Banyak ahli dan peneliti yang memanfaatkan metode "brainstorming liar" atau "daydreaming" yang memungkinkan pikiran bebas menjelajah tanpa batasan. Pendekatan ini memang tidak menjanjikan hasil instan, tetapi sering kali menjadi ladang subur untuk menumbuhkan gagasan-gagasan segar.
Contoh yang relevan dalam hal ini bisa kita temui dalam berbagai inovasi besar dunia. Misalnya, teori relativitas yang dikemukakan Albert Einstein sebenarnya lahir dari gagasan yang sangat sederhana: bagaimana jika kita bisa "menaiki" cahaya? Pemikiran yang terdengar aneh dan tidak masuk akal ini justru membuka jalan bagi Einstein untuk merumuskan konsep-konsep baru yang mengubah ilmu fisika selamanya.
Â
Jika ia terpaku pada ide-ide yang sesuai dengan pemahaman fisika saat itu, kita mungkin tidak akan pernah memiliki teori relativitas.
Tidak hanya dalam sains, bahkan di dunia seni, musik, dan industri kreatif lainnya, berpikir kacau ini banyak mendatangkan karya-karya monumental. Musisi, seniman, dan desainer sering kali bercerita bahwa karya-karya terbaik mereka lahir saat mereka tidak lagi mengikuti pola-pola atau aturan ketat, tetapi mulai mengikuti naluri atau imajinasi yang sering kali tidak logis.
Kondisi di mana ide-ide bertabrakan dan terkesan acak justru memunculkan kreativitas yang tidak akan lahir jika mereka mengikuti aturan atau pola berpikir yang linear dan terstruktur.
Memang, untuk sebagian orang, kondisi pikiran yang berantakan adalah sesuatu yang mengganggu. Namun, jika kita berpikir lebih dalam, bukankah banyak hal di dunia ini yang diawali dengan kekacauan?
Alam semesta pun, menurut teori ilmiah, dimulai dengan Big Bang, sebuah ledakan maha dahsyat yang kacau tetapi darinya lahir galaksi, bintang, dan akhirnya kehidupan itu sendiri. Kekacauan adalah bagian integral dari proses penciptaan, baik di alam semesta maupun dalam pikiran kita.
Lalu bagaimana kita bisa menjinakkan kekacauan ini? Salah satu caranya adalah dengan mengembangkan rasa ingin tahu dan fleksibilitas dalam berpikir. Dengan rasa ingin tahu, kita tidak sekadar terfokus pada jawaban akhir, tetapi lebih pada proses eksplorasi itu sendiri.
Pertanyaan-pertanyaan baru muncul, menggantikan jawaban-jawaban lama yang sudah kita ketahui. Di sinilah fleksibilitas berpikir menjadi penting, karena ia memungkinkan kita untuk mengganti perspektif, mengubah pendekatan, dan beradaptasi dengan gagasan-gagasan baru.
Hal lain yang tak kalah penting adalah kemampuan untuk "mengarsipkan" kekacauan. Sering kali, kita perlu mencatat ide-ide yang muncul, bahkan yang paling absurd sekalipun, dan membiarkannya mengendap sebelum mengambil kesimpulan.