Pada masa itu, Ali Sastroamijoyo dan M. Roem tidak mau menghadap langsung ke Sukarno, akhirnya yang maju adalah Idcham Kholid sebagai perwakilan dari NU. Idcham Kholid berhasil menjelaskankan ke Sukarno tentang bahaya komunis. Akhirnya, Sukarno tidak berani memasukkan PKI dalam kabinet. Kemudian, pada tahun 1959 dan 1962, Sukarno kembali hendak memasukkan PKI dalam kabinet, tetapi keinginan tersebut dihadang oleh NU. Pada akhirnya Nasakom tidak pernah terjadi. Â Â
Pada saat itu juga, Masyumi termasuk yang aktif mengkritisi pemerintahan Sukarno, terkhusus penentangannya terhadap gagasan sistem demokrasi terpimpin. Pada akhirnya Sukarno menyarankan agar Masyumi membubarkan diri dan akhirnya pada tahun 1960 Masyumi harus bubar. Inilah luka sejarah masa itu, partai besar berpengaruh harus bubar karena kekritisannya.
Sepertinya PKS, tidak ingin mengalami hal serupa seperti yang dialami Masyumi pada masa itu. PKS ingin memperbaiki pemerintahan Prabowo-Gibran dari dalam. Sebagai partai Islam yang selama ini banyak berseberangan dengan Jokowi, PKS dapat saja menghadang pengaruh Jokowi dari dalam. Oleh karena itu, ketika Prabowo mengajak PKS untuk masuk dalam pemerintahannya, PKS menyambutnya karena Prabowo butuh partai penguat dalam menjalankan pemerintahannya. Â Â
Dalam hal beroposisi dan berkoalisi, PKS memiliki cukup pengalaman. Pada masa pemerintahan Megawati dan era Jokowi, PKS menjadi oposisi dan pada saat pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Susilo Bambang Yudoyono (SBY), PKS menjadi bagian dari kedua pemerintahan itu.
Pada masa pemerintahan Gus Dur melalui Menteri Kehutanan dan Perkebunan, Nurmahmudi Ismail (menteri dari PKS), ia berperan besar menjebloskan Bob Hasan ke penjara. Demikian pula pada saat PKS menjadi bagian dari pemerintahan SBY, PKS tetap kritis. Ketika pemerintah SBY hendak menaikkan harga BBM, PKS mengkritisinya di parlemen, dan mengkritisi kebijakan-kebijakan lain yang tidak prorakyat. Walaupun untuk hal itu, akhirnya jatah menteri dari PKS dikurangi, resiko. Â
Akankah PKS kembali melakukan peran itu? Kita tunggu saja nanti. Semoga pemerintahan Prabowo-Gibran lebih baik dari Jokowi.
Dalam suatu kesempatan seminar buku, Kiai Abdul Mun'im (penulis buku 'Benturan NU-PKI 1948 dan 1965'), beliau pernah berkata bahwa mencegah dari dalam lebih efektif daripada mencegah dari luar. Â Masuk dalam kabinet belum tentu kita setuju dengan dengan agenda kabinet (Nasakom). (Abdul Mun'im, 2021) Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H