Amerika Serikat dan China merupakan dua negara yang memiliki perekonomian yang kuat. Ekonomi yang kuat tersebut menyebabkan kompetisi antara dua negara tersebut. Kedua negara tersebut berlomba-lomba untuk menghegemoni dunia internasional dengan kekuatan ekonominya. Hubungan dagang antara Amerika Serikat menjadi perhatian dunia internasional. Kini, ketegangan kedua pihak akibat kompetisi yang memanas semakin mengkhawatirkan. Hal ini dipicu oleh kebijakan proteksionisme yang diterapkan oleh Amerika Serikat.
Perang dagang antara Amerika Serikat dan China bermula dari kebijakan proteksionis yang diterapkan oleh presiden Trump. Trump mengambil langkah proteksionisme untuk memperbaiki neraca perdagangannya yang kian mengalami defisit. Kebijakan tersebut membuat China rugi karena beberapa produknya dikenakan tarif impor yang cukup besar. Hal ini menyebabkan tahun 2018 hingga 2020 merupakan konstalasi politik yang didominasi pengaruh perang dagang antara Amerika Serikat dan China. Pengaruh perang dagang antara kedua negara tersebut mempengaruhi perekonomian internasional. Hal ini disebabkan aktor yang terlibat dalam perang dagang tersebut adalah dua negara yang memiliki pengaruh yang besar dalam perekonomian internasional.
Awal Mula
Sejak awal masa kampanye, Trump berencana melawan praktik dagang China yang dianggap merugikan Amerika Serikat. Hal ini dapat dilihat melalui jumlah ekspor dan impor Amerika terhadap China yang tidak seimbang. Pada tahun 2017, ekspor Amerika Serikat ke China hanya senilai US$130 miliar. Hal ini berbanding terbalik dengan jumlah impor Amerika Serikat ke China yang sejumlah US$506 miliar. Sehingga, Trump berupaya untuk mengambil tindakan untuk mengurangi defisit neraca perdagangan.
Alur Perang Dagang
Pada April 2017, presiden Trump dan Presiden Xi Jinping bersepakat dalam rencara 100 hari pembicaraan dagang. Dalam kesepakatan tersebut Amerika diizinkan untuk melakukan investigasi mengenai impor alumunium dan baja dan diberikan akses terhadap agrikultur, energi dan pasar keuangan China. Sedangkan, Xhina diperbolehkan untuk menjual ayam ke Amerika Serikat. Namun, kesepakatan tersebut gagal karena adanya penyelidikan dugaan pencurian kekayaan intelektual oleh China.
Pada awal tahun 2018, Amerika Serikat menerapkan pajak terhadap barang impor yang berupa mesin cuci dan panel surya dari berbagai negara. Selanjutnya Maret 2018, Amerika kembali menerapkan pajak pada impor lainnya yaitu, pajak sejumlah 25% untuk impor baja dan 10% untuk alumunium yang diberlakukan terhadap berbagai negara. Pada bulan yang sama, China membuat kebijakan untuk diberlakukannya pajak untuk komoditas dari Amerika Serikat yang senilai US$ 3 miliar. Hingga, pada akhirnya Amerika Serikat menerapkan pajak terhadap seluruh barang impor, yaitu 30% untuk panel surya, Â 20% untuk mesin cuci, 25% untuk impor baja dan 10% untuk alumunium. Kebijakan Amerika Serikat tersebut ditanggapi China dengan memberikan pajak khusus produk pesawat terbang dan kedelai Amerika. Selanjutnya, 3 April 2018, Trump mengumumkan rencana penerapan pajak 25% terhadap impor China. China menanggapi hal tersebut dengan memberikan pajak sejumlah 15-15% untuk 128 prduk buah, daging, anggur, babi, alumunium daur ulang dan pipa baja. Â Pada Mei 2018, China menghentikan impor kedelai dari Amerika Serikat. Hal ini menyebabkan Amerika mengalami kerugian yang besar. Selanjutnya, 21 Mei 2018, china memotong pajak impor mobil Amerika Serikat yang pada awalnya 25% menjadi 15%.
Pada bulan Juni 2018, Amerika menerapkan  pajak sejumlah 25% terhadap US$34 miliar impor China dan penambahan pajak sebesar 25% untuk US$16 miliar barang lainnya. China merespon dengan menerapkan pajak atas barang Amerika dengan jumlah US$ 34 miliar. Tidak sampai disitu, kebijakan pajak impor yang diterapkan Amerika mempengaruhi 818 produk China sebanyak US$34 miliar. Pada 10 Juli 2018, Amerika mengumumkan rencana pajak yang akan diterapkan kepada China sebesar 10% terhadap impor China US$200 miliar. Selanjutnya, China memberikan pajak sebanyak 25% terhadap 545 produk Amerika Serikat. Pada bulan Agustus 2018, Amerika menerapkan pajak sebanyak 25% terhadap 279 barang impor yaitu,plastic, beberapa alat elektonik dan kimia sejumlah US$16 miliar. Seperti biasa, kebijakan tersebut ditanggapi China dengan penerapan pajak kembali. China menerapkan pajak 25% terhadap 333 produk Amerika seperti, tembaga, batu bara, bahan bakar dan alat-alat kesehatan yang bernilai US$ 16 miliar.
Pada September 2018, China membatalkan negosiasi dagang dengan Amerika dan menerbitkan White Paper. White Paper adalah pernyataan resmi hubungan China terhadap Amerika Serikat. Pernyataan tersebut mendorong Amerika menerpakan pajak sebesar 10% untuk US$200 miliar barang impor China. Pajak tersebut akan ditingkatkan pada tahun 2019 dengan jumlah 25%. Sehingga, China juga memberikan pajak sebanyak US$60 miliar barang impor Amerika Serikat sebanyak 5% dan 10%.
Pertemuan G20 di Buenos Aires menjadi wadah antara Amerika Serikat dan China untuk menghentikan penerapan pajak antara dua negara tersebut selama 90 hari. Pemerintah Amerika setuju dan mengumumkan daftar barang impor yang dihentikan kenaikan pajaknya selama 90 hari tersebut. Sedangkan, China juga menurunkan pajak untuk barang tertentu. Pada akhir April, kedua negara melakukan negosiasi dan membentuk perjanjian yang berisi 150 halaman. Akan tetapi, China membatalkan kesepakatan tersebut. Mendengar kabar tersebut, Trump langsung mengumumkan akan meniakkan pajak  terhadap barang impor China sejumlah US$200 miliar dari 10% menjadi 25%. Selanjutnya, Amerika melarang perusahaan telekomunikasi China yaitu Huawei untuk membeli suku cadang dan komponen-komponen dari perisahaan Amerika Serikat. Pada Juni 2019, Presiden Trump dan Presiden Xi mengadakan pembicaraan dagang di pertemuan G20 di Osaka. Pembicaraan dagang tersebut menghasilkan persetujuan bahwa Trump tidak memberlakukan pajak baru dan kembali mengizinkan Huawei. Sedangkan, Xi Jin Ping kembali membeli produk pertanian Amerika Serikat.
Pertemuan dagang di Osaka tersebut juga mengalami gagal. Hal ini disebabkan oleh Trump yang memberlakukan pajak sebanyak 10% untuk US$30 miliar barang impor China. Lalu, China merespon dengan menghentikan pembelian produk pertanian dari Amerika Serikat. Akibat insiden tersebut, nilai mata uang China melemah terhadap dollar Amerika Serikat dan pasar ekuitas menurun drastis. Departemen Keuangan Amerika Serikat menyatakan bahwa China melakukan manipulasi terhadap mata uangnya. Selama 3 hari, Trump menunda pajak 10% terhadap US$300 miliar barang impor China. Pada 20 September 2019, Amerika memberikan pengecualian terhadap 400 produk China. Kedua belah pihak membuat kesepakatan kembali pada 11 Oktober 2019. Hasil kesepakatan tersebut yaitu, penangguhan pajak yang direncanakan oleh Amerika Serikat dan China akan membeli produk Amerika Serikat dalam jumlah yang besar.
Dampak
Dampak perang dagang antara Amerika Serikat dan China tidak hanya dirasakan kedua belah pihak. Dampak tersebut juga dirasakan oleh negara lainnya. Hal ini disebabkan perubahan kebijakan proteksi yang terjadi secara terus-menerus antara kedua belah pihak menimbulkan dampak terhadap negara lain. Sehingga, terjadi ketidakpastian dalam perekonomian dunia. Indonesia turut merasakan dampak dari perang dagang antara kedua belah pihak. Hal ini dapat ditunjukkan melalui China dan mitra Asia menggunakan input dari Indonesia untuk kepentingan produksi barang ekspor ke Amerika Serikat, maka dapat terjadi kenaikan tarif karena perang dagang yang mempengaruhi ekspor Indonesia. Apabila hal ini terus terjadi, maka berpotensi terjadi gangguan rantai pasok karena adanya gangguan produksi dan pasokan bahan baku dan dapat menghambat pertumbuhan ekonomi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H