Malam itu, jalan-jalan di kota terasa hidup. Semua orang tampak bergegas, sebagian besar menuju kafe-kafe yang menyediakan layar besar untuk nonton bareng pertandingan bola antara Indonesia dan Jepang.
Saya dan beberapa teman sengaja tiba lebih awal, berharap mendapatkan tempat strategis agar bisa menikmati pertandingan tanpa gangguan. Tidak ada yang istimewa pada awalnya. Riuh rendah suara dari pengunjung lain, aroma kopi yang menyeruak dari dapur, dan tawa-tawa ringan membangun suasana malam itu.
Namun, situasi berubah saat seorang lelaki tua memasuki kafe. Pakaian lusuh, langkah tertatih-tatih, dan wajah yang menyimpan cerita yang tidak akan kita temukan di televisi atau media sosial.
Dia bukan siapa-siapa, hanya seorang pengamen tua yang mencoba bertahan hidup. Di kakinya terlihat bengkak besar, dan setiap langkahnya seperti membawa beban yang tak kasatmata.
Dia mulai berjalan dari meja ke meja, menyanyikan lagu dengan suara serak yang lebih bercerita daripada bernyanyi. Hingga akhirnya, dia tiba di meja kami, berhenti sejenak di depan tiga anak tangga kecil yang harus ia turuni.
"Mohon maaf, Mas," katanya dengan suara serak. "Saya mau ganggu sebentar..."
Saya tidak tahan untuk diam. Sebelum beliau melanjutkan, saya sudah menarik kursi yang berada di samping dan berkata, "Sini duduk, Pak. Mohon maaf, kakinya njenengan kenapa itu?"
Dia tersenyum samar, mungkin antara lega dan bingung. "Loh, Mas," katanya pelan sambil meringis. "Saya ini mau ngamen, kok samean malah suruh duduk? Saya kena asam urat, Mas. Jadi begini keadaannya."Â
Saya mengangguk. "Njenengan dari mana, Pak?" tanya saya pelan, mencoba membuka obrolan.
"Saya ini, Mas, gelandangan. Tidur berpindah-pindah. Cuma bawa ini," katanya sambil menunjuk kresek putih yang diletakkan di meja.