perundungan, pikiran kita cenderung langsung tertuju pada anak-anak di sekolah yang saling meledek, mengintimidasi, atau bahkan melakukan kekerasan fisik.
Saat kita berbicara tentangNamun, dalam bayang-bayang institusi pendidikan yang seharusnya menjadi tempat pengembangan karakter dan intelektual, perundungan juga merambah hingga ke kalangan tenaga pengajar dan staf administrasi.
Fenomena ini, meski tersembunyi di balik formalitas dan hirarki kerja, telah menjadi masalah yang memprihatinkan dan berdampak buruk bagi iklim profesional di lingkungan pendidikan.
Apa Itu Perundungan di Tempat Kerja?
Perundungan di tempat kerja atau yang sering disebut sebagai workplace bullying merupakan bentuk intimidasi yang dilakukan oleh satu atau lebih individu terhadap rekan kerja dengan tujuan untuk merendahkan, mengisolasi, atau bahkan merusak reputasi korban.
Dalam dunia pendidikan, perundungan ini bisa terjadi antara guru senior dan guru junior, antarstaf, bahkan antara tenaga pengajar dengan pimpinan institusi. Jenisnya pun beragam, mulai dari pelecehan verbal yang terselubung, tindakan sabotase, hingga pengabaian yang disengaja.
Sering kali, perundungan tidak tampak jelas. Contohnya, seorang guru junior bisa saja merasa ditekan oleh rekan kerjanya yang lebih senior melalui pemberian tugas tambahan yang berlebihan, kritik tak berujung, atau dikucilkan dari percakapan penting yang terkait dengan pengambilan keputusan.
Ironisnya, tindakan-tindakan ini kerap dibungkus dalam sikap "pembinaan" atau "proses penyesuaian" yang dianggap normal, padahal sejatinya mengandung unsur perundungan yang merusak psikologis korban.
Akar Masalah, Hierarki dan Budaya Senioritas
Perundungan di lingkungan pendidikan tidak lepas dari adanya struktur hierarkis yang kuat. Guru-guru senior, yang mungkin telah mengabdi selama bertahun-tahun, sering kali memegang otoritas tak tertulis yang besar terhadap junior mereka.
Dalam konteks ini, senioritas bukan hanya soal pengalaman, tetapi juga tentang kekuasaan yang mempengaruhi pembagian tugas, alur komunikasi, hingga kesempatan karier.
Guru atau staf yang lebih junior sering kali merasa terperangkap dalam situasi di mana mereka harus mematuhi semua tuntutan, meski hal tersebut sudah di luar kapasitas kerja yang wajar.
Budaya senioritas ini juga diperkuat oleh sistem yang enggan mengakui adanya permasalahan tersebut. Dalam banyak kasus, perundungan di tempat kerja dibiarkan karena dianggap sebagai bagian dari dinamika kerja.