AKU sungguh tak mengerti apa yang menjadi kemauan Kang Ratno. Aku baru saja kembali kerja setelah mengambil cuti sebulan yang lalu. Padahal jarak tempuh Surabaya ke kotaku, bagiku cukup melelahkan. Naik kereta atau bus malam, bagiku sama-sama membuat capek. Sebulan yang lalu aku pulang karena ayahku meninggal. Aku pun mengambil cuti lima hari, terus kembali lagi ke Surabaya.
Aku anak keempat dari lima bersaudara. Namun hanya aku yang merantau. Maklum, keluargaku adalah keluarga kami adalah keluarga tak mampu, jadi aku berusaha untuk mencari penghidupan yang layak. Dengan berbekal ijazah SMK, aku merantau ke Surabaya, dan dalam waktu relatif singkat aku diterima di sebuah pabrik, sebagai maintenance.
Yang menjadikanku heran terhadap Kang Ratno adalah tidak maunya mengerti akan keadaanku yang hanya menjadi tenaga buruh di perantauan. Namun setiap ada keperluan, meskipun tak ada sangkut-pautnya denganku, aku diminta kirim uang atau disuruh pulang. Padahal aku sudah pernah bilang, bila bukan sesuatu yang penting sekali, aku cukup diberitahu lewat surat saja. Kalau penting dan mendesak, baru telpon aku lewat pabrik. Tapi lagi-lagi Kang Ratno, hanya masalah sepele saja sering telpon lewat pabrik. Aku jadi sering kena teguran atasanku.
Pernah suatu ketika Kang Ratno menelponku lewat pabrik, waktu itu aku sedang memperbaiki mesin yang harus segera selesai. Atasanku memanggilku untuk segera ke kantor menerima telpon dari kakakku. Dengan lari aku segera ke kantor. Namun betapa dongkol hatiku setelah Kang Ratno mengatakan maksud menelponku.
"Man, kambingmu yang babon, mendem. Saya potong saja ya? Nanti saya ganti uang. Daripada mati sia-sia kan eman-eman?"
"Oalah, Kang ...Kang! Cuma soal kambing mendem saja kok ya nelpon, mbok sudah diputusi sendiri kenapa to?" Betapa dongkolnya aku. Sudah dikejar-kejar pekerjaan, masih diganggu soal-soal sepele.
Kali ini aku disuruh pulang karena ada hal yang penting mengenai kelima anak ayah. Kini kami tinggal memiliki ibu. Ayah meninggal sebelum sempat melihat aku dan adikku Ratmin berumahtangga. Maka otomatis Kang Ratno sebagai anak tertua yang menggantikan posisi ayah dalam hal-hal yang menyangkut keluarga kami. Ibu kami jelas sudah tak mampu berbuat banyak untuk anak-anaknya. Usianya kini hampir 70 tahun.
***
Sampai di halaman rumah masih pagi. Tampak Yu Sarmi, istri Kang Ratno, sedang menyapu halaman. Halaman rumah yang luas, sesuai dengan rumah peninggalan kakek kami yang besar. Rumah itu yang diwariskan kakek kepada ayah sebagai anak tunggal beliau. Kakek kami dahulu termasuk orang terpandang, cukup kaya lagi terhormat. Namun kakek meninggal, tak lama setelah pemerintah mengumumkan devaluasi rupiah. Seribu rupiah menjadi satu rupiah. Mendengar berita itu, kakek jatuh sakit dan tak lama kemudian meninggal dunia. Sejak itu nenek dan ayah hidup sederhana, bahkan lama-kelamaan menjadi miskin karena ayah sewaktu muda kurang bisa bekerja membantu nenek. Nenek pun meninggal tak lama setelah ayah menikah dengan ibu. Baru setelah berumah tangga, ayah bekerja dengan tekun.
Rumah itu kini dihuni oleh ibu, adikku Ratmin, dan keluarga Kang Ratno yang memiliki tiga anak perempuan semua. Sementara dua kakak perempuanku, Yu Ratmi dan Yu Ratminah, mengikuti suami mereka masing-masing dan tinggal di kampung sebelah. Dari lima bersaudara hanya Kang Ratno yang sifatnya mirip ayah. Suaranya keras dan memiliki sifat pemarah.
Aku segera tidur setelah semalaman tubuhku serasa digoyang-goyang dalam bus yang lajunya ndat-ndet karena macet. Kang Ratno baru mencari rumput kata Yu Sarmi, sementara ketiga keponakanku sudah berangkat sekolah. Di dapur beberapa perempuan tetangga kami mulai sibuk mempersiapkan uba rampe untuk nanti malam. Malam ini tepat empat puluh hari meninggalnya ayah. Namun kang Ratno bilang bahwa selesai acara matang puluh nanti akan diadakan acara khusus.