Sering merasa kalau orang lain tidak paham dengan apa yang kita rasakan? Kayak ketika kita punya pendapat soal sesuatu, tapi orang lain malah tidak sependapat, dan dalam hati kita langsung mikir, "Kok dia nggak ngerti, sih?" Atau pas kita lagi ngerasa hari kita berat banget, tapi orang lain tetap santai aja, kemudian kita berpikir mereka tidak peka. Â
Kalau iya, selamat datang di egosentris bias - sebuah kecenderungan manusia untuk melihat dunia dari perspektifnya sendiri tanpa benar-benar mempertimbangkan sudut pandang orang lain. Ini bukan sesuatu yang langka, malah cukup universal.
Menurut psikolog Daniel Kahneman (2011) dalam bukunya Thinking, Fast and Slow, manusia sering terjebak dalam bias kognitif yang membuat mereka lebih percaya pada penilaian subjektifnya sendiri dibanding memahami perspektif orang lain.
Fenomena ini menyebabkan seseorang merasa bahwa sudut pandangnya lebih benar, meskipun tidak selalu berdasar pada realitas yang objektif.
Masalahnya, jika dibiarkan, bias ini bisa bikin kita jadi orang yang kurang peka, gampang menyalahkan, dan sulit menerima perbedaan. Kita cenderung menganggap perspektif kita sebagai satu-satunya kebenaran, sehingga sulit memahami bahwa orang lain punya pengalaman, nilai, dan pemikiran yang berbeda.
Ada momen dimana ketika kamu yakin banget kalau pendapatmu paling masuk akal? Contoh nih, kamu pikir kerja kantoran itu membosankan dan tidak cocok buat jiwa bebas kayak kamu.
Lalu ada temanmu yang justru menikmati kerja di kantor dan menganggap itu sebagai zona nyamannya. Bukannya menerima bahwa setiap orang punya preferensi sendiri, otakmu langsung menyimpulkan, "Mungkin dia belum sadar kalau ada cara hidup yang lebih baik."
Atau skenario lain, kamu curhat tentang betapa beratnya skripsi, tapi temanmu justru membalas dengan, "Ah, aku juga dulu ngerasain yang lebih parah." Rasanya tidak didengar, kan? Sejatinya, mungkin dia cuma ingin berbagi pengalaman, tapi tanpa sadar, dia juga sedang terjebak dalam egosentris biasnya sendiri. Â
Ini yang sering kita lupakan, setiap orang punya dunianya masing-masing. Apa yang buat kita masuk akal, bisa jadi buat orang lain tidak relevan sama sekali. Apa yang buat kita berat, mungkin buat orang lain cuma hal sepele. Dan itu wajar. Â
Media Sosial Dan Egosentris Bias
Di era digital, bias ini semakin menjadi. Kadang-kadang kesel lihat seseorang di media sosial yang punya pendapat bertolak belakang sama kamu? Misal, kamu menganggap traveling adalah cara terbaik menikmati hidup, sementara ada orang yang lebih suka menghabiskan waktu di rumah.
Tanpa sadar, kita merasa gaya hidup kita lebih "benar" dan mempertanyakan kenapa orang lain tidak berpikir sama seperti kita. Â
Algoritma media sosial juga memperparah bias ini. Kita lebih sering melihat konten yang sesuai dengan pandangan kita, bikin kita makin yakin kalau sudut pandang kita adalah yang paling valid.Â
Begitu nemu opini yang berbeda, respons otomatis kita bisa jadi defensif, bahkan langsung nge-judge orang yang punya perspektif lain sebagai kurang wawasan atau salah paham. Â
Kenyataannya, kalau kita berhenti sejenak dan mencoba memahami, bisa jadi kita akan sadar bahwa perbedaan itu bukan soal siapa yang lebih benar, tapi soal bagaimana latar belakang dan pengalaman hidup membentuk cara berpikir seseorang. Â
Kenapa Kita Cenderung Egosentris?
Jawabannya sederhana, karena otak kita memang didesain untuk itu. Dari kecil, kita tumbuh dengan melihat dunia hanya dari pengalaman kita sendiri. Kita belajar memahami sesuatu dari apa yang kita alami duluan.
Jean Piaget (1998) dalam The Child's Conception of the World menjelaskan bahwa anak-anak secara alami mengalami fase egosentris dalam perkembangan kognitifnya.
Mereka menganggap bahwa perspektif mereka adalah satu-satunya yang ada, dan butuh waktu serta pengalaman sosial untuk menyadari bahwa orang lain memiliki pandangan yang berbeda.
Bahkan saat kita tumbuh dewasa, sisa-sisa pola pikir ini masih bertahan hanya saja dalam bentuk yang lebih halus dan kompleks. Otak kita juga bekerja dengan cara yang mengutamakan efisiensi.
Bukannya terus-menerus mempertanyakan apakah perspektif kita benar atau apakah ada sudut pandang lain yang lebih masuk akal, kita lebih cenderung menerima pengalaman dan keyakinan pribadi sebagai standar kebenaran. Ini adalah mekanisme bertahan hidup yang memungkinkan kita membuat keputusan cepat.
Kalau kita terbiasa hidup di lingkungan yang menilai pendidikan tinggi itu penting, kita mungkin sulit memahami orang yang memilih jalur karier tanpa kuliah. Kalau kita selalu dikelilingi orang yang berpikir logis, mungkin kita bakal kesulitan memahami mereka yang lebih mengandalkan intuisi dalam mengambil keputusan. Â
Egosentris bias ini bukan sesuatu yang harus dihilangkan sepenuhnya karena jujur aja, itu hampir tidak mungkin. Tapi kita bisa belajar untuk mengendalikannya. Â
Cara Melepaskan Diri dari Egosentris Bias
Pertama, mulai dari kesadaran diri. Sadar tidak sih kalau kita sering kali langsung nge-judge sebelum benar-benar memahami? Mulai sekarang, coba tanya ke diri sendiri, "Apa mungkin aku melihat ini cuma dari sudut pandangku sendiri?"
Kedua, dengerin bukan cuma menunggu giliran bicara. Pas ngobrol sama orang, coba lebih banyak dengerin. Jangan buru-buru membandingkan dengan pengalaman sendiri atau membalas dengan opini pribadi. Dengerin sampai habis, coba pahami sudut pandang mereka. Â
Ketiga, jangan cuma konsumsi hal yang sepemikiran. Coba keluar dari bubble media sosial yang isinya cuma opini yang selaras sama pemikiranmu. Bacalah perspektif yang berbeda, tonton video dari sudut pandang lain, dan pelajari kenapa orang bisa punya pandangan yang berbeda dari kamu. Â
Keempat, latihan empati sehari-hari. Saat menghadapi orang yang punya pendapat atau reaksi yang beda dari kamu, coba tanya ke diri sendiri, "Kalau aku ada di posisi dia, mungkin aku bakal berpikir sama kayak dia?"Â Sering kali, kita tidak benar-benar tahu apa yang terjadi di balik kehidupan seseorang. Â
Terakhir, terima bahwa dunia ini tidak hitam-putih. Tidak semua hal ada jawabannya yang mutlak benar atau salah. Kadang, sesuatu bisa benar dari perspektif yang berbeda. Dan menerima itu adalah langkah awal untuk jadi pribadi yang lebih terbuka. Â
Dunia Itu Luas, Jangan Hanya Lihat dari Satu Sisi
Egosentris bias itu manusiawi. Kita semua pasti pernah terjebak di dalamnya. Tapi yang bikin perbedaan adalah apakah kita membiarkannya menguasai cara berpikir kita, atau kita berusaha untuk lebih terbuka terhadap perspektif lain. Â
Perlu diingat! dunia ini tidak berputar di sekitar kita. Dan semakin kita bisa memahami sudut pandang orang lain, semakin kaya cara kita melihat kehidupan.
Referensi
- Kahneman, D. (2011). Thinking, fast and slow. Farrar, Straus and Giroux.
- Piaget, J. (1998). The child's conception of the world. London: Routledger. https://doi.org/10.4324/9781315006215
Pena Narr, Belajar Mencoret...
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI