Kalau dipikir-pikir, kenapa ya kita sering lebih sabar sama teman dibanding keluarga sendiri? Ketika teman datang curhat soal masalah yang sama berulang kali, kita mendengar dengan sabar dan bahkan kasih saran.
Tapi, giliran keluarga di rumah ngomong sesuatu yang mengganggu suasana hati, tiba-tiba rasanya pengen ngomel. Capek rasanya kalau habis ada masalah di luar, terus sampai rumah malah ditambah obrolan yang nyerempet konflik.
Ada banyak orang yang merasa hal ini terjadi. Padahal, secara logis, keluarga adalah tempat yang seharusnya paling nyaman, tapi malah sering jadi tempat pelampiasan.
Ekspektasi yang Keliru “Keluarga Pasti Paham”
Salah satu alasan utamanya adalah ekspektasi. Kita sering menganggap keluarga harus memahami apa yang kita rasakan tanpa perlu dijelaskan. Contohnya, saat kita lelah setelah seharian bekerja atau kuliah, ada harapan bahwa anggota keluarga langsung tahu dan memberi kita ruang tanpa harus banyak bertanya.
Kita mikir, "Ah, nggak apa-apa, mereka pasti ngerti kok," atau "Mereka nggak bakal ninggalin aku." Nah, ketika ekspektasi ini tidak terpenuhi, maka kita merasa frustrasi.
Dari perspektif psikologi, fenomena ini disebut sebagai emotional dumping. Michael Ungar, dalam bukunya Change Your World: The Science of Resilience and the True Path to Success (2019), menjelaskan bahwa kita cenderung melampiaskan emosi negatif kepada orang-orang yang kita anggap aman dan tidak akan meninggalkan kita, meskipun perilaku kita menyakitkan.
Nah, keluarga sering jadi “sasaran empuk” karena kita tahu mereka akan tetap ada, meskipun kita sedang tidak dalam kondisi terbaik.
Sementara itu, ke teman, kita cenderung lebih menahan diri. Kenapa? Karena kita takut kalau mereka bakal menjauh seiring dianggap terlalu emosional atau nggak asyik. Jadi, tanpa sadar kita memasang “topeng kesabaran” biar hubungan sama teman tetap baik-baik saja.
Tempat Paling Dekat, tapi Kadang Paling Terabaikan
Keluarga itu unik. Mereka adalah orang yang paling sering ketemu sama kita setiap hari. Sayangnya, karena terlalu sering bertemu, kita jadi terbiasa. Kebiasaan ini kadang membuat kita lupa untuk menghargai mereka. Kita lupa bilang "makasih" untuk hal-hal kecil yang mereka lakukan, dan malah fokus ke hal-hal yang bikin kita tidak nyaman.
Misalnya, ibu yang bertanya soal pekerjaan atau kuliah mungkin hanya ingin tahu kabar kita. Tapi kita merasa itu mengganggu, karena dalam pikiran kita, "Dia pasti udah tahu aku capek, kenapa masih nanya-nanya?" Padahal, mungkin itulah cara mereka menunjukkan perhatian.
Sebaliknya, kalau teman nanya hal yang sama, kita lebih sabar karena kita tidak punya ekspektasi bahwa mereka "harus" tahu kita sedang capek.
Pola Komunikasi dalam Keluarga
Komunikasi dalam keluarga seringkali menjadi akar masalah. Dalam banyak kasus, kita terbiasa berbicara tanpa filter dengan keluarga karena merasa nyaman. Tetapi, kebiasaan ini bisa membuat konflik kecil menjadi lebih besar. Pola ini terbentuk sejak lama, dan jika tidak disadari, akan terus berlanjut.
Coba kita jujur, gimana pola komunikasi kita sama keluarga? Apakah kita sering mendengarkan mereka, atau justru lebih sering memotong pembicaraan? Kadang, tanpa sadar, kita menganggap obrolan dengan keluarga itu tidak sepenting obrolan dengan teman.
John Gottman, dalam bukunya The Seven Principles for Making Marriage Work (1999), menyebutkan bahwa kualitas komunikasi di dalam keluarga sangat memengaruhi kedekatan emosional. Ketika kita sering mengabaikan atau meremehkan komunikasi dengan keluarga, jarak emosional bisa terbentuk. Inilah yang kadang bikin kita lebih “gampang kesal" ke mereka.
Solusinya? Mulai biasakan mendengar tanpa menyela. Coba praktikkan kesabaran yang sama seperti saat mendengar cerita teman. Mungkin memang tidak mudah di awal, tapi pelan-pelan, kamu akan merasa lebih nyaman.
Energi Emosional yang Terkuras
Stres dan kelelahan juga menjadi faktor besar. Setelah beraktivitas seharian di luar rumah, energi emosional kita sering kali habis. Begitu sampai rumah, kita merasa “nggak punya tenaga” untuk bersikap sabar. Dalam kondisi seperti ini, hal-hal kecil di rumah bisa memicu ledakan emosi.
Penelitian yang dipublikasikan di Journal of child and family studies (2014) menemukan bahwa tingkat stres seseorang memengaruhi cara mereka berinteraksi dengan anggota keluarga. Ketika seseorang merasa stres, toleransi mereka terhadap konflik kecil menjadi lebih rendah. Dengan teman, situasinya berbeda karena interaksi biasanya terjadi di lingkungan yang lebih terkontrol dan waktu yang lebih singkat.
Jadi, apa yang bisa kita lakukan?
Pertama, sadari bahwa keluarga adalah orang yang penting dalam hidup kita. Mereka adalah orang yang akan tetap ada meskipun dunia luar terasa sulit.
Kedua, coba buat batasan emosional. Kalau kamu merasa capek setelah seharian beraktivitas, jangan langsung memaksakan diri untuk ngobrol panjang lebar. Beri waktu sejenak untuk menenangkan diri sebelum berinteraksi dengan keluarga.
Ketiga, perbaiki pola komunikasi. Mulai dengan hal sederhana seperti menyapa mereka dengan hangat, mendengarkan cerita mereka, atau bahkan sekadar bertanya, “Hari ini gimana?”
Terakhir, kurangi ekspektasi yang terlalu tinggi. Keluarga adalah manusia biasa yang juga punya batas kesabaran. Jangan selalu berpikir mereka harus memahami kamu, karena hubungan yang sehat itu melibatkan dua arah.
Semua tentang Pilihan
Di akhir hari, semuanya kembali ke pilihan kita. Apakah kita mau terus menerus menjadikan keluarga sebagai “sasaran” emosi negatif, atau mencoba menjadi versi terbaik dari diri kita juga untuk mereka?
Ingat, hubungan dengan keluarga itu investasi jangka panjang. Apa yang kita tanam sekarang akan kita petik di masa depan. Kalau kita mulai menanam benih kesabaran dan pengertian, hubungan dengan keluarga akan jadi lebih harmonis.
Sebaliknya, kalau kita terus membiarkan konflik kecil berkembang tanpa penyelesaian, hubungan itu bisa perlahan memudar. Jadi, sebelum terlambat, yuk sama-sama belajar untuk lebih sabar ke keluarga. Bagaimanapun juga, mereka adalah “rumah” kita yang sebenarnya.
Seperti kata Michael Ungar, “Keluarga adalah tempat kita belajar mencintai dengan segala ketidaksempurnaan.” Jadi, mari belajar mencintai mereka, sama seperti kita ingin dicintai.
Referensi
- Gottman, J. M. (1999). The Seven Principles for Making Marriage Work. New York: Harmony Books.
- Ungar, M. (2019). Change Your World: The Science of Resilience and the True Path to Success. Toronto: Sutherland House Books.
- Sheidow, A. J., Henry, D. B., Tolan, P. H., & Strachan, M. K. (2014). The Role of Stress Exposure and Family Functioning in Internalizing Outcomes of Urban Families. Journal of child and family studies, 23(8), 1351–1365. https://doi.org/10.1007/s10826-013-9793-3
Pena Narr, Belajar Mencoret...
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI