Untuk pasien yang terkena Tuberkulosis salah satu kunci untuk menyembuhkannya yaitu dengan disiplin mengonsumsi obat. Obat ini tidak boleh sembarang diberhentikan walaupun sudah merasa lebih baik. Karena bakteri akan semakin lebih ganas.
Menurut MC kota Padang (2019) "Kalau nggak teratur minum obat bisa jadi TB latent, bisa resisten. Kalau resisten obatnya semakin banyak yang diminum dan lama pengobatan juga bertambah. Belum lagi reaksi dari obat TBC resisten lebih berat dibandingkan obat TBC biasa, imbuh dia."
Di Indonesia, Penghentian pengobatan Tuberkulosis sebelum waktunya (drop out) merupakan faktor kegagalan terbesar dalam pengobatan Tuberkulosis yang besarnya mencapai 50%. Drop out sendiri merupakan pasien yang putus berobat selama 2 bulan atau lebih dengan BTA positif. Angka drop out tidak boleh mencapai lebih dari 10%, karena akan menghasilkan proporsi kasus retreatment yang tinggi dimasa depan, karena ketidakefektifan dari pengendalian tuberkulosis. Menirunya angka drop out karena peningkatan kualitas penanggulangan TB akan menurunkan proporsi kasus pengobatan ulang antara 10-20% dalam beberapa tahun. (Depkes RI, 2008).
Dengan perkembangan pengetahuandan teknologi di bidang farmasetika, saat ini telah dibuat tablet kombinasi OAT yang dikenal dengan KDT. Dengan adanya KDT ini diharapkan kepatuhan pasien Tuberkulosis dalam meminum OAT dapat ditingkatkan sehingga akan meningkatkan kesembuhan. Â OAT KDT merupakan tablet kombinasi yang terdiri dari beberapa macam obat anti Tuberkulosis tanpa mengganggu ketersediaan hayati obat tersebut. Namun demikian, seperti pada obat tunggal, untuk menjamin kualitas obat, pemantauan mutu dari KDT harus dilaksanakan secara berkala. (Jurnal farmasi klinik Indonesia 2016:216)
Pengobatan Tuberkulosis sendiri membutuhkan waktu yang lama dengan 2 pengobatann. Yakni fase Intensif dan fase lanjutan. Bakteri Mycobacterium Tuberculosis membutuhkan waktu pengobatan yang lama karena bakteri ini  sulit untuk dibunuh sehingga perlu waktu yang panjang untuk mengoptimalkan penyembuhan. Untuk Pasien  yang  menjalani  fase  intensif  jika pengobatannya  dilakukan  dengan  benar  maka bakteri yang aktif bereplikasi dan dorman akan mati atau terhambat oleh OAT sehingga di akhir fase  intensif  terjadi  konversi  BTA  dari positif menjadi  negatif. Lalu untuk Fase  lanjutan ini bertujuan untuk  membunuh  bakteri  persister  sehingga pasien dapat sembuh dan mencegah kekambuhan.  Jika  pada  akhir  fase  intensif tidak terjadi konversi BTA menjadi negatif maka diberikan fase sisipan dengan kombinasi HRZE (Isoniazid, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol) yang diminum setiap hari selama 28 hari. (kajian literatur pengobatan tuberkulosis paru dan efek samping obat anti tuberkulosis di Indonesia 234)
KESIMPULAN
Obat untuk tbc harus dihabiskan dalam kasus tbc agar efektivitas pengobatan dapat tercapai dan mencegah risiko resistensi. Jika obat tbc tidak dihabiskan, maka ada kemungkinan bahwa bakteri dan kuman yang menyebabkan tbc tidak terbunuh dan akan berkembang baik di dalam tubuh. Ini dapat menyebabkan tbc pulih dan muncul kembali, dan berpotensi resisten terhadap obat yang digunakan. Keesimpulan tentang mengapa obat tbc harus dihabiskan diambil berdasarkan penelitian dari American Thoracic Society, Centers for Disease Control and Prevention, dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Mereka telah merekomendasikan bahwa obat tbc harus dihabiskan dalam kasus pengobatan tbc agar dapat memungkinkan pemulihan atau keberhasilan pengobatan, dan untuk mencegah risiko resistensi terhadap obat yang digunakan. Penelitian tersebut telah memberikan bukti kuat bahwa jika obat tbc tidak dihabiskan, maka dapat menyebabkan tbc muncul kembali dan resisten terhadap obat yang digunakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H