Mohon tunggu...
Narul Hasyim Muzadi
Narul Hasyim Muzadi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Language education

Belajar mencoret

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Logika di Balik Keputusan, Yakin Kita Benar-Benar Rasional?

2 Januari 2025   16:49 Diperbarui: 2 Januari 2025   16:49 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi daerah tertentu di otak manusia tempat sistem yang berkaitan dengan emosi/perasaan | Image by Descartes' Error Books

Saat membuat keputusan, kita sering merasa yakin bahwa kita bertindak rasional. Apakah benar begitu? Tapi, kenyataannya, keputusan kita sering kali dipengaruhi oleh faktor-faktor yang lebih kompleks dan tidak selalu terlihat.

Daniel Kahneman, seorang ahli psikologi pemenang Nobel, dalam bukunya Thinking, Fast and Slow (2011), menjelaskan bahwa kita sering kali berpikir kita mengambil keputusan secara rasional, padahal banyak keputusan yang dipengaruhi oleh intuisi (cara berpikir cepat yang berdasarkan pengalaman dan perasaan). 

Sehingga, meskipun kita merasa yakin dengan pilihan kita, kadang kita tidak menyadari bahwa kita dipengaruhi oleh banyak hal yang berada di luar kendali kita.

Kahneman membagi cara kita berpikir menjadi dua sistem: sistem cepat (intuitif) dan sistem lambat (rasional). Sistem cepat kita adalah cara berpikir otomatis yang muncul tanpa kita pikirkan lebih dalam. Misalnya, ketika kita melihat sebuah objek atau situasi, kita langsung merasa yakin akan sesuatu tanpa perlu berpikir panjang.

Sementara sistem lambat lebih mendalam, di mana kita menganalisis dan mempertimbangkan berbagai kemungkinan. Tapi, yang lebih sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari adalah sistem cepat kita. Kebanyakan keputusan kita, bahkan yang cukup besar, dibuat dalam hitungan detik atau menit, tanpa pertimbangan rasional yang mendalam.

Ketika kita memilih sebuah produk di rak, memilih rute perjalanan, atau bahkan menjawab pertanyaan dalam percakapan, kita menggunakan sistem cepat kita, yang sering kali lebih terpengaruh oleh persepsi dan intuisi daripada logika yang benar-benar matang.

Selain itu, bias juga memainkan peran besar dalam keputusan kita. Bias adalah kecenderungan berpikir yang bisa mengarah pada kesalahan penilaian. Misalnya, anchoring bias (bias jangkar) adalah fenomena di mana kita terlalu terpengaruh oleh informasi awal yang kita terima.

Misalnya, saat kita membeli barang yang harganya diskon, kita sering kali merasa itu adalah penawaran yang sangat baik meskipun harga barang tersebut sebenarnya tidak sebanding dengan kualitasnya. Jika harga asli yang dipajang lebih tinggi, diskon tersebut tampak sangat menguntungkan.

Meskipun mungkin kita tahu bahwa itu bukan pilihan terbaik, tetapi harga awal yang tinggi membuat kita merasa mendapatkan sesuatu yang bernilai lebih. Kahneman menjelaskan bahwa kita sering kali merasa bahwa kita membuat keputusan yang rasional, padahal kita sering dipengaruhi oleh bias semacam ini yang mengarah pada keputusan yang kurang optimal.

Selain faktor-faktor internal seperti bias, emosi juga memiliki pengaruh besar dalam proses pengambilan keputusan. Banyak orang berpikir bahwa emosi bisa menghalangi keputusan rasional, tetapi menurut Antonio Damasio dalam bukunya Descartes' Error (1994), emosi adalah bagian penting dalam pengambilan keputusan yang efektif.

 

Ilustrasi daerah tertentu di otak manusia tempat sistem yang berkaitan dengan emosi/perasaan | Image by Descartes' Error Books
Ilustrasi daerah tertentu di otak manusia tempat sistem yang berkaitan dengan emosi/perasaan | Image by Descartes' Error Books

Damasio menunjukkan bahwa tanpa emosi, kita bahkan kesulitan untuk membuat pilihan yang sederhana. Emosi kita, seperti takut, cemas, atau senang, sering kali memberi kita petunjuk tentang apa yang harus kita pilih. 

Ketika kita merasa cemas, kita lebih cenderung membuat keputusan yang lebih hati-hati, sedangkan ketika kita merasa optimis atau bahagia, kita mungkin lebih berani mengambil risiko. Damasio berpendapat bahwa otak kita tidak bisa memisahkan logika dari perasaan; keduanya bekerja bersama untuk membantu kita membuat keputusan.

Pengambilan keputusan kita tidak hanya dipengaruhi oleh faktor internal, seperti pikiran dan emosi. Tekanan sosial juga memainkan peran yang besar. Kita sering kali merasa perlu untuk beradaptasi dengan harapan orang lain atau norma sosial agar diterima dalam kelompok.

Misalnya, dalam lingkungan kerja atau komunitas, kita mungkin merasa terpaksa untuk berpura-pura menjadi seseorang yang lebih "ideal" demi mendapatkan pengakuan atau diterima. Dalam banyak kasus, tekanan sosial ini bisa mengarah pada keputusan yang tidak sesuai dengan keinginan atau nilai-nilai kita yang sebenarnya.

Sering kali, kita melibatkan diri dalam perilaku yang kita anggap diterima oleh kelompok, meskipun itu bukan pilihan terbaik bagi kita secara pribadi. Misalnya, seorang remaja yang mungkin merasa harus mengikuti tren tertentu untuk bisa diterima di kalangan teman-temannya, meskipun dia tahu itu bukan pilihan yang bijak atau sesuai dengan nilai pribadinya.

Dalam banyak situasi, kita juga merasa bahwa keputusan kita harus didasarkan pada rasionalitas murni. Kita ingin percaya bahwa kita adalah individu yang rasional dan logis dalam setiap tindakan kita. Tapi, kenyataannya adalah meskipun kita bisa menggunakan logika dalam beberapa hal, banyak keputusan kita yang didorong oleh faktor yang lebih kompleks dan tak terduga.

Bahkan keputusan besar dalam hidup, seperti memilih karier atau pasangan hidup, sering kali dipengaruhi oleh intuisi, perasaan, atau pengaruh orang lain. Memahami bahwa pengambilan keputusan kita tidak hanya tentang logika, tetapi juga tentang bagaimana kita merespons dunia di sekitar kita, bisa membuat kita lebih sadar dalam memilih langkah hidup.

Meskipun kita selalu berusaha untuk membuat keputusan rasional, kita sering kali terjebak dalam perangkap bias, emosi, dan tekanan sosial. Kesadaran akan hal ini dapat membantu kita lebih bijaksana dalam menghadapinya.

Jika kita menyadari bagaimana otak kita bekerja dan faktor-faktor apa saja yang memengaruhi keputusan kita, kita dapat membuat pilihan yang lebih baik dan lebih sadar. Kita tidak perlu merasa terjebak dalam ilusi bahwa setiap keputusan harus rasional. Sebaliknya, dengan memahami bahwa logika, emosi, dan norma sosial bekerja bersama, kita bisa mengambil keputusan yang lebih baik dan lebih manusiawi.

Referensi:

  • Kahneman, D. (2011). Thinking, Fast and Slow. Farrar, Straus and Giroux.  
  • Damasio, A. (1994). Descartes' Error: Emotion, Reason, and the Human Brain. Penguin Books.

Pena Narr, Belajar Mencoret...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun