Januari selalu menjadi bulan yang dinanti-nanti oleh banyak calon penerima beasiswa, seiring dengan dibukanya pendaftaran batch 1 LPDP. Setiap kali kesempatan ini datang, diskusi mengenai persyaratan jalur reguler dan jalur prasejahtera kembali mencuat sebagai topik hangat.Â
Meskipun LPDP menawarkan berbagai program, perbedaan kedua jalur ini selalu memicu perbincangan seru di kalangan para calon penerima beasiswa, yang berlomba-lomba untuk mempersiapkan diri sebaik mungkin dalam meraih peluang tersebut.
Salah satu pertanyaan yang sering muncul adalah, "Kenapa jalur reguler harus punya sertifikat bahasa Inggris, sementara jalur prasejahtera tidak wajib?" atau "Kenapa passing grade-nya berbeda, padahal sama-sama bertujuan untuk studi lanjut?"
Kebijakan ini sering menimbulkan kebingungan, terutama bagi mereka yang baru pertama kali mendaftar. Yuk, kita coba pahami alasan di balik perbedaan tersebut!
Memahami Tujuan Berbeda dari Dua Jalur
Pertama-tama, penting buat kita pahami bahwa jalur reguler dan prasejahtera itu punya tujuan yang sedikit berbeda. Jalur reguler ditujukan buat siapa saja, tanpa memandang latar belakang ekonomi. Artinya, siapapun bisa daftar, asalkan memenuhi semua persyaratan, termasuk sertifikat bahasa Inggris seperti TOEFL atau IELTS. Â
Sementara itu, jalur prasejahtera atau afirmasi punya fokus lain. Jalur ini dibuat khusus untuk teman-teman yang berasal dari keluarga dengan ekonomi menengah ke bawah, daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar), atau kelompok dengan keterbatasan akses pendidikan. Â
Nah, karena tujuan ini beda, persyaratannya juga otomatis menyesuaikan. Sertifikat bahasa Inggris, misalnya, bisa jadi hambatan besar buat peserta dari jalur prasejahtera. Kok bisa? Bayangkan saja, biaya tes TOEFL ITP itu bisa sampai Rp.500.000 an, belum termasuk kursus persiapannya. Buat teman-teman dari keluarga prasejahtera, ini bukan angka yang kecil. Â
Kenapa Harus Ada Sertifikat Bahasa Inggris di Jalur Reguler?
Sertifikat bahasa Inggris itu biasanya jadi salah satu indikator kemampuan akademik di tingkat internasional. Soalnya, sebagian besar program studi terutama yang berbahasa Inggris - menuntut kemampuan ini. Selain itu, sertifikat seperti TOEFL atau IELTS juga menunjukkan kesiapan peserta untuk bersaing secara global. Â
Tapi tenang, ini bukan berarti jalur prasejahtera tidak perlu belajar bahasa Inggris. Mereka tetap mendapat pelatihan intensif setelah lolos beasiswa. Jadi, perbedaannya cuma di waktu persiapannya saja. Jalur reguler harus siap dari awal, sedangkan jalur prasejahtera disiapkan setelah mereka diterima. Â
Soal Passing Grade, Beda Itu Bukan Diskriminasi
Komentar lain yang sering muncul adalah soal passing grade. Banyak yang bilang, "Kenapa passing grade reguler lebih tinggi? Bukannya kita sama-sama belajar?" Â
Nah, passing grade yang berbeda ini sebenarnya mencerminkan pendekatan berbasis keadilan. Peserta jalur reguler biasanya punya latar belakang pendidikan dan akses yang lebih baik, sementara peserta prasejahtera seringkali berasal dari kondisi yang kurang mendukung. Kalau standar kelulusannya disamakan, siapa yang lebih mungkin lolos? Â
Berdasarkan Indeks Pembangunan Pendidikan (IPP) di daerah tertinggal pada tahun 2020 menunjukkan nilai yang lebih rendah dibandingkan dengan daerah non-tertinggal, mencerminkan kualitas pendidikan yang lebih rendah di wilayah tersebut.Â
Bahkan, banyak dari mereka yang belum pernah belajar bahasa Inggris secara formal. Kalau standar passing grade-nya terlalu tinggi, peluang mereka untuk mendapat beasiswa jadi semakin kecil. Â
Jadi, passing grade yang lebih rendah untuk jalur prasejahtera bukan berarti LPDP menurunkan standar kualitas. Ini lebih kepada upaya memberikan kesempatan yang adil sesuai dengan latar belakang masing-masing. Â
Contoh Komentar yang Muncul di Instagram
Komentar seperti ini menunjukkan ada ketidakpahaman soal konsep equity (keadilan berbasis kebutuhan) dibandingkan dengan equality (persamaan). LPDP mencoba menciptakan peluang yang lebih setara dengan menyesuaikan kebutuhan tiap jalur.
Jadi, bukan soal "dimudahkan", tapi soal memberikan ruang agar mereka yang aksesnya lebih terbatas juga bisa ikut berkembang. Â
Apa yang Bisa Kita Pelajari dari Perbedaan Ini?
Sebagai orang yang berpendidikan, kita tentu paham kalau dunia ini tidak selalu berjalan dengan prinsip "sama rata, sama rasa." Ada kondisi tertentu di mana kita harus menerapkan keadilan berbasis kebutuhan. Kalau semua diberi syarat yang sama tanpa melihat latar belakang mereka, yang terjadi justru ketimpangan makin parah. Â
Coba deh kita pikirkan dari sudut pandang teman-teman di jalur prasejahtera. Mereka harus berjuang lebih keras buat mengejar ketertinggalan, baik dari segi pendidikan, fasilitas, maupun kemampuan bahasa. Kalau mereka diberi syarat yang sama dengan peserta jalur reguler, apa mereka punya kesempatan yang sama besar buat lolos? Â
Sebaliknya, buat teman-teman di jalur reguler, kebijakan ini bisa jadi pengingat kalau akses yang kita punya itu adalah sebuah privilege. Mungkin kita tidak merasa, tapi kesempatan buat belajar di tempat yang mendukung, ikut kursus, atau bahkan mendaftar tes bahasa Inggris itu adalah hal yang tidak semua orang bisa nikmati. Â
Apa yang Bisa Dilakukan?
Kalau kamu masih merasa kebijakan ini "tidak adil", yuk coba ubah sudut pandangmu jadi lebih konstruktif. Misalnya: Â
- Belajar untuk memahami perspektif lain. Tidak semua orang punya akses yang sama dengan kita. Kebijakan LPDP ini adalah salah satu cara untuk menjembatani kesenjangan tersebut. Â
- Dukung teman-teman jalur prasejahtera.Kalau kamu kenal seseorang yang lolos jalur ini, beri mereka semangat dan dukungan. Ingat, perjuangan mereka tidak kalah berat dengan kita. Â
- Gunakan kesempatan dengan bijak. Kalau kamu lolos jalur reguler, jadikan itu motivasi buat terus memberikan yang terbaik. Jangan cuma berhenti di "lolos beasiswa." Â
Semua Punya Tantangan Masing-Masing
Entah itu jalur reguler dan prasejahtera bukan soal siapa yang lebih unggul atau lebih beruntung. Keduanya punya tantangan masing-masing yang tidak bisa dibandingkan begitu saja. Â
Kita sebagai orang yang berpendidikan bisa memilih untuk melihat kebijakan ini dari sisi positifnya bahwa LPDP sedang berusaha menciptakan generasi yang berkualitas dengan memberikan kesempatan bagi semua kalangan.
Dan daripada terus mengeluh soal perbedaan persyaratan, kenapa tidak kita jadikan momen ini untuk belajar lebih banyak tentang konsep keadilan? Â
Jadi, buat yang masih bertanya-tanya soal perbedaan ini, coba lihat dari sisi lain. Kalau kita bisa saling memahami, barangkali, kita bisa jadi bagian dari generasi yang tidak cuma pintar akademik, tapi juga peduli sama kesetaraan akses pendidikan di Indonesia.
Pena Narr, Belajar Mencoret...
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI