Lalu beliau melanjutkan dengan nada getir. "Makanya saya kaget, Mas, samean ngajak duduk bareng. Lihat di sekitar sini, mana ada orang yang peduli sama gelandangan tua seperti saya. Tapi samean malah sebaliknya. Ya Allah, Mas Mas..."
Kata-katanya terasa seperti tamparan. Saya hanya menunduk, mencari kalimat yang tepat untuk menjawabnya. "Podo-podo manungsa, Pak,"Â kataku pelan. "Sama-sama manusia."Â
Beliau mengangguk, matanya berbinar. "Benar itu, Mas. Kita ini sama-sama manusia, tapi sayangnya banyak yang lupa. Samean tahu, Mas? Beberapa gang dekat sini, saya diingatkan untuk tidak mengamen di sana. Kalau saya nekat, anak-anak kecil bakal lempari saya pakai batu. Mereka sama sekali tidak menganggap kami ada, Mas."
Ada sepi yang melingkupi percakapan kami. Bukan sepi karena tak ada suara, melainkan sepi yang muncul dari rasa malu. Betapa dunia ini sering kali begitu keras pada orang yang paling tak berdaya.
Beliau melanjutkan dengan mengutip sepotong terjemahan Al-Qur'an dan Bibel. Saya lupa persisnya, tapi maknanya jelas, manusia itu diciptakan untuk saling menghargai. "Pertahankan sikap ini, Mas," katanya akhirnya. "Tidak semua orang punya cara pandang seperti samean."
Untuk menutup obrolan, akhirnya beliau bertanya, "Samean dari mana, Mas?"Â Saya pun menjawab, "Saya dari Flores, Pak."
Beliau melanjutkan, "Mohon maaf, Nasrani atau Muslim?" Saya menjawab, "Alhamdulillah, Muslim."
"Masya Allah, Mas. Iman samean kuat," ucap beliau dengan nada kagum. Makna tersirat, dalam hati saya, ini soal empati agama apapun mengajarkan tentang demikian "kemanusiaan."
Mungkin beliau bertanya tentang agama karena mengingat saya dari Flores, yang notabene mayoritas mahasiswa perantauan di Pulau Jawa berasal dari saudara-saudaraku yang Nasrani (beliau sangat toleransi bahkan sebelum tau agama saya beliau mengutip sepotong terjemahan Al-Qur'an dan Bibel).
Waktu berlalu, pengunjung kafe semakin ramai. Suasana mulai penuh oleh sorak-sorai dan diskusi hangat tentang tim mana yang akan menang. Sementara itu, lelaki tua itu beralih ke meja lain. Sebelum pergi, saya sempat menyelipkan sedikit rezeki ke tangannya. Dia tersenyum lebar, berkali-kali mengucapkan terima kasih.
Tapi ada yang aneh. Setelah percakapan kami, sepertinya orang-orang di sekitar mulai memperhatikan keberadaannya. Mungkin mereka mendengar obrolan kami tadi, atau mungkin mereka tiba-tiba merasa iba. Beberapa pengunjung menyisihkan uang, bahkan ada yang berkali-kali memberinya.