Komentar lain yang sering muncul adalah soal passing grade. Banyak yang bilang, "Kenapa passing grade reguler lebih tinggi? Bukannya kita sama-sama belajar?" Â
Nah, passing grade yang berbeda ini sebenarnya mencerminkan pendekatan berbasis keadilan. Peserta jalur reguler biasanya punya latar belakang pendidikan dan akses yang lebih baik, sementara peserta prasejahtera seringkali berasal dari kondisi yang kurang mendukung. Kalau standar kelulusannya disamakan, siapa yang lebih mungkin lolos? Â
Berdasarkan Indeks Pembangunan Pendidikan (IPP) di daerah tertinggal pada tahun 2020 menunjukkan nilai yang lebih rendah dibandingkan dengan daerah non-tertinggal, mencerminkan kualitas pendidikan yang lebih rendah di wilayah tersebut.Â
Bahkan, banyak dari mereka yang belum pernah belajar bahasa Inggris secara formal. Kalau standar passing grade-nya terlalu tinggi, peluang mereka untuk mendapat beasiswa jadi semakin kecil. Â
Jadi, passing grade yang lebih rendah untuk jalur prasejahtera bukan berarti LPDP menurunkan standar kualitas. Ini lebih kepada upaya memberikan kesempatan yang adil sesuai dengan latar belakang masing-masing. Â
Contoh Komentar yang Muncul di Instagram
Komentar seperti ini menunjukkan ada ketidakpahaman soal konsep equity (keadilan berbasis kebutuhan) dibandingkan dengan equality (persamaan). LPDP mencoba menciptakan peluang yang lebih setara dengan menyesuaikan kebutuhan tiap jalur.
Jadi, bukan soal "dimudahkan", tapi soal memberikan ruang agar mereka yang aksesnya lebih terbatas juga bisa ikut berkembang. Â
Apa yang Bisa Kita Pelajari dari Perbedaan Ini?
Sebagai orang yang berpendidikan, kita tentu paham kalau dunia ini tidak selalu berjalan dengan prinsip "sama rata, sama rasa." Ada kondisi tertentu di mana kita harus menerapkan keadilan berbasis kebutuhan. Kalau semua diberi syarat yang sama tanpa melihat latar belakang mereka, yang terjadi justru ketimpangan makin parah. Â
Coba deh kita pikirkan dari sudut pandang teman-teman di jalur prasejahtera. Mereka harus berjuang lebih keras buat mengejar ketertinggalan, baik dari segi pendidikan, fasilitas, maupun kemampuan bahasa. Kalau mereka diberi syarat yang sama dengan peserta jalur reguler, apa mereka punya kesempatan yang sama besar buat lolos? Â
Sebaliknya, buat teman-teman di jalur reguler, kebijakan ini bisa jadi pengingat kalau akses yang kita punya itu adalah sebuah privilege. Mungkin kita tidak merasa, tapi kesempatan buat belajar di tempat yang mendukung, ikut kursus, atau bahkan mendaftar tes bahasa Inggris itu adalah hal yang tidak semua orang bisa nikmati. Â