Mohon tunggu...
Narul Hasyim Muzadi
Narul Hasyim Muzadi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Language education

Belajar mencoret

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Saat Kebenaran Menjadi Relatif, Siapa yang Menentukan Standar?

3 Januari 2025   13:23 Diperbarui: 3 Januari 2025   13:23 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika seseorang berkata, "Yah, semua itu kan relatif," sekilas terdengar bijak. Kalimat ini sering muncul di tengah diskusi yang buntu, seolah menjadi solusi pamungkas untuk meredam perdebatan. Tapi, coba pikirkan lagi, apakah benar semua hal itu relatif? Jika iya, siapa yang berhak menentukan mana yang benar dan salah?  

Mari kita bahas lebih santai, anggap saja sedang berdiskusi ringan...

Pahami, Apa Itu Relatif?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata "relatif" berarti bergantung pada sesuatu yang lain untuk menentukan keberadaannya atau kebenarannya (KBBI Daring, 2023). Dengan kata lain, sesuatu yang relatif tidak memiliki kebenaran mutlak, melainkan bergantung pada konteks atau perspektif.  

Konsep ini sejalan dengan pandangan Ahmad Syafii Maarif dalam bukunya Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan (2009). Ia menyebutkan bahwa relativisme sering muncul sebagai respons atas keberagaman pemahaman di dunia. Tapi, ia juga mengingatkan bahwa relativisme tidak boleh dijadikan alasan untuk mengabaikan nilai-nilai universal seperti keadilan dan kemanusiaan.  

Jika kita pahami, relativisme sebenarnya adalah pisau bermata dua. Di satu sisi, mengajarkan toleransi terhadap perbedaan. Tapi di sisi lain, jika diterapkan tanpa batas, bisa menjadi dalih untuk membenarkan tindakan yang melanggar etika.  

Relatif Bukan Berarti Tanpa Batas

Relativisme, pada dasarnya mengajarkan bahwa kebenaran bergantung pada sudut pandang. Ini penting, terutama ketika kita hidup di dunia yang penuh perbedaan budaya, keyakinan, dan nilai. Tapi, jika semua dianggap relatif, bagaimana kita bisa menentukan tindakan yang etis atau keputusan yang benar?  

Misalnya, ada budaya tertentu yang menganggap diskriminasi berbasis gender adalah hal biasa. Jika kita hanya berkata, "Itu kan norma mereka," apakah berarti kita harus diam? Di sinilah letak masalahnya, relativisme tanpa batas justru membuka pintu bagi ketidakadilan.  

Contoh lain, bayangkan ini (pemisalan semata) sebuah situasi di mana seorang pejabat korup mengatakan bahwa tindakannya "relatif," karena menurutnya ia hanya mengambil hak yang ia rasa layak didapatkan. Apakah kita akan membiarkannya begitu saja? Relativisme yang tidak dikontrol justru bisa merusak tatanan sosial.

Apa Kata Para Pemikir?

Immanuel Kant, seorang filsuf terkenal dari Jerman, punya pandangan menarik soal ini. Dalam bukunya Groundwork of the Metaphysics of Morals (1997), Kant memperkenalkan konsep imperatif kategoris. Ia berargumen bahwa tindakan kita harus didasarkan pada prinsip yang bisa diterima secara universal.  

Bahasanya mungkin terdengar rumit, tapi intinya begini, sebelum kita bertindak, tanyakan dulu, "Apakah tindakan ini bisa diterapkan untuk semua orang tanpa merugikan siapa pun?" Jika jawabannya "tidak," maka tindakan itu salah.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun