***
Warung nasi goreng itu setelah dua minggu tutup pukul sebelas malam, kini rupanya kambuh lagi. Setiap malam justru malah bertambah banyak pengunjungnya. Tidak hanya nasi goreng yang tersedia. Tapi minuman keras kadang tersedia.
Memang di warung itu tidak menjualnya. Namun pemilik warung selalu membelikan di lain tempat bila ada yang membutuhkannya. Bahkan kini dengan terang-terangan gadis di warung itu berani bercandaria dengan para pengunjung warung hingga pagi.
Kardi dan para pemuda mulai gelisah lagi. Teguran Pak RW rupanya disepelekan oleh penghuni warung itu. Kardi berencana menghimpun warga untuk mengusir pemilik warung dari kampungnya. Namun Pak RW mencegahnya. Pak RW mengatakan tidak perlu sekasar itu, nanti disangka bertindak main hakim sendiri.
“Tapi orang itu sudah keterlaluan Pak. Mereka tak menghormati peraturan kampung, adat kampung yang dipegang teguh oleh warga. Tentunya Bapak juga tidak rela bila kampung kita sebagai sarang pemabuk, penjudi, bahkan wanita nakal,” kata Kardi dengan nada agak tinggi.
“Baiklah, nanti saya yang akan ke sana lagi. Biar saya sendiri yang bicara. Kalian cukup menunggu hasilnya saja.”
Kardi dan beberapa pemuda meninggalkan rumah Pak RW dengan menggerutu. Mereka beranggapan Pak RW tak tegas. Tidak seperti dulu waktu awal-awal beliau menjabat sebagai Ketua RW.
***
Kardi saat akan berangkat kerja, sempat menanyakan keadaan warung nasi goreng tadi malam kepada Harjo temannya. Dari rumah Harjo biasanya para pemuda memantau warung nasi goreng.
“Masih ramai. Namun cewek itu sejak kemarin sore sudah pergi. Mungkin ada yang buking,” kata Harjo yang masih bermalasan di kursi bambunya.
“Pak RW ke sana tidak?”