Mohon tunggu...
Narul Hasyim Muzadi
Narul Hasyim Muzadi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Language education

Belajar mencoret

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Imposter Syndrome, Perang Batin dengan Diri Sendiri

4 Oktober 2024   01:53 Diperbarui: 4 Oktober 2024   04:22 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernahkah kamu merasa seperti seorang penyusup dalam hidup kamu sendiri? Mungkin kamu pernah mencapai sesuatu yang besar, tapi di balik pujian dan pengakuan yang datang, ada suara kecil dalam kepala yang terus meragukan diri sendiri.

Kamu merasa bahwa kamu tidak sepantasnya berada di sana, bahwa semua pencapaian itu hanyalah keberuntungan semata, dan suatu saat orang-orang akan menyadari bahwa kamu sebenarnya "tidak sekompeten" yang mereka kira. Fenomena ini disebut imposter syndrome, dan jika kamu pernah merasakannya, kamu tidak sendirian.

Imposter syndrome adalah sesuatu yang diam-diam merasuki banyak orang, tanpa memandang profesi, pendidikan, atau status. Para profesional sukses, mahasiswa berprestasi, bahkan orang-orang yang terlihat percaya diri seringkali berjuang melawan perasaan bahwa mereka tidak pantas berada di posisi mereka.

Meskipun faktanya mereka sudah terbukti mampu, perasaan cemas dan meragukan diri sendiri terus membayangi. Tidak jarang, mereka merasa seolah-olah mereka adalah seorang "penipu," berpikir bahwa keberhasilan yang mereka raih hanya akan bertahan sampai orang lain sadar bahwa mereka sebenarnya tidak cukup baik.

Mengapa Kita Merasa Tidak Pantas?

Jika dipikir-pikir, ini aneh. Bagaimana mungkin seseorang yang jelas-jelas telah melewati berbagai ujian, tantangan, dan bahkan sudah mendapatkan pengakuan, masih meragukan dirinya sendiri? Jawabannya bisa jadi berakar dari lingkungan sekitar.

Di dunia yang terus mengagungkan kesuksesan dan perfeksionisme, kita tanpa sadar terbawa arus membandingkan diri dengan orang lain. Saat kita melihat orang lain yang tampaknya lebih sukses atau lebih pintar, kita mulai mempertanyakan apakah kita sudah melakukan yang terbaik.

Ilustrasi mengenal imposter syndrome | Image by karirlab.co
Ilustrasi mengenal imposter syndrome | Image by karirlab.co

Namun, yang sering kita lupakan adalah bahwa apa yang kita lihat di luar belum tentu menggambarkan kenyataan. Orang yang kita anggap sukses mungkin saja berjuang dengan perasaan yang sama. Mereka mungkin juga merasa tidak layak, meskipun dari luar tampak sempurna.

Tapi, di tengah-tengah tekanan sosial dan ekspektasi yang begitu tinggi, wajar jika perasaan ini muncul. Bagaimanapun, kita hidup di era di mana pencapaian sering kali dihitung dari seberapa cepat kita mencapai puncak, bukan dari seberapa dalam kita belajar dari perjalanan tersebut.

Tipe Imposter Syndrome

Meskipun imposter syndrome terkesan satu bentuk saja, ternyata ada beberapa tipe yang mungkin tidak kita sadari. Setiap jenis ini muncul dengan cara berbeda, tapi intinya tetap sama, perasaan bahwa kita tidak cukup pantas.

Ilustrasi tipe imposter syndrome | Image by thevectorimpact.com
Ilustrasi tipe imposter syndrome | Image by thevectorimpact.com

1. Si Perfeksionis

Tipe ini merasa bahwa apapun yang dikerjakan harus sempurna. Orang dengan tipe ini sering merasa bahwa jika ada kesalahan kecil sekalipun, itu berarti mereka gagal. Mereka cenderung menetapkan standar yang sangat tinggi dan merasa tidak puas, meskipun hasil kerjanya sudah sangat baik. Akibatnya, mereka sering overthinking dan meremehkan pencapaiannya sendiri.

2. Si Superhero

Orang dengan tipe ini merasa bahwa mereka harus bisa melakukan segala hal dan menjadi yang terbaik di semua bidang. Mereka merasa harus bekerja lebih keras daripada orang lain untuk "membuktikan" diri. Sering kali, mereka merasa tidak kompeten jika tidak bisa menguasai semua hal, meskipun pada kenyataannya tidak ada yang meminta mereka untuk melakukan itu.

3. Si Ahli

Tipe ini selalu merasa perlu tahu segalanya sebelum bisa menganggap dirinya kompeten. Mereka terus-menerus mencari pengetahuan atau sertifikasi tambahan karena merasa belum cukup ahli. Meskipun sudah sangat berpengetahuan, mereka tetap meragukan kemampuan mereka sendiri dan sering merasa kurang siap.

4. Si Solois

Tipe ini merasa harus melakukan semuanya sendiri dan menolak meminta bantuan, karena jika meminta bantuan, mereka merasa itu tanda kelemahan. Mereka takut terlihat tidak kompeten jika menerima bantuan dari orang lain. Padahal, kolaborasi sering kali menjadi kunci kesuksesan.

5. Si Bakat Alami

Orang dengan tipe ini percaya bahwa kemampuan atau bakat harus datang dengan mudah. Jika mereka harus berusaha keras untuk sesuatu, mereka merasa itu adalah bukti bahwa mereka tidak berbakat atau tidak kompeten. Mereka cenderung meremehkan hasil yang didapatkan dengan usaha keras, karena menganggapnya "kurang alami".

Dampak yang Menggerogoti Diri

Perasaan terjebak dalam imposter syndrome tidak hanya membatasi diri, tapi juga bisa membuat kita kehilangan banyak kesempatan. Kita cenderung menarik diri dari tantangan baru atau kesempatan besar karena takut gagal.

Bukannya mengambil risiko dan menunjukkan kemampuan sebenarnya, kita memilih untuk bersembunyi di balik keraguan dan meremehkan diri sendiri. Akibatnya, potensi yang kita miliki tidak pernah benar-benar terlihat, bahkan oleh kita sendiri.

Selain itu, imposter syndrome dapat membebani kesehatan mental. Rasa cemas yang terus menerus, takut membuat kesalahan, dan pikiran bahwa "saya tidak cukup baik" bisa menjadi beban yang sangat berat. 

Jika dibiarkan, ini bisa berubah menjadi stres kronis, bahkan depresi. Dan ironisnya, semakin kita merasa tidak pantas, semakin kita terjebak dalam lingkaran yang membuat kita sulit untuk keluar.

Apa yang Bisa Dilakukan?

Mengatasi imposter syndrome bukanlah hal yang mudah, tetapi itu bukan berarti mustahil. Langkah pertama adalah menyadari bahwa perasaan tersebut ada, dan bahwa itu adalah pengalaman yang umum.

Jangan melihatnya sebagai tanda kelemahan, anggap saja ini sebagai bagian dari proses kita untuk menjadi lebih kuat dan lebih memahami diri sendiri. Mengakui bahwa kita sedang mengalami keraguan bukanlah tanda kegagalan, melainkan sebuah langkah menuju pemahaman yang lebih dalam tentang diri kita.

Langkah berikutnya adalah mengubah cara kita memandang pencapaian. Bukannya terus menerus meragukan hasil kerja keras kita, cobalah untuk melihat apa yang sudah kita lakukan dan bagaimana itu berkontribusi pada pencapaian kita.

Mungkin membantu untuk menuliskan pencapaian-pencapaian kecil maupun besar yang sudah kita raih. Ini bisa menjadi pengingat bahwa kesuksesan kita bukan datang dari keberuntungan belaka, tetapi dari usaha dan dedikasi yang telah kita curahkan.

Terakhir, berbicara dengan orang lain juga bisa menjadi cara yang sangat efektif untuk meredakan perasaan ini. Kadang-kadang, mendengar perspektif orang lain bisa membantu kita melihat betapa jauhnya kita telah melangkah.

Bicarakan perasaan kamu dengan teman, mentor, atau bahkan profesional yang dapat memberikan pandangan yang lebih objektif. Mereka mungkin bisa melihat sesuatu yang kamu lewatkan, dan membantu kamu membangun kembali kepercayaan diri yang sempat pudar.

Akhirnya, Terimalah Diri

Akhirnya, imposter syndrome adalah refleksi dari pergulatan batin kita terhadap standar-standar yang tidak realistis, baik dari diri sendiri maupun dari lingkungan. Daripada terus menerus membandingkan diri dengan orang lain, penting untuk menerima bahwa setiap orang memiliki perjalanan yang berbeda.

Kamu ada di posisi sekarang bukan karena kebetulan, tapi karena usaha yang nyata. Jadi, lain kali ketika perasaan tidak pantas muncul, ingatkan diri kamu: kamu di sini bukan karena keberuntungan, tapi karena kamu layak.

Penerimaan diri bukanlah tentang menjadi sempurna, tapi tentang menyadari bahwa kita cukup, dengan segala ketidaksempurnaan yang kita miliki. Teruslah melangkah, karena pada akhirnya, kita semua berhak berada di tempat kita sekarang, dengan segala kerja keras dan dedikasi yang telah kita lakukan.

Sumber:

Pena Narr, Belajar Mencoret...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun