Nama : Nashwa widya pramesti
Nim : 144241122
Prodi : Ekonomi islam
Â
Generasi z dan peluang bisnis di era modern
Â
Pendahuluan
Menurut Badan Pusat Statistik Indonesia, Generasi Z atau Gen Z adalah generasi yang lahir tahun 1997 sampai 2012, dimana saat ini mendominasi persentase jumlah penduduk di Indonesia, yaitu sekitar 27,94% dari 270,20 juta jiwa penduduk Indonesia per tahun 2020 (Badan Pusat Statistik Indonesia, 2021). Mereka adalah generasi pertama yang benar-benar "digital native," di mana internet, media sosial, dan perangkat pintar menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari mereka. Dengan populasi yang signifikan dan daya beli yang terus meningkat, Gen Z memiliki pengaruh besar terhadap tren pasar global. Tak hanya sebagai konsumen, mereka juga menjadi pelaku bisnis yang inovatif. Artikel ini akan mengulas karakteristik Gen Z, peluang bisnis yang muncul dari gaya hidup mereka, serta strategi untuk memanfaatkan potensi besar generasi ini. mereka adalah penutur asli teknologi digital yang mampu menggunakan teknologi digital secara alami (Rastati, 2018). Rastati juga menambahkan bahwa digital natives terbagi menjadi dua kelompok, yaitu generasi Y (milenial) dengan generasi Z (Rastati, 2018). Koulopoulos dalam bukunya The Gen Z Effect, menjelaskan bahwa Gen Z bukan hanya digital natives, tetapi juga pecandu yang terhiperkoneksi (hyperconnected junkies) yang espektasinya mengubah bisnis secara radikal selamanya (Koulopoulos & Keldsen, 2014).
Isi
Perkembangan teknologi digital, membelah realitas menjadi dua macam, yaitu realitas fisik dengan realitas maya. Ada dua macam realitas maya (digital), yaitu dalam jaringan (daring/online) yang disebut internet dan luar jaringan (luring/offline). Saat ini realitas fisik sering diasosiasikan dengan realitas luring, meski sebenarnya penyebutan tersebut, agak kurang tepat. Alasannya karena makna luar jaringan berarti akses digital tanpa transfer data, melalui penyimpanan lokal. Contoh, seseorang ingin menonton video secara luring, berarti orang tersebut mengakses penyimpanan lokal di komputernya (harddisk, DVD, flashdisk). Penyebutan pertemuan luring dan daring, disebabkan aktivitas pertemuan pada masa pandemi Covid-19, untuk membedakan pertemuan yang dilakukan melalui internet, dengan pertemuan langsung di realitas fisik. Perkembangan teknologi untuk mengakses dunia maya, berkembang secara pesat, dimulai dari akses melalui modem jaringan telepon rumah (landphone) hingga akses seluler 4G. Kecepatan internet sebelum adanya 4G, sangat tidak stabil dan transfer data yang terbatas, sehingga kebutuhan akan penyimpanan lokal masih tinggi. Pada masa itu, transfer data hanya untuk mengunduh, bukan streaming.
Gen Z lahir era 4G dimana realitas daring sudah cukup stabil untuk diakses secara waktu sebenarnya (realtime) dengan kualitas gambar dan suara yang jauh lebih baik daripada dua dekade lalu. Kecepatan internet yang tinggi tersebut, mengubah paradigma sosial budaya yang berlaku. . Generasi sebelum Gen Z, menyebut era cepatnya akses internet sebagai era disrupsi, karena sebelum ada 4G, interaksi sosial dan transaksi bisnis, lebih sering terjadi secara fisik. Disrupsi dalam bahasa Inggris, disruption, artinya suatu jeda atau interupsi dalam situasi normal atau berkelanjutan dari beberapa aktivitas atau proses (Merriam-Webster, n.d.). Istilah disrupsi bukan saja digunakan untuk menyebut perubahan situasi dari lama ke yang baru seperti definisi yang selama ini ada, tetapi juga menggambarkan betapa mendadak dan cepatnya perubahan. Kata disrupsi, dekat dengan kata gangguan. Hal yang dianggap sebagai disrupsi oleh generasi sebelum Gen Z adalah berubahnya tatanan sosial dan bisnis kepada hal yang mereka sendiri belum memahami sepenuhnya perubahan itu. Sedangkan bagi Gen Z sebagai digital natives, mereka adalah bagian dari disrupsi sosial-bisnis tersebut. Selanjutnya yaitu adalah berkaitan tentang tantangan Ketika beradaptasi dengan pasar gen z.
- Tantangan ketika Beradaptasi dengan Pasar Gen Z.
- Sudut pandang dari tantangan ini adalah pelaku bisnis non Gen Z (Boomer ke Milenial) kepada target pasar Gen Z. Jika BPS RI memetakan ada sekitar 27% Gen Z di Indonesia per 2020, maka pasar Gen Z hanya dihitung sebagai dominan saja, bukan satu-satunya; sehingga dengan hanya memperhatikan Gen Z saja, akan dianggap kurang simpatik dengan generasi sebelumnya. Berdasarkan hal tersebut, tantangan pertama dari adaptasi terhadap pasar Gen Z adalah 'cara pelaku bisnis untuk dapat merangkul pasar Gen Z sekaligus pasar dari generasi lain untuk memaksimalkan income'. Gen Z sangat dipengaruhi oleh influencer, harga, dan promo dalam keputusan pembelian, sedangkan generasi sebelumnya lebih melihat dari sisi produk yang dipasarkan.
- Tantangan kedua berhubungan dengan keterhubungan antara pelaku bisnis dengan konsumen Gen Z. pelaku bisnis harus berani berkomunikasi secara inklusif, intuitif, dan informal. Hal tersebut berarti norma dalam komunikasi yang seringkali dipegang teguh oleh generasi sebelum Gen Z harus ditinggalkan sejenak. Beberapa orang atau ahli  menyebut Gen Z sebagai generasi peralihan . Gen Z beralih dari perilaku dan sikap yang umum pada Milenial dan beralih ke era sadar sosial dan beragam, yang mengingatkan pada konsumen tanpa basa-basi di masa lalu. Beberapa ahli menjelaskan suatu hal yang harus diperhatikan pelaku usaha untuk mencapai pasar Gen Z yaitu seperti kualitas yang terjangkau,estetika dan fungsional,kemudian popularitas,lalu sesuai dengan gaya saya dan yang terakhir adalah etis. Selanjutnya Tantangan ketiga berhubungan dengan interaksi dan keputusan pembelian jika produk yang dipasarkan viral, belum tentu akan laku di pasar Gen Z, begitupun sebaliknya  seperti yang dikatakan bahwa meski influencer social media berpengaruh besar pada keputusan pembelian Gen Z, tetapi tingkat keragu-raguannya juga cukup tinggi. Tantangan keempat berhubungan dengan pandangan Gen Z terhadap realitas fisik pelaku bisnis harus dapat melakukan sinergi antara aktivitas bisnis di realitas fisik dengan di internet. Meski Gen Z adalah digital natives, tetapi interaksi sosial mereka juga dilakukan di realitas fisik, seperti tren staycation di hotel, healing di tempat wisata, datang ke event konser, atau mingle di warung kopi (coffee shop). sesuatu yang mereka lakukan bukan semata untuk mendapatkan pengalaman yang berkesan, tetapi juga untuk  direkam dalam akun media sosial mereka. Kemudian ada satu hal yang sangat menarik bagi gen Z yaitu Gen Z sangat tertarik dengan pemberian imbalan (reward) di internet, oleh karenanya, pelaku bisnis harus mampu mengikuti perkembangan di internet dengan baik, membaca tren, dan melihat potensi viral dari keputusan-keputusan yang diambil terkait bisnisnya terhadap pasar Gen Z.
- Peluang ketika Beradaptasi dengan Pasar Gen Z
 Kesempatan berarti adanya faktor-faktor positif yang dapat dipertimbangkan pelaku bisnis ketika akan beradaptasi dengan pasar Gen Z. Meskipun dunia dan alam pikir Gen Z masih merupakan misteri bagi beberapa generasi sebelumnya, tetapi bukan berarti tidak dapatÂ
- dikuasai. Peluang pertama yang dapat dilakukan oleh pelaku bisnis untuk dapat beradaptasi dengan Gen Z adalah 'fakta bahwa Gen Z masih relatif muda dan cenderung mudah dipengaruhi minatnya'. Fromm & Read (2018), menjelaskan fakta bahwa remaja saat ini merasa perlu untuk mengatur akun media sosial mereka sesering mungkin, mengindikasikan adanya perilaku FOMO (Fear of Missiong Out) dan FOLO (Fear of Living Offline). FOMO adalah istilah yang populer saat ini, untuk menggambarkan perilaku konsumsi yang dimotivasi oleh perasaan 'ingin ikut dan terlibat dalam mencoba hal viral'. Sedangkan FOLO lebih banyak ditunjukkan dari perlaku seringnya memeriksa dan mengamati gawai, terutama ketika mereka sedang menantikan respon dari postingan terbaru di media sosial mereka atau ketika mereka mulai bosan dengan aktivitas di realitas fisik. Perilaku FOMO dan FOLO yang terjadi pada Gen Z, dapat menjadi peluang bagi pelaku bisnis untuk membangun tren digital dan menarik minat para Gen Z. Kemudian Peluang kedua, berhubungan dengan tingkat kepercayaan Gen Z terhadap suatu produk atau pelaku usaha, yaitu: 'Gen Z menilai kepercayaan suatu produk barang atau jasa berdasarkan rating, atau jumlah engagement'. Thio (2019), menjelaskan bahwa dari tujuh sub-dimensi pengalaman pelayanan pelanggan (customer service experience), yaitu trust, value for money, context familiarity, usability, communication, product presence, dan interactivity, terdapat tingkat trust dan value for money yang tinggi dari Gen Z daripada Gen Y (Milenial). Selanjutnya Peluang ketiga , berhubungan dengan konsep value for money, yaitu 'Gen Z adalah generasi yang melihat kesesuaian antara harga dengan kualitas produk'. masih berhubungan dengan penelitian Thio, bahwa Gen Z memperhatikan kesesuaian harga dengan kualitas produk (value for money), yang artinya mereka tidak melihat berdasarkan mahal atau murahnya suatu produk barang dan jasa. Produk yang mahal, apabila sesuai dengan kualitasnya, maka Gen Z akan tertarik membelinya. Dengan mempelajari kecenderungan merek, produk, dan layanan yang dipilih Gen Z, maka pasar Gen Z dapat dieksplorasi dengan baik. Konsep value for money ini juga dapat menjadi indikator dari besaran margin keuntungan yang dapat diperoleh pelaku bisnis jika ingin masuk ke dalam pasar Gen Z. Salah satu layanan yang cukup populer di kalangan Gen Z adalah memberikan promo, bonus, atau pengemasan yang rapi, yang dapat memberikan kesan premium atau keuntungan lebih. Bahkan aktivitas pengemasan produk yang ditampilkan secara live, juga dapat menarik minat para Gen Z. Usaha (effort) yang maksimal dan serius, meski biaya yang dikeluarkan minim, dapat menarik minat Gen Z. Hal ini juga diperkuat oleh penelitian yang menjelaskan bahwa Gen Z adalah pembeli yang konsumtif yang cenderung mengeluarkan uang jika mereka memiliki minat pada produk tertentu. Gen Z juga suka berbelanja online, karena mudah, nyaman, persepsi pada harga yang lebih murah, variasi produk, dan efisiensi waktu.
- Penutup
Berdasarkan pembahasan penelitian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa realitas yang dialami oleh Gen Z, berbeda dengan generasi sebelumnya yang cenderung hidup dalam realitas fisik, dan menganggap internet adalah realitas tambahan yang dimanfaatkan sebagai hiburan, sumber pengetahuan, dan realitas penunjang dari realitas fisik. Internet adalah bagian dari lingkungan asli, budaya, interaksi sosial, dan sumber pengetahuan dari Gen Z. Fakta bahwa Gen Z mendominasi ruang internet dengan penetrasi internet dan kontribusi terbesar dibandingkan generasi lain, menjadikan realitas internet, sangat tergantung pada karakteristik Gen Z. Pasar konsumen Gen Z tidak dapat dipahami sepenuhnya oleh pelaku bisnis dari generasi sebelumnya, sehingga muncul istilah disrupsi untuk menggambarkan ketidakjelasan situasi yang dialami dalam interaksi sosial, budaya, dan bisnis saat ini. Generasi pra Gen Z sangat khawatir bahwa mereka tidak punya kendali, atau minimal kontribusi untuk selalu relevan, dengan 'dunia' yang dikembangkan oleh Gen Z,terutama dalam konteks bisnis. Tetapi Generasi Z adalah kekuatan besar dalam lanskap bisnis modern. Dengan kebutuhan yang spesifik dan perilaku konsumsi yang unik, mereka menciptakan peluang bisnis baru yang menarik. Perusahaan yang mampu memahami dan beradaptasi dengan karakteristik generasi ini tidak hanya akan mendapatkan keuntungan, tetapi juga menjadi bagian dari perubahan positif di dunia bisnis. Kini saatnya para pelaku usaha menjadikan Gen Z sebagai inspirasi untuk menciptakan inovasi yang relevan dan berkelanjutan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI