Mohon tunggu...
Nashihin N.
Nashihin N. Mohon Tunggu... Editor - Pegiat Lirerasi

Penulis dan editor

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Dilema Demokrat dan AHY

4 September 2023   13:15 Diperbarui: 4 September 2023   14:40 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Pinangan Partai Nasdem atas Gus Imin (Muhaimin Iskandar) sebagai Cawapres Anies Baswedan telah menghobahkan perpolitikan nasional. Hingga hari ini diskusi dan obrolan-obrolan tentang tema tersebut masih terus berlangsung di medsos dan di grup-grup WA.   

Puncak hebohnya ketika pasangan tersebut dideklarasikan di Surabaya dan diikuti hengkangnya Partai Demokrat dari koalisi perubahan. Isu penghianatan pun mencuat dengan berbagai opini yang berkembang. Diskusi dan obrolan netizen semakin memanas.

Satu pihak menganggap Partai Nasdem melalui Surya Paloh telah berhianat, termasuk Anies di dalamnya. Sementara pihak lain menganggap Demokrat tidak konsisten dengan kesepakatan bersama yang menyatakan Cawapres akan ditentukan oleh Capres, dalam hal ini Anies. 

Pada sisi ini, Demokrat dianggap telah baper karena usulannya ingin menjadikan AHY sebagai Cawapres tidak dipenuhi. lalu ngambek dan hengkang dari koalisi.

Kini Demokrat telah terlanjur keluar dari koalisi. Komposisi koalisi pun berubah setelah masuknya PKB. Sementara itu, PKS mengambil jalan yang berbeda, dengan menerima PKB ke dalam koalisi dan tidak keluar dari koalisi. 

PKS juga berharap Demokrat tetap dalam koalisi. Namun, bersamaan itu, PKS juga memberi catatan moral atas keputusan yang sepihak tersebut.  

Oleh karena sikapnya itu, PKS mendapat poin positif dari banyak kalangan. Penerimaan atas masuknya PKB ke dalam koalisi tidak serta merta langsung disetujui oleh PKS, akan tetapi akan dibahas dalam rapat Majelis syuro. Ini merupakan sikap genial PKS yang tidak gegabah dalam mengambil keputusan strategis.

Sekarang, kembali ke Demokrat dan AHY, hendak ke manakah mereka? Pada posisi ini, tentu partai Demokrat mengalami dilema, jika harus bergabung ke PDIP maka akan canggung karena selama ini hubungan SBY dengan Megawati tidak harmonis. 

Jika bergabung dengan koalisi Prabowo konon hubungan di antara keduanya tidak cocok. Mau balik lagi ke koalisi perubahan ibarat menelan ludah sendiri. Lalu, AHY dengan Demokratnya mau ke mana? 

Memang sih, dalam politik ketiga pilihan tersebut bisa saja terjadi diambil karena dalam politik tidak ada yang tidak mungkin. Itu hal biasa.

Dalam catatan penulis, AHY belum waktunya masuk ke puncak karir keuasaan nasional. Ia masih perlu banyak mengasah kemampuan politiknya. Karir politiknya masih perlu diisi dengan jam terbang yang banyak untuk menjadi penyelenggara negara, misal menjadi menteri, pimpinan DPR/MPR, dan lain-lain. 

Menjadi wakil presiden baginya bukan posisi yang strategis, apalagi selama ini, posisi sebagai wakil presiden seakan seperti pelengkap penderita. Umumnya setelah menjadi wakil presiden langsung masuk kotak. Karirnya mentok karena populeritasnya redup. Maukah AHY mengalami seperti itu?

Lalu, sebaiknya bagaimana? Jika, terpaksa harus kembali ke koalisi perubahan, bisa saja nanti menjadi menteri, pimpinan dewan, atau posisi yang lain untuk mengasah kemampuan politiknya sekaligus mendongkrak populeritas dan elektabilitasnya pada pemilu mendatang. Sepertinya AHY masih perlu bersabar. 

Usianya masih muda, masih banyak yang bisa dilakukan untuk meningkatkan kapasitas politiknya.  Akan tetapi, maukah AHY dengan Demokratnya kembali ke koalisi. Mungkin di sini ada kegamangan. 

Jika pun harus bergabung dengan koalisi Ganjar dan Prabowo, seberapa besar daya tawarnya di hadapan kedua koalisi tersebut? Mungkin tidak akan terlalu mendongkrak suara Partai Demokrat atau bisa jadi malah turun suaranya.

Ataukah Demokrat memilih tidak bergabung ke semua koalisi tersebut dengan mengambil sikap netral? Jika sikap itu yang diambil lalu menjadi oposisi dari pemerintahan yang akan terpilih nanti, apakah bisa? 

Akankah dengan tidak bergabung dengan salah satunya mampu mendongkrak suaranya? Bisa jadi malah kebalikannya, terjun bebas. Atau katakan berada di posisi netral agar dianggap sebagai partai yang terzalimi, terzalimi oleh siapa? Bukankah itu hanya sebatas kisruh internal koalisi saja, bukan terzalimi oleh penguasa.  Mungkin ini yang perlu menjadi renungan bagi AHY.

AHY dalam hal ini perlu merenung kembali, jika partai demokrat ingin bisa terus menjadi kendaraan politiknya. Saat ini yang utama baginya adalah menyelamatkan partainya. 

Fokus membesarkan partainya. Hal ini bisa dilihat pada perolehan suara Partai Demokrat tahun 2019 yang turun, yaitu 10.876.507 (7,77 persen) dari yang sebelumnya pada pemilu tahun 2014 sebesar 12.728.913 (10,19 persen). 

Apalagi dalam survei terakhir versi Voxpol Center, Partai Demokrat berada pada kisaran 4.2%. Kisruh saat ini mungkin meningkatkan populeritas AHY dan Partai Demokrat, tetapi belum tentu dengan elektabilitasnya.

Tentunya, Partai Demokrat sebagai partai yang pernah berkuasa selama 2 periode, perlu merenung lagi. Kembali ke pangkuan koalasi perubahan ataukah bergabung ke kaolisi lain?  Yang realistis kembali ke pangkuan koalisi perubahan. Sepertinya Surya Paloh dan PKS akan menerimanya dengan senang hati.

*Penulis adalah editor buku dan pemerhati sosial-politik 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun