Mohon tunggu...
Narul Hasyim Muzadi
Narul Hasyim Muzadi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Language education

Belajar mencoret

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Titik Abstrak Moralitas yang Berpura-pura

5 Januari 2025   03:02 Diperbarui: 5 Januari 2025   03:09 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi moral | Image by T3lusur.com

"Saya tidak akan bilang moralitas adalah fatamorgana indah, tidak, tapi izinkan saya bilang: moralitas sejatinya hanyalah salah satu omong kosong yang bisa dijual dalam bisnis politik. Temukan rumusnya dengan tepat, temukan resepnya dengan pas, maka itu bisa jadi senjata yang efektif memenangi sebuah kompetisi politik."

Begitulah kata Thomas dalam  Negeri di Ujung Tanduk (2013) karya Tere Liye. Sebuah kalimat yang  cukup nyelekit. Mungkin kesannya sinis, tapi coba pikir, ada benarnya juga, kan? Moralitas sering kali bukan lagi soal benar atau salah, tapi soal bagaimana itu dikemas.  

Moralitas sering dibicarakan dengan penuh semangat di ruang-ruang diskusi, mimbar publik, hingga meja makan keluarga. Tapi, kenyataannya, moralitas tidak sesederhana teori yang sering kita dengar.

Kita hidup di dunia yang serba kompleks. Orang bisa berbicara panjang soal moralitas (soal kejujuran, kesetaraan, atau kasih sayang). Tapi, apa yang terlihat belum tentu yang sebenarnya.

Kalau kata Fyodor Dostoevsky dalam Crime and Punishment (1866), "Man is a mystery. It needs to be unraveled, and if you spend your whole life solving it, you still won't get to the bottom of it."

Artinya: "Manusia adalah misteri. Itu perlu dipecahkan, dan jika kamu menghabiskan seluruh hidupmu untuk menyelesaikannya, kamu tetap tidak akan sampai pada dasarnya."

Kadang, tindakan yang tampak baik ternyata punya agenda tersembunyi, atau malah dilakukan karena tekanan, bukan karena niat yang murni.

Mari kita jujur, seberapa sering kita menilai orang lain dari tindakan moral yang terlihat di luar? Ketika seseorang menyumbang dalam jumlah besar, apakah kita menganggap mereka benar-benar baik hati? Atau ketika seseorang membagikan video amal di media sosial, apakah itu murni niat mulia?

Kata Aldous Huxley dalam Brave New World (1932), "Morality is the luxury of those who are not under the necessity of surviving." 

Artinya: "Moralitas adalah kemewahan yang hanya dimiliki mereka yang tidak berada di bawah tekanan untuk bertahan hidup."   

Kenyataannya, moralitas sering menjadi topeng yang kita pakai untuk memenuhi ekspektasi sosial. Di satu sisi, moralitas adalah alat untuk menjaga harmoni. Di sisi lain, ia juga bisa menjadi senjata untuk menghakimi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun