayangkan bagaimana bila istriku tahu.

Aku tak tahu lagi bagaimana perasaanku pada Tutik. Aku tak dapat membayangkan yang dia alami karena aku telah bermain perasaan dengannya. Reuni hatiku telah membukakan misteri batin yang terpendam sekian lama, tetapi harus kubayar dengan keadaan yang kian menjauhkan wanita dariku, entah sampai kapan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun