Pengangguran terpelajar terjadi ketika seseorang yang sudah memiliki pendidikan formal yang memadai justru tidak dapat menemukan pekerjaan yang sesuai. Fenomena ini menciptakan ketimpangan di pasar kerja, di mana mereka yang kurang terdidik justru lebih cepat mendapat pekerjaan karena tuntutan di sektor informal atau pekerjaan dengan kualifikasi rendah.
Pengangguran terpelajar bukan hanya masalah bagi individu, tetapi juga bagi ekonomi secara keseluruhan. Ketika seseorang yang memiliki keterampilan dan kualifikasi akademik tidak bekerja di bidang yang sesuai, potensi produktivitas yang seharusnya mereka sumbangkan kepada masyarakat menjadi terhambat. Hal ini bisa berujung pada ketidakpuasan dalam pekerjaan, rendahnya motivasi, hingga berkurangnya kualitas hidup.
Skill Gap dan Tantangan Dunia Pendidikan
Salah satu tantangan terbesar yang menyebabkan pengangguran terpelajar adalah adanya "skill gap" atau kesenjangan keterampilan. Banyak lulusan perguruan tinggi yang memiliki pengetahuan teoritis yang sangat baik, namun kurang memiliki kemampuan praktis yang sesuai dengan kebutuhan dunia kerja.
Di era digital ini, keterampilan teknis seperti coding, data analysis, digital marketing, hingga literasi digital menjadi semakin penting. Namun, tidak semua universitas atau program studi mengakomodasi perubahan kebutuhan ini dalam kurikulumnya.
Masalah ini diperparah oleh sistem pendidikan yang cenderung fokus pada pencapaian akademik ketimbang pengembangan keterampilan praktis. Kurikulum di banyak universitas masih berorientasi pada teori dan jarang melibatkan mahasiswa dalam program magang atau kerja lapangan yang relevan.
Akibatnya, lulusan baru sering kali kesulitan beradaptasi dengan dunia kerja yang dinamis dan penuh tantangan.
Kurangnya Pengalaman Kerja
Pengalaman kerja menjadi faktor penting dalam proses perekrutan. Banyak perusahaan lebih memilih kandidat yang sudah memiliki pengalaman kerja, bahkan jika hanya sebagai magang.
Hal ini karena perusahaan cenderung mencari karyawan yang bisa langsung berkontribusi tanpa perlu menghabiskan terlalu banyak waktu untuk pelatihan.
Bagi banyak lulusan baru, pengalaman kerja mungkin sulit didapatkan selama masa studi karena keterbatasan waktu dan kesempatan. Program magang, misalnya, sering kali bersifat opsional dan hanya diambil oleh sebagian kecil mahasiswa. Padahal, magang bisa menjadi sarana yang sangat penting untuk memahami dunia kerja dan membangun jaringan profesional.
Selain itu, partisipasi dalam organisasi atau kegiatan ekstrakurikuler selama masa kuliah juga bisa menjadi nilai tambah dalam mencari pekerjaan. Kegiatan tersebut membantu mahasiswa mengembangkan keterampilan kepemimpinan, kerja tim, dan manajemen waktu yang sangat dibutuhkan di dunia kerja.